Wanita, seorang insan yang diciptakan dari tulang rusuk adamnya. Bisakah seorang wanita hidup tanpa pemilik rusuknya? Bisakah seorang wanita memilih untuk berdiri sendiri tanpa melengkapi pemilik rusuknya? Ini adalah cerita yang mengisahkan tentang seorang wanita yang memperjuangkan kariernya dan kehidupan cintanya. Ashfa Zaina Azmi, yang biasa dipanggil Azmi meniti kariernya dari seorang tukang fotokopi hingga ia bisa berdiri sejajar dengan laki-laki yang dikaguminya. Bagaimana perjalanannya untuk sampai ke titik itu? Dan bagaimana kehidupan cintanya? Note: Halo semuanya.. ini adalah karya keenam author. Setiap cerita yang author tulis berasal dari banyaknya cerita yang author kemas menjadi satu novel. Jika ada kesamaan nama, setting dan latar belakang, semuanya murni kebetulan. Semoga pembaca semuanya menyukainya.. Terimakasih atas dukungannya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Induksi
Azmi bangun pukul 4 pagi dan segera mandi. Setelah mandi ia mengambil wudu dan melaksanakan sholat setelah ia selesai bersiap. Jika biasanya Azmi bisa berangkat jam 6 dari rumah, kini ia harus siap pukul 5.30 untuk penjemputan. Lokasi tambang yang jauh dari mess karyawan mengharuskannya bersiap dan sarapan lebih pagi.
“Sepertinya roster kita sama, Mi!” Seru Lala.
“Belum tahu, Kak. Ini masih hari pertama, mungkin setelah induksi baru tahu rosternya.”
“Semoga saja bisa sama! Enak bisa sarapan pagi sama-sama.”
“Sarapan subuh kali, Kak?”
“Ya! Kamu benar!” Keduanya tertawa dan melanjutkan makan mereka karena waktu sudah menunjukkan pukul 5.20.
Tepat pukul 5.30, Azmi dan Lala sudah berada di lobi menunggu jemputan. Bis memasuki pekarangan mess dan karyawan satu persatu masuk ke dalam bus. Sesuai arahan yang Azmi dapat dari chat admin Warehouse semalam, ia masuk kedalam bus Plan sedangkan Lala masuk bus office.
Setelah perjalanan sekitar 20 menit, bus sampai di lokasi kerja. Azmi bertanya kepada salah satu karyawan, dimana Warehouse berada. Kebetulan yang ia tanyai adalah karyawan Warehouse, sehingga Azmi mengikuti karyawan tersebut sampai di lokasi.
“Azmi, ya?” Sambut seorang perempuan bertubuh gempal.
“Iya, Mbak Novi.” Azmi memanggilnya Novi karena ia telah melihat foto profil saat berbalas pesan.
“Tunggu setelah kita selesai safety breafing, aku akan membantumu induksi.” Azmi mengangguk.
“Kamu bisa meletakkan tasmu disini.” Novi menunjuk loker di paling bawah.
“Baik, Kak.”
Segera setelah Azmi menyimpan tasnya, safety breafing pun dimulai. Novi sebagai pembuka mengenalkan Azmi yang kelak akan bergabung dengan mereka selama 3 bulan kedepan. Azmi menganggukkan kepalanya, tanda memberi hormat. Setelah itu materi disampaikan, beberapa tentang pekerjaan pending dari shift malam, beberapa tentang keselamatan kerja agar tetap selamat dalam bekerja.
Setelah selesai dan semuanya bubar ke tempat masing-masing, Novi membawa Azmi ke office untuk induksi. Hampir sama dengan apa yang pernah Azmi lalui saat di tempatnya. Yang membedakannya adalah Azmi harus mengisi beberapa formulir yang menyatakan dirinya dalam keadaan sehat dan siap bekerja, setelah mendapat beberapa pengecekan di klinik.
“Induksi selesai, aku akan membawamu berkeliling.” Kata Novi sambil berjalan diikuti Azmi.
Novi mengajak Azmi berkeliling dan berakhir kembali di Warehouse. Selama berkeliling, Azmi melihat keramahan diwajah karyawan wanita lain, tak seperti ditempatnya yang menatapnya dengan tatapan tajam seperti ingin mengunyahnya.
“Kamu pakai komputer nomor 4, ini dara yang harus kamu selesaikan setiap sebelum pukul 9. Setelah itu kirimkan rekap kepadaku. Tapi karena ini hari pertama, aku akan memberimu waktu sampai sebelum makan siang.”
“Baik, Kak.” Azmi menerima tumpukan data.
Begitu menyalakan komputer, Azmi menemukan susunan file sama dengan ditempat sebelumnya. Itu artinya semuanya memang sudah di setting sama sehingga tidak perlu perkenalan dan pembelajaran ulang. Segera Azmi memasukkan data yang ada di tangannya, sama seperti yang lain yang sudah lebih dulu bekerja. Tepat sebelum makan siang, Azmi sudah mengirimkan email rekapan kepada Novi.
“Kerjamu cepat juga! Kalau begini setiap hari, aku bisa santai di jam 11 sampai istirahat! Terima kasih, Azmi.”
“Sama-sama, Kak.”
Hal tersebut menarik perhatian admin lain yang menganggukkan kepala mereka. Beberapa dari mereka memberikan selamat kepada Azmi. Saat makan siang, barulah semu orang berbaur menjadi satu. Mereka makan bersama di dengan lesehan di gudang. Novi sampai mengeluarkan stok minuman ringan untuk merayakan kedatangan Azmi.
“Apa ada yang perlu aku tahu mengenai para Bos, Kak?”
“Tidak ada. Kedua bos kita, Bos Meki dan Bos Bobby adalah type bos yang mau tahu hasilnya saja. Jadi kamu bisa tenang. Asalkan pekerjaan beres, mereka tidak akan mempermasalahkan bagaimana kamu mengerjakannya.”
“Benar! Bos yang seperti itu enak. Tetapi juga tidak enak, karena mereka tidak mau tahu prosesnya. Kita yang memutar otak untuk menyelesaikan masalah.” Kata Rafi menimpali.
“Berdoa saja yang baik, jadi kita tidak mendapatkan masalah!” Kata Kania seraya memukul lengan Rafi.
“Aamiin..” seru semua orang, termasuk Azmi.
Total ada 6 admin, 2 asisten admin, 6 helper, 2 leader dan 2 bos di Warehouse. Azmi merasa diterima dan jauh dari ketakutan atas sikap atasannya.
Hari-hari berjalan, Azmi beradaptasi dengan cepat. Ia bahkan sudah mulai mengantarkan berkas ke departemen Plan dan Office. Sesekali Novi akan membawa Azmi berurusan dengan vendor.
“Bagaimana harimu, Kak?” Tanya Egi yang melakukan video call.
“Seperti biasa, melelahkan.” Jawab Azmi sambil mengeringkan rambutnya.
“Besok Kakak libur?”
“Iya. Kamu jadi berkunjung?”
“Tentu saja! Lihat ini!” Egi memperlihatkan tas yang sudah ia siapkan.
“Hati-hati dijalan. Berhentilah sesekali agar Ayah bisa istirahat.”
“Santai saja, Kak! Apa ada yang Kakak inginkan? Aku akan membawakannya.”
“Tidak ada.”
“Kemarin Kak Priyo datang kemari.”
“Untuk apa?”
“Tidak tahu, karena aku tidak dirumah. Apa tidak ada mengabari Kakak?”
“Tidak ada. Sejak disini aku belum ada berhubungan dengannya.”
“Bagus kalau begitu! Siapa tahu Kakak bisa mendapatkan suami disana nanti!”
“Tidak tahu.”
“Apa Kakak takut?”
“Aku masih belum siap dan tidak ingin berangan-angan.”
“Terserah Kakak saja, bagaimana. Yang pasti, aku, Ayah dan Ibu akan selalu mendukungmu.”
“Terima kasih.”
Panggilan keduanya berakhir, Azmi bersiap untuk sholat lalu turun untuk makan di kantin. Di kantin ia bertemu dengan Kania dan yang lain. Mereka mengobrol kesana-sini sampai adzan isya’ membubarkan mereka. Saat kembali ke kamar, ponselnya berbunyi dan menunjukkan nama Priyo disana.
“Ada apa, Mas?” Tanya Azmi setelah salamnya dijawab Priyo.
“Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
“Aku baik.”
“Apa kamu membutuhkan sesuatu? Aku akan ada urusan di Tanjung beberapa hari lagi. Aku bisa membawakannya ke mess nanti.”
“Tidak ada, Mas. Semua sudah tersedia disini.”
“Benar tidak ada? Apa kamu tidak kangen dengan bakso Jolali?”
“Kalaupun kangen tidak bisa juga dibawa ke Tanjung, Mas!”
“Oke! Berarti bungkus bakso Jolali. Apalagi?” Azmi tidak menjawab.
Ia tak mau hatinya berharap pada Priyo lagi. Cukup satu kali saja. Walaupun mereka berhubungan baik dan manusia bisa berubah, untuk rujuk kembali Azmi tidak akan melakukannya.
Tak ada jawaban dari Azmi, Priyo mengakhiri panggilannya. Ia sadar telah melewati batas. Jika saja mereka masih suami istri mungkin wajar, tetapi status mereka saat ini sudah berbeda.
Selesai dengan panggilan Priyo, Azmi melaksanakan sholat isya’ dan menyempatkan menonton drama Korea sebentar sebelum tidur. Sementara itu, Priyo sedang bersiap. Ia ada training ke Banjarmasin besok. Training selama 3 hari dan ia akan menyempatkan singgah di mess Azmi untuk mengantarkan makanan.