Sebenarnya, cinta suamiku untuk siapa? Untuk aku, istri sahnya atau untuk wanita itu yang merupakan cinta pertamanya
-----
Jangan lupa tinggalkan like, komen dan juga vote, jika kalian suka ya.
dilarang plagiat!
happy reading, guys :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Little Rii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlihat aneh
Setelah kepergian bu Sinta, Aira memilih langsung masuk ke kamar dan membaringkan tubuhnya. Hari ini ia sangat lelah, jadi ia merasa mengantuk sekarang.
"Aira, tolong saya sebentar," seru Aryan dari arah pintu ruang ganti. Aira yang tadinya sudah menarik selimut pun, terpaksa bangun lagi dan menghampiri suaminya.
"Iya, mas?"
"Resleting jaket saya nyangkut di rambut, saya udah coba bukain, tapi gak bisa." Ingin rasanya Aira tertawa karena suaminya terlihat berantakan, ia pun dengan cepat membantu membukakan rambut yang tersangkut itu.
"Ih, udah kegulung, mas. Aku tarikin aja rambut mas, ya."
"Jangan banyak-banyak, nanti botak."
"Iya, mas, ini juga pelan-pelan kok," sahut Aira berusaha untuk tidak menyakiti suaminya.
"Udah, mas."
"Makasih ya," ucap Aryan memegang jaketnya, lalu membuka rambut yang sudah tercabut dan masih tersangkut di resleting jaketnya.
Aira pun mengangguk pelan, lalu kembali ke tempat tidur. Tak memakan waktu yang lama, Aira sudah tertidur karena memang sangat mengantuk. Sedangkan Aryan, baru saja keluar dari ruang ganti.
"Udah tidur?" gumam Aryan naik ke atas tempat tidur, lalu membaringkan tubuhnya.
Aryan mengambil ponselnya, lalu membuka aplikasi pesan. Di sana, ada banyak pesan dari Diana yang tidak ia baca. Ia malas menambah pikiran.
Adrian.
"Pak, nona Diana hari ini di bawa pulang. Keadaannya juga sudah sedikit membaik, walau saya lihat tadi dia beberapa kali mengamuk ingin menemui bapak. Sepertinya mereka sudah ada di rumah, pak, jadi saya izin pulang ya."
"Iya, makasih."
Aryan pun mematikan ponselnya, lalu meletakkannya di nakas. Meski ia tidak berurusan dengan Diana lagi, tetap saja kepalanya pusing memikirkan semua kejadian yang sudah berlalu dan yang akan terjadi nanti, meski itu belum pasti terjadi.
02.58
Aira merasa terusik dalam tidurnya, karena merasa berat di bagian dadanya. Seperti ada yang sedang menindih dadanya. Ia pun membuka matanya secara perlahan-lahan, namun entah kenapa susah sekali. Ingin menggerakkan tangannya pun terasa sulit.
Aira mencoba memanggil suaminya, namun rasanya lehernya seperti tercekik, membuat ia sulit bernafas.
Apa Aryan yang mencekik-nya? Tapi, kenapa ia tidak merasa ada tangan manusia yang melekat di lehernya.
Aira mencoba bersuara, tapi hanya suara-suara tak jelas yang bisa ia ucapkan. Aira mencoba istighfar, lalu berdzikir, tapi mulutnya sulit mengucapkan, jadi hanya ia ucapkan dalam hati.
Samar-samar Aira mendengar suara suaminya yang memanggilnya, lalu terdengar bacaan ayat Al-Qur'an yang membuatnya lega. Tubuhnya perlahan bisa digerakkan, matanya pun perlahan-lahan bisa terbuka.
"Mas," panggil Aira pelan, sembari menatap wajah panik suaminya.
"Kamu gak papa? Udah ngerasa baikan? Ada yang sakit atau yang aneh?" tanya Aryan menyentuh kening Aira.
"Minum."
Aryan dengan cepat mengambil air minum, lalu membantu istrinya untuk duduk dan minum.
"Tadi itu, tadi itu,...
"Gak papa, kamu kayaknya diganggu, makanya gak bisa gerak gitu. Lain kali sebelum tidur jangan lupa Wudhu, baca doa, minta perlindungan sama Allah, ya." Aira langsung mengangguk dan kembali membaringkan tubuhnya.
"Kenapa mas bisa tau?"
"Suara kamu yang kayak dicekik itu kedengeran sama saya," jelas Aryan menarik selimut hingga menutupi dada istrinya.
"Mas, kita tahajud yuk," ajak Aira dengan suara pelan, takut suaminya akan menolak, karena selama ini, ia selalu tak diajak tahajud oleh suaminya.
"Boleh, kalau gitu ayo wudhu. Saya temani." Aira tersenyum manis, lalu kembali bangun. Meski badannya sedikit lemas, ia tetap semangat untuk tahajud.
Setelah selesai tahajud, Aira lanjut membaca Al-Qur'an, bersama Aryan. Rasa kantuk terasa hilang, yang ada hanya semangat beribadah saja.
Setelah membaca Al-Qur'an, menunggu waktu subuh, Aryan mengajak Aira untuk ke bawah. Aryan akan membuatkan minuman hangat dan sehat untuk Aira, karena istrinya itu terlihat pucat dan lemas.
"Mas, jangan pakai biji selasih, mual," seru Aira melihat suaminya yang hendak memasukkan biji selasih ke minuman.
"Mual? Kenapa?"
"Kayak telur katak," jawab Aira bergidik karena geli.
Aryan pun tak memasukkan biji selasih ke minuman Aira, lalu memberikan minuman itu karena sudah jadi.
Setelahnya, Aira pun di ajak untuk menunggu waktu subuh, di ruang menonton. Selagi Aira menikmati minumannya, Aryan menghidupkan televisi lalu menonton berita 24 jam.
Beberapa menit kemudian. Aryan melirik ke sampingnya, saat berita tadi sudah berganti dengan siaran lain. Ia penasaran, kenapa Aira tak bersuara sedikit pun. Ternyata Aira sudah tidur, bersandarkan dinding. Aryan pun menggeser tubuhnya agar ikut bersandar, lalu mengarahkan kepala istrinya, ke bahunya.
"Tangannya kecil," gumam Aryan memegang pergelangan tangan Aira, lalu meletakkan tangan kiri istrinya itu, ke atas pahanya.
------
Setelah shalat subuh tadi, Aira mendadak kembali mual. Efek morning sickness itu belumlah berakhir, jadi setiap hari ia akan mengalami ini yang kadang di bantu suaminya, kadang juga tidak.
Aira menatap kosong ke arah jendela kamar, dalam posisi berbaring menyamping menghadap jendela. Entah kenapa, sejak kejadian semalam, ia merasa seperti diikuti seseorang dan juga selalu merasa merinding. Aira tak tau kenapa. Apa mungkin karena efek halusinasi yang berlebihan?
Saat Aira tengah termenung, pintu kamar di buka. Aryan masuk sembari memegang ponselnya.
"Saya hari ini ada rapat penting, padat banget. Mungkin gak bisa di hubungi nanti, jadi kalau ada keluhan bilang ke bu Imas, ya."
Aira tak menanggapi sama sekali, karena ia merasa malas menanggapi. Mendengar suara Aryan saja ia merasa malas, apalagi menoleh ke arah suaminya itu.
Entah kenapa begini, tapi, Aira benar-benar malas menanggapi Aryan.
"Saya anggap kamu dengar, ya." Setelah mengatakan itu, Aryan pun bergegas bersiap-siap pergi kerja, sedangkan Aira, wanita itu masih menatap kosong ke arah jendela kamar.
-----
Hari sudah menjelang siang, Aira tampak duduk di teras, sembari memegang botol minum. Ada perasaan was-was di hatinya, serta takut akan sesuatu, tapi entah apa itu.
Sedari tadi, ia tak makan nasi, karena memang sedang tidak bernafsu untuk makan. Jadi, ia hanya makan buah dan juga beberapa kue kering.
Saat mata menatap kosong halaman rumah, pintu gerbang terlihat terbuka. Mobil berwarna hitam masuk ke halaman rumah.
Aira menghela nafas panjang, lalu memilih masuk saja, karena ada perasaan malas saat melihat orang di dalam mobil, baru saja keluar.
"Loh, itu ada pak Aryan, non. Mungkin mau makan siang sama non Aira, " seru bu Imas menatap bingung istri majikannya yang berjalan ke arah halaman belakang. Aira tak menjawab dan hanya berjalan, lalu duduk di kursi halaman belakang.
Sementara itu, Aryan sudah memasuki rumah dan menghampiri bu Imas. "Saya kemari mau ngambil berkas untuk nanti sore, sekalian makan siang sama Aira," jelas Aryan saat bu Imas menanyakan, kenapa Aryan pulang sedangkan pagi tadi sudah berpesan kalau hari ini sangat sibuk.
"Oh, kebetulan dong, pak. Non Aira belum makan nasi dari pagi, mungkin kalau sama bapak, beliau mau makan," ujar bu Imas tersenyum senang.
"Dimana dia?"
"Di halaman belakang, pak."
Aryan berjalan ke arah halaman belakang, lalu menghampiri istrinya yang terlihat termenung. Tadi ia sempat melihat istrinya ada di teras, tapi malah pergi saat ia datang.
"Ayo makan," ajak Aryan dari arah belakang Aira.
"Duluan aja."
"Kata bu Imas, kamu belum makan nasi dari pagi. Ini udah masuk jam makan siang, jadi kamu harus makan, biar gak sakit."
"Duluan aja."
"Saya udah bela-belain datang ke sini, padahal saya lagi sibuk, Aira. Saya mau makan siang sama kamu," ucap Aryan dengan mata yang memicing.
"Kalau aku bilang duluan, ya duluan aja!"
"Saya punya salah sama kamu? Saya minta maaf." Aira tak merespon dan memilih pergi dari halaman belakang, diikuti Aryan dari belakang.
Bukannya ke ruang makan, Aira malah pergi ke kamar.
"Bu Imas, tolong bawakan makanannya ke kamar!"
"Siap, pak."
Sesampainya di kamar, Aira terlihat sudah membaringkan tubuhnya, menarik selimut sampai ke leher.
"Kamu kenapa? Apa ada yang sakit?" tanya Aryan menatap bingung istrinya yang sangat aneh hari ini.
Aira kembali diam, sembari memejamkan matanya, membuat Aryan menjadi geram.
Apa ia melakukan kesalahan lagi? Tapi, apa? Kapan ia melakukan kesalahan yang membuat istrinya jadi begini?
Beberapa menit kemudian, makanan sudah ada di kamar. Aryan pun menyiapkan makanan untuk Aira, mungkin memang istrinya sedang bad mood akibat hormon kehamilan.
"Aira, saya suapi ya. Setidaknya kamu makan sedikit nasi aja, biar gak masuk angin," seru Aryan duduk di tepi ranjang. "Mau saya bantu duduk?"
"Pergi."
"Kamu du,...
"Pergi aku bilang!" teriak Aira marah, membuat Aryan semakin bingung. Ini adalah teriakan pertama yang keras dan penuh amarah, yang pernah ia dapatkan dari Aira.
"Kamu kenapa, ha? Kalau saya ada salah, bilang! Jangan gini! Saya udah coba buat berubah, Aira, saya mohon bantuan kamu."
"Aku bilang pergi!"
"Oke, saya bakalan pergi, tapi kamu makan dulu."
"Pergi!" teriak Aira melemparkan gelas yang ada di atas nakas, ke arah Aryan. Gelas itu sempat di tepis, namun tetap membuat telapak tangan Aryan terluka, walau sedikit.
Aryan menatap istrinya dengan mata yang memicing. Tatapan istrinya terlihat sangat benci padanya, marah dan juga benci, bercampur jadi satu.
Kenapa bisa begitu?
"Biar bu Imas yang bantu kamu makan, ya "
"Buang sana! Jangan kasih aku makan!"
"Apa maksud,...
Cuih!
Aryan sontak mundur, saat istrinya meludah ke arahnya. Ini bukan Aira yang ia kenal. Aira tidak mungkin sekurang ajar ini, meski sedang marah.
"Pergi kamu, sialan!"
Aryan mengeluarkan ponselnya, lalu menghubungi bu Imas, agar menyuruh pelayan untuk segera naik ke atas. Kamar harus di bersihkan terlebih dahulu, apalagi ada pecahan gelas di lantai.
Selagi kamar sedang di bersihkan, Aryan menatap istrinya yang duduk di ranjang, sembari menyandarkan kepalanya. Mata wanita itu terus mengawasi orang-orang yang sedang halu-lalang membersihkan kamar. Mata itu, terlihat seperti ketakutan.
Kenapa bisa begitu?
Di sisi lain.
Diana tengah menatap makanan yang baru saja dibawakan mamanya. Rasanya sangat tak berselera, walau makanan itu adalah salah satu menu kesukaannya.
"Di, makan dulu ya."
"Enggak, ma."
"Mama mohon, Di, kamu harus makan."
"Enggak, ma! Aku gak mau makan. Buat apa aku makan, kalau hidup aku aja berantakan gini." Bu Sinta terlihat nenghela nafas pelan, lalu mengenggam tangan Diana.
"Kamu tenang aja, Di. Mama yang bakalan balas semua rasa sakit kamu. Ini baru aja di mulai, nak." Kening Diana terlihat berkerut menatap senyuman sinis dari bibir ibunya.
"Maksud mama, apa?"
Bu Sinta mendekatkan wajahnya, lalu membisikkan sesuatu ke Diana, membuat Diana langsung melotot.
"Mama udah gila, ya!"
padahal bagus ini cerita nya
tapi sepi
apalagi di tempat kami di Kalimantan,
jadi harus kuat kuat iman,jangan suka melamun
ngk segitunya jgak kali
orang tuanya jgk ngk tegas sama anak malah ngikutin maunya anak
emak sama anak sama aja
si aryan pun ngk ada tegasnya
.