NovelToon NovelToon
THE REGRET OF MY SEVEN BROTHERS

THE REGRET OF MY SEVEN BROTHERS

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Keluarga / Angst
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

"The Regret of My Seven Older Brothers"

Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.

Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.

Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.

Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.

Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13: Bekerja

Waktu terus berjalan tanpa henti, melewati banyak momen yang terjadi, baik disengaja maupun tidak. Lee Yoora semakin terbiasa dengan keadaan yang memaksanya untuk sadar diri. Setiap harinya, ia terus belajar menerima kenyataan dan memutuskan untuk mandiri. Tanpa sepengetahuan saudaranya, Yoora kini bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji, sembari menjalani rutinitasnya sebagai pelajar.

Keseharian Yoora kini terasa seperti pola yang terus berulang. Pagi hari, dia bangun lebih awal untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah, lalu berangkat ke sekolah dengan pikiran yang terbebani. Sepulang sekolah, jika tidak ada pekerjaan paruh waktu, ia akan tenggelam dalam tugas sekolah atau membaca buku di kamarnya yang sunyi. Saat hari libur, ia selalu menyempatkan diri bekerja di restoran cepat saji, tempat di mana ia dan sahabatnya, Rea, saling membantu satu sama lain. Kehadiran Rea sedikit banyak memberi rasa nyaman, karena meski bukan keluarga kandung, Rea selalu hadir sebagai pelindung dan sahabat setia, seolah menggantikan peran yang selama ini tidak pernah diberikan oleh saudara-saudaranya.

Rutinitas ini sudah berlangsung selama beberapa bulan, dan selama itu pula Yoora semakin jarang berkomunikasi dengan keluarganya. Hubungan yang renggang membuat percakapan antara mereka terasa dingin, bahkan hampir tidak ada kecuali ketika mereka membutuhkan sesuatu darinya. Yoora menyadari bahwa dirinya bukanlah bagian yang benar-benar penting di rumah itu hanya ada ketika dibutuhkan, lalu dilupakan.

Meski begitu, Yoora tidak pernah mengeluh. Dia tahu bahwa dia harus bertahan, setidaknya untuk dirinya sendiri. Ada banyak luka yang belum sembuh, tapi dia tak punya waktu untuk merenung. Setiap hari adalah perjuangan baru, dan dalam kesibukannya, dia menemukan pelarian meski lelah, dia tetap berusaha menjaga senyumnya di hadapan Rea dan orang-orang yang mempercayainya di tempat kerja.

Namun, di balik wajah ceria yang ditunjukkannya di luar, Yoora selalu menyimpan kekhawatiran. Setiap malam sebelum tidur, ia sering memikirkan masa depannya yang masih samar. Ia bertanya-tanya kapan bisa benar-benar bebas dari bayang-bayang kebencian saudara-saudaranya dan hidup untuk dirinya sendiri, ada banyak rasa lelah dan rasa ingin menyerah dengan keadaan yang tak kunjung berubah selama bertahun - tahun ia menjalani nya .

“Yoora... Lee Yoora!” teriakan keras itu menggema di seluruh penjuru mansion mewah, membuat suasana yang awalnya hening seketika berubah. Yoora, yang mendengar namanya dipanggil, langsung berlari tergesa-gesa menuju sumber suara.

“Iya, oppa,” ujar Yoora dengan napas terengah-engah, berusaha menenangkan dirinya setelah berlari.

“Lelet sekali, aku sudah memanggilmu sejak tadi!” bentak Jihwan dengan nada tak sabar.

“Maaf, oppa... Yoora tadi ada di belakang, sedang membersihkan kolam renang,” jawab Yoora pelan, mencoba memberikan alasan.

“Banyak alasan! Sekarang ikut aku,” balas Jihwan tanpa memedulikan penjelasannya, lalu berbalik dan berjalan lebih dulu.

Yoora hanya bisa menunduk dan mengikuti langkah kakak kelimanya itu. Namun, ketika mereka tiba di depan kamar Jihwan, Yoora seketika terdiam di ambang pintu. Bayangan menyakitkan tentang kekerasan yang pernah terjadi di kamar itu kembali menghantuinya. Tubuhnya sedikit gemetar.

“Kenapa kau diam? Cepat masuk!” ujar Jihwan dengan ketus, menatap tajam ke arah Yoora yang tampak ragu.

Dengan anggukan kecil, Yoora melangkah masuk. Matanya mengikuti gerakan Jihwan yang sedang mengeluarkan koper besar dan menumpahkan banyak baju serta barang-barang dari lemarinya ke lantai.

“Cepat susun semuanya, buat serapi mungkin,” perintah Jihwan dengan nada tegas.

“Oppa mau pergi kerja lama lagi?” tanya Yoora, suaranya sedikit bergetar sambil mulai menyusun pakaian-pakaian tersebut.

“Iya,” jawab Jihwan singkat dan dingin.

Yoora tidak melanjutkan pertanyaannya. Dia tahu lebih baik tidak banyak bicara agar tidak memancing amarah Jihwan. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah menyelesaikan tugasnya dan segera pergi dari kamar itu. Saat tengah sibuk melipat pakaian, tiba-tiba terdengar suara Taehwan memanggil dari luar, memecah konsentrasinya.

Yoora menoleh seketika ke arah pintu.

“Abaikan dia. Lanjutkan pekerjaanmu,” perintah Jihwan tajam, menyadari perhatian Yoora yang teralihkan.

“Sepertinya Taehwan oppa juga membutuhkan aku, oppa. Bagaimana kalau aku melihatnya sebentar saja? Lagi pula ini sudah hampir selesai,” jawab Yoora dengan hati-hati.

Tatapan Jihwan yang sebelumnya datar kini berubah menjadi tajam. Dia berhenti sejenak dari ponselnya, lalu menatap Yoora dengan penuh kemarahan.

“Kau tuli, ya?! Aku bilang biarkan saja, teruskan apa yang kubilang!” bentak Jihwan dengan suara menggelegar, membuat Yoora tersentak kaget.

Yoora langsung terdiam, merasa ketakutan. Dia menunduk dan kembali memfokuskan dirinya pada tumpukan pakaian di depannya, berusaha menyingkirkan pikiran tentang Taehwan. Namun, rencananya untuk segera menyelesaikan semuanya tak berjalan mulus. Taehwan tiba-tiba masuk ke kamar dan menarik tangan Yoora dengan kasar, memaksanya untuk ikut.

“Yoora, ikut aku sekarang!” ujar Taehwan dengan suara keras, tidak mempedulikan Jihwan yang melihatnya.

Jihwan, yang sejak tadi berusaha diam dan membiarkan, akhirnya angkat bicara dengan suara penuh amarah.

“Mau kau bawa ke mana dia, Tae?” tanya Jihwan dengan nada kesal, matanya menatap tajam ke arah Taehwan yang sudah menarik Yoora.

“Aku membutuhkan dia,” jawab Taehwan dengan dingin, tidak sedikit pun menoleh ke arah kakaknya.

“Ck, apa matamu buta, hah? Dia sedang membantuku!” Jihwan beranjak dari tempat tidur dan langsung menarik tangan Yoora yang satunya, membuatnya terhimpit di antara dua kakaknya.

“Seharian ini kau saja yang memakainya. Sekarang giliran aku!” bentak Taehwan dengan tegas, tangannya tidak mau kalah menahan Yoora.

“Aku lebih dulu menyuruhnya!” Jihwan balas membentak, tidak ingin melepaskan Yoora begitu saja.

“Aku tidak peduli,” sahut Taehwan, menunjukkan sikap acuhnya. Ketegangan di antara mereka semakin memanas, terutama karena hubungan mereka memang sedang tidak baik akhir-akhir ini.

“Lee Taehwan!” bentak Jihwan sekali lagi, amarahnya sudah mulai memuncak.

Namun, Taehwan tidak menggubris. Dia tetap menyeret Yoora, berusaha membawanya pergi. Yoora merasakan sakit yang semakin terasa di pergelangan tangannya, membuat air mata mulai menetes tanpa bisa dia tahan. Tubuhnya tertarik ke dua arah yang berlawanan, antara Jihwan dan Taehwan, sementara ia hanya bisa pasrah di tengah tarik-menarik yang semakin kuat.

“Dia harus membantuku. Aku akan segera pergi,” ujar Jihwan dengan nada lebih rendah namun penuh desakan.

“Aku juga butuh dia. Lepaskan dia, Hyung,” sahut Taehwan tak kalah keras, keduanya terus bertahan seolah Yoora adalah sebuah benda yang diperebutkan.

“Sakit, oppa...” lirih Yoora, suaranya nyaris tak terdengar. Air matanya semakin deras, tapi kedua kakaknya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

Tangan Yoora semakin terjepit di antara keduanya, namun itu tidak menghentikan Jihwan dan Taehwan yang terus saling membentak sambil menarik Yoora seperti tali tambang. Mereka tidak peduli jika tangan adik mereka sudah memerah karena ditarik dari dua arah. Perdebatan mereka berlangsung beberapa menit, sampai sebuah suara lain tiba-tiba memecah keheningan.

“Taehwan, Jihwan... apa yang kalian lakukan?” suara Namjin terdengar dari pintu, membuat keduanya menoleh sejenak. Namjin, yang baru saja naik menuju kamarnya, tidak sengaja melihat insiden ini dan langsung menghampiri mereka dengan wajah penuh kekecewaan.

“Dia menggangguku, Hyung. Aku sedang minta bantuan Yoora, tapi dia malah mengambilnya!” seru Jihwan dengan nada jengkel, masih memegang tangan Yoora.

“Sedari tadi kau terus yang memakai Yoora, sekarang giliran aku!” bentak Taehwan, tidak ingin kalah.

“Tapi aku lebih dulu menyuruhnya. Kau datang-datang, langsung main ambil saja!” Jihwan semakin tidak mau mengalah, emosi keduanya memuncak.

Namjin hanya menggelengkan kepala, sudah terlalu sering melihat pertengkaran semacam ini. Meskipun kedua adiknya sudah dewasa, mereka masih saja bertengkar karena hal-hal sepele, membuat semua kakak-kakak mereka pusing dengan tingkah kekanak-kanakan mereka.

“Yoora bukan barang, jangan memperlakukannya seperti itu. Dan kalian berdua, kerjakan sendiri pekerjaan kalian. Yoora sudah bekerja sejak pagi,” ujar Namjin tegas, mencoba meredakan suasana.

“Tapi, Hyung... dia harus membantuku. Aku tidak bisa mengemas pakaianku sendiri,” sahut Jihwan dengan nada memelas, seolah meminta bantuan dari kakaknya yang lebih tua. Namjin menghela napas panjang, sebelum akhirnya menemukan solusi.

“Baiklah, ayo aku bantu,” jawabnya sambil mengajak Jihwan dengan nada lebih lembut.

“Hm, ya sudahlah...” Jihwan akhirnya menyerah, melepaskan tangan Yoora dan meninggalkan Taehwan bersama adik perempuannya di sana. Taehwan yang merasa menang langsung menoleh ke arah Yoora dengan pandangan tajam.

“Kenapa kau diam saja? Ayo, bantu aku!” bentaknya, membuat Yoora tersentak.

Yoora mengikuti langkah Taehwan tanpa banyak bicara. Ternyata, Taehwan meminta Yoora memasak makanan yang dilihatnya dari media sosial. Selama beberapa jam, Yoora sibuk melayani permintaan Taehwan yang tak henti-henti. Baru setelah semuanya selesai, dia akhirnya bisa beristirahat sejenak.

“Huffhh, akhirnya semuanya selesai juga. Aku sangat lelah,” lirih Yoora. Dia duduk di atas tempat tidurnya, memijat pergelangan tangan yang masih memerah akibat tarikan keras dari Jihwan dan Taehwan. Sakitnya belum hilang, namun yang lebih mengganggu adalah perasaan tidak enak yang terus menghantuinya.

“Kenapa ya, pikiranku tidak enak tentang Jihwan oppa?” gumam Yoora pelan, mencoba menganalisis perasaan aneh yang tiba-tiba muncul setiap kali memikirkan kakaknya itu. Beberapa saat dia hanya terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri, hingga akhirnya memutuskan untuk bangun dan membersihkan diri dengan mandi. Namun, baru saja dia beranjak dari tempat tidur, ponselnya berdering. Layar menunjukkan nama Rea, sahabatnya.

“Halo?” jawab Yoora setelah mengangkat telepon.

“Ra, kamu di mana?” tanya suara Rea di seberang sana, terdengar agak tergesa.

“Tentu saja di rumah,” jawab Yoora dengan nada santai.

“Eyyy, anak ini. Kamu lupa ya, sekarang kamu harusnya sudah bekerja?” tegur Rea dengan nada menggoda.

“Oh, astaga! Aku lupa, Re!” seru Yoora sambil mengusap wajahnya. Ternyata rasa lelah tadi membuatnya benar-benar lupa akan pekerjaannya.

“Ya ampun... ayo cepat bersiap! Aku akan menjemputmu,” ujar Rea sambil tertawa kecil.

“Baiklah, aku akan...” ucapan Yoora tiba-tiba terpotong ketika pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk. Namjin, kakaknya, muncul di ambang pintu dengan raut wajah tenang, namun sedikit canggung.

“Dek...” panggil Namjin lembut, menghampiri Yoora yang masih duduk di tepi tempat tidur. Yoora menatapnya datar, perasaan campur aduk muncul setiap kali Namjin mendekatinya.

“Ada yang perlu aku bantu, oppa?” tanyanya dingin, jelas terasa di telinga Namjin. Namjin menelan ludah, sedikit terkejut dengan sikap adiknya yang seolah membentengi dirinya.

“Tidak, oppa hanya ingin mengantarkan salep ini. Mungkin kamu membutuhkannya,” ujarnya sambil menyodorkan sebuah salep kecil ke arah untuk Yoora, Yoora mengambil salep itu tanpa banyak bicara.

“Terima kasih banyak,” ucapnya singkat, nadanya tetap dingin.

“Kamu sedang bicara dengan siapa tadi?” tanyanya sambil duduk di samping Yoora, mencoba mendekat dengan hati-hati. Namjin mencoba memecah keheningan yang menegang di antara mereka.

“Bukan siapa-siapa, oppa. Jika tidak ada yang harus aku lakukan, sebaiknya jangan dekat-dekat denganku,” tutur Yoora tegas, nadanya halus tapi jelas penuh jarak. Namjin tertegun mendengar itu, perasaannya seakan dihantam kenyataan pahit yang tak bisa dia hindari.

“Adek...” lirih Namjin, suaranya melembut penuh penyesalan. Dia tahu, dialah yang memulai semua ini. Dialah yang memutuskan untuk menjauhi Yoora demi menepati janji kepada Jungsoo dan perintah dari Seonho, tapi siapa yang menyangka dampaknya akan begini dalam?

 “Aku ada urusan, oppa. Bisakah oppa keluar?” tanya Yoora, kali ini nada halusnya lebih terdengar sebagai permintaan untuk menjaga jarak. Namjin menghela napas panjang. Dengan berat hati, dia bangkit dari tempat duduknya.

“Baiklah, dek. Oppa akan keluar.” Dengan langkah pelan, dia meninggalkan kamar itu, menutup pintu di belakangnya. Begitu pintu tertutup rapat, Yoora menghela napas panjang.

“Jangan dekati aku, oppa. Kau akan terluka jika berdekatan dengan manusia kotor seperti aku,” lirih Yoora, suara batinnya penuh rasa sakit yang tak pernah ia ungkapkan dengan lantang.

Setelah memastikan semua tugasnya selesai, Yoora memutuskan untuk segera bersiap-siap pergi bekerja. Dia mengganti pakaiannya dan merapikan dirinya secepat mungkin, karena Rea pasti sudah menunggunya di luar. Sebelum pergi, Yoora mengirim pesan kepada kakak tertuanya untuk meminta izin keluar. Namun, ketika pesan itu tak dibalas, Yoora tetap memutuskan untuk pergi. Bagi Yoora, yang terpenting adalah sudah meminta izin, meskipun dia tahu mungkin tidak akan mendapatkan tanggapan.

Dengan langkah cepat, Yoora menuju ke luar rumah dan bertemu dengan Rea, siap menghadapi harinya di tempat kerja.

••••

“Ekh, kalian baru datang?” tanya Wong-sik dengan senyum kecil, menyambut kedatangan Yoora dan Rea.

Wong-sik adalah satu-satunya pekerja pria di restoran kecil itu. Restoran yang menjadi tempat mereka bekerja bukanlah restoran besar dengan staf yang banyak, melainkan restoran sederhana yang menyajikan masakan tradisional Korea. Keunikannya terletak pada sajian khas yang sulit ditemukan di restoran besar. Karena itulah, jumlah pegawai di sana pun tidak banyak mereka mengandalkan efisiensi dan kebersamaan dalam menjalankan operasional.

“Iya, oppa! Kamu datang pagi sekali,” goda Rea sambil melirik Wong-sik dengan tawa kecil.

“Pagi?” Wong-sik mengangkat alisnya, memutar bola matanya dengan malas ke arah Rea, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Aigo, kenapa bola matamu itu ? ” Rea mencemooh dengan nada menggoda.

( Catatan: Aigo adalah ekspresi umum dalam bahasa Korea yang berarti ‘astaga’ atau ‘ya ampun,’ sering digunakan untuk mengekspresikan kejutan atau sedikit rasa frustrasi. Tolong koreksi jika author salah).

“Matamu itu, ledekanmu semakin aneh saja,” lanjut Rea sambil terkekeh.

“Kau ini mengada-ngada. Jam delapan kau bilang pagi?” Wong-sik mendengus kecil. Yoora yang sejak tadi hanya mendengarkan akhirnya ikut menimpali dengan senyum tipis.

“Lah iya, oppa. Jam delapan itu jelas pagi. Memangnya, pernah dengar kalau jam delapan itu siang?” tanyanya sambil melirik Wong-sik dengan gaya bercanda khasnya.

Wong-sik hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala, menyadari bahwa tidak ada gunanya berdebat lebih lanjut.

“Kalian sama saja. Sudahlah, cepatlah bekerja, nona-nona,” sindir Wong-sik sambil berusaha menutupi rasa kekalahannya dalam beradu mulut dengan dua rekan kerjanya yang usianya lebih muda dua tahun darinya.

Setelah cukup lama saling bercanda, mereka akhirnya kembali ke pekerjaan masing-masing. Yoora dengan cekatan mulai menyiapkan masakan di dapur, sementara Rea bersama beberapa pekerja lainnya sibuk melayani pesanan dan memastikan kebersihan restoran tetap terjaga. Restoran kecil itu mungkin tidak besar, tapi setiap pekerja di sana tahu peran mereka dengan sangat baik. Disiplin dan kerapihan selalu diutamakan, sehingga meskipun jumlah pegawainya terbatas, operasional tetap berjalan lancar tanpa masalah.

Yoora, yang telah bekerja di restoran tersebut selama beberapa waktu, selalu merasa nyaman. Tidak ada perlakuan buruk dari rekan kerja yang lebih senior. Sebaliknya, dia sering diperlakukan seperti adik oleh para pekerja tetap yang telah lama berada di sana. Setiap kali Yoora mengalami kesulitan atau tampak lelah, salah satu dari mereka pasti segera datang menawarkan bantuan atau memberikan nasihat layaknya saudara yang peduli.

Meskipun pekerjaan di restoran itu cukup padat dan menuntut stamina, Yoora merasa suasananya menyenangkan. Tidak ada tekanan yang berlebihan, tidak ada pertengkaran yang merusak harmoni. Di tengah hiruk-pikuk pekerjaan, selalu ada momen-momen ringan seperti tadi, di mana canda tawa di antara mereka menjadi penyegar di tengah rutinitas harian.

Sambil terus memasak, Yoora sesekali menoleh ke arah rekan-rekannya yang sibuk di depan. Pandangannya terhenti pada Wong-sik yang sedang bercanda dengan seorang pelanggan tetap. Dia tersenyum kecil, merasa bersyukur berada di lingkungan yang ramah dan saling mendukung.

Setelah selesai dengan masakan terakhir, Yoora menyeka keringat di dahinya. Kesibukan hari itu terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Suara penggorengan, aroma bumbu masakan, dan langkah kaki yang berulang-ulang di dapur mulai melelahkannya. Namun, tidak ada waktu untuk mengeluh. Pelanggan terus datang, dan pesanan terus berdatangan.

Rea datang dari arah depan restoran dengan nampan kosong di tangannya, wajahnya memerah karena sibuk melayani pelanggan.

“Ra, kau baik-baik saja?” tanyanya sambil menatap Yoora yang sedang mengaduk sup di panci besar.

“Yah, seperti biasa. Sedikit lebih sibuk, tapi aku bisa mengatasinya. Kamu sendiri?” ucap yoora sembari tersenyum manis.

“Begitulah, Tapi tahu tidak? Ada seorang pelanggan yang datang tadi, dia tanya-tanya soal kamu.” jawab Rea sambil meletakkan nampan di meja dapur. Dia menceritakan kejadian yang terjadi padanya.

“Tentang aku? Siapa?” ucap Yoora berhenti mengaduk, menoleh dengan rasa penasaran pada Rea.

“Aku tidak kenal. Pria tinggi, mungkin seusia dengan oppa-mu, tapi... agak misterius. Dia terus menatap dapur, seakan-akan mencari seseorang. Akhirnya aku tegur karena aku kira dia membutuhkan sesuatu yang lain ” ucap Rea dengan nada semangat menceritakan segalanya pada Yoora.

“Apa yang dia bilang?” Tanya yoora penasaran.

“Tidak banyak, hanya tanya apakah kamu bekerja di sini. Aku bilang iya, dan dia cuma tersenyum sambil memesan makanannya. Dia duduk di meja dekat jendela, kalau kamu penasaran.” jawab Rea menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.

" Bagaimana dia tahu tentang ku ? " Tanya yoora yang penasaran.

" Akhh aku juga baru menyadari nya , tadi tidak terpikirkan oleh ku kenapa aku bisa menjawab iya saat dia bertanya tentang seseorang bernama yoora, kan bisa saja jika dia bukan bertanya tentang mu " ujar Rea lagi.

Yoora merasakan jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Sosok misterius yang tiba-tiba muncul dan bertanya tentang dirinya bukanlah hal yang biasa terjadi di restoran ini. Selama bekerja, tidak pernah ada pelanggan yang terlihat tertarik dengannya, kecuali untuk sekadar berbasa-basi saat mereka memesan makanan.

Wong-sik yang sedang mencuci piring di dekat sana, mendengar percakapan mereka dan ikut menyela.

“Kalau ada yang aneh, beri tahu kami, Ra. Aku tidak suka kalau ada yang mengganggu salah satu dari kalian.” ujar nya yang melihat wajah Yoora sedikit gelisah.

“Oppa, kau ini paranoid. Mungkin saja dia hanya pelanggan biasa. Dan aku asal mengiyakan saja ” ucap Rea sembari Rea tertawa kecil, menepuk bahu Wong-sik.

Namun Yoora tidak bisa menghilangkan perasaan ganjil itu. Matanya diam-diam melirik ke arah jendela restoran, mencoba melihat apakah pria yang dimaksud masih ada di sana. Dan benar saja, di sudut ruangan, seorang pria berjaket hitam sedang duduk, menatap ponselnya, tapi sesekali melirik ke arah dapur. Tatapannya tajam, penuh perhitungan, seakan-akan dia sedang mengamati sesuatu yang lebih dari sekadar suasana restoran.

“Aku rasa aku akan menghindari area depan untuk sementara,” gumamnya kepada Rea sambil kembali fokus pada masakannya.

“Hei, kau yakin baik-baik saja? Aku bisa bicara dengan bos kalau perlu. Tenang lah mungkin saja yang dia cari bukan yoora kamu , tapi orang lain . Hanya saja salah ku langsung menjawab iya , karena dia menyebut nama mu ” Tutur Rea yang tahu jika yoora sedang gelisah.

“Tidak, aku tidak apa-apa, abaikan saja lagi pula aku tidak merasa punya masalah dengan orang lain ” jawab Yoora cepat.

Sementara itu, pria misterius itu terus duduk di sana, sesekali melirik ke arah Yoora. Setiap tatapan yang diarahkan padanya membuatnya semakin gelisah. Mungkinkah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi? Yoora tidak tahu, tapi firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

   " Ternyata dia bekerja di sini " ucap sosok misterius itu.

1
Nunu Izshmahary ula
akhir nya ada satu saudara Yoora yang tobat 🥹 wahhh
Nunu Izshmahary ula
ouh jadi Min-ho ya yang waktu itu baik sama Yoora, jangan jangan Mereka jodoh lagi☺️🤣
Nunu Izshmahary ula
semoga Yoora gapapa, saudara nya ada aja yang bikin dia celaka
Nunu Izshmahary ula
yang ini bener banget, walaupun Seonho kaya gitu tapi gimana ya . kata kata ini bener juga
Nunu Izshmahary ula
astaga Seonho 😩minta ginjal orang udah kaya minta krupuk
winterbear95
"kemarahan kakak tertuanya"😭kenapa dibayanganku malah muncul Jin hyung ngerap sih astaga
winterbear95
aku baca, imajinasi visualku nongol 7 bujang kesayanganku🥺
Nengsih
sedih banget, dari pertama baca udah mewek 😭
Nunu Izshmahary ula
pengen punya sahabat macam rea , wah ... senengnya kalau punya temen kaya gitu ya , di saat dunia membenci kita habis - habisan ada satu tempat yang bisa kita jadikan tempat pulang untuk bersandar, susah banget nyari temen yang kaya gini di dunia nyata . kebanyakan orang cuma bermuka dua dan datang kalau lagi ada butuh nya aja🥺
BYNK: Kamu pasti akan menemukannya suatu hari nanti, atau mungkin malah kamu yang jadi sahabat seperti Rea untuk orang lain. Dunia ini memang keras, tapi kebaikan kita nggak pernah sia-sia. jangan lelah jadi orang baik , semangat 💪🏻
total 1 replies
Wayan Indrawati
yoora yg malang
Nunu Izshmahary ula
best quotes...
Nunu Izshmahary ula
jahat banget, yaampun Seonho..
Nunu Izshmahary ula
Lah, emang di sekolah dia di kantin nya gaada cctv kah? masa langsung percaya gitu aja , Seonho 😑
Nunu Izshmahary ula
wah kok keliatannya mereka egois banget ya, kira kira Namjin bakal milih Yoora atau Jungsoo..🤔
Nunu Izshmahary ula
jan males males up nya Thor , yang baca keburu kabur
winterbear95: naikin jumblah up episodenya🙄
BYNK: siap -siap , trimakasih banyak dukungan nya
total 5 replies
Nunu Izshmahary ula
baru baca bab pertama udah sedih aja .. wah ..
winterbear95: aku datang🤸
exited banget walaupun masih 4 bab
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!