Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
seperti tak diinginkan
Amira duduk di ruang tamu rumah mertuanya, mengamati setiap sudut ruangan yang tampak rapi namun dingin. Baru kemarin ia dan Angga melangsungkan pernikahan sederhana di balai desa. Meski sederhana, momen itu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupnya. Kini, ia resmi menjadi istri dari pria yang ia cintai. Namun, ia tak bisa mengabaikan perasaan canggung yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya sejak pagi tadi, ketika pertama kali ia melangkahkan kaki ke rumah ini.
Rumah mertuanya cukup besar, dengan cat tembok warna krem yang sedikit kusam. Aroma kayu tua tercium samar dari perabotan di dalamnya. Namun, yang lebih mencolok daripada suasana rumah itu adalah tatapan sinis dari ibu mertuanya, Bu Ratna. Tatapan itu, penuh penilaian, membuat Amira merasa seperti seorang tamu yang tidak diundang.
"Angga, sudah selesai bawa barangnya ke kamar?" suara Bu Ratna terdengar dari dapur, datar dan tanpa emosi.
"Sudah, Bu. Amira juga bantu kok," jawab Angga dengan santai.
Bu Ratna keluar dari dapur sambil membawa secangkir teh, tapi pandangannya tertuju langsung pada Amira. Mata itu menelusuri tubuh Amira dari ujung kepala hingga kaki, seperti menilai pakaian sederhana yang ia kenakan. Amira mencoba tersenyum, tapi yang ia dapatkan hanya anggukan kecil dari Bu Ratna.
"Amira," panggil Bu Ratna dengan nada dingin, "kamu tahu, kan, kalau rumah ini bukan tempat tinggal permanen? Angga cuma sementara di sini sampai kalian bisa cari tempat sendiri."
Amira menelan ludah, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya. "Iya, Bu. Saya mengerti. Kami hanya sementara di sini."
Bu Ratna mengangguk singkat, lalu kembali ke dapur tanpa sepatah kata lagi. Amira merasa seperti dirinya adalah beban di rumah ini, bukan bagian dari keluarga baru seperti yang ia harapkan.
Amira mencoba mengalihkan pikirannya. Ia mengingat hari-hari sebelumnya, ketika ia masih tinggal bersama neneknya di sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Nenek adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah kedua orang tuanya meninggal dunia dalam kecelakaan mobil ketika ia masih kecil. Kehidupan bersama neneknya penuh keterbatasan, tetapi ia merasa dicintai dan diterima.
Namun, takdir berkata lain. Neneknya jatuh sakit beberapa bulan sebelum Amira menikah. Dalam sakitnya, nenek selalu berkata, "Amira, kamu perempuan kuat. Jangan pernah biarkan dunia membuatmu merasa rendah." Kata-kata itu selalu menjadi penguat hatinya, terutama sekarang, ketika ia merasa kehadirannya tidak diinginkan oleh ibu mertuanya.
Hari mulai menjelang malam, dan Amira sibuk membantu Bu Ratna di dapur. Meski ia ingin mendekatkan diri dengan ibu mertuanya, usaha itu tampaknya sulit. Setiap kali Amira mencoba memulai percakapan, Bu Ratna hanya menjawab seperlunya.
"Bu, boleh saya yang memotong sayur ini?" tanya Amira dengan hati-hati.
"Kalau kamu bisa, ya potong saja. Tapi jangan sampai terlalu tebal, ya. Saya suka sayur yang rapi," jawab Bu Ratna tanpa menoleh.
Amira mengambil pisau dan memulai tugasnya. Ia berusaha keras untuk melakukannya dengan baik, tapi tangannya sedikit gemetar. Satu irisan terlalu tebal, dan ia langsung merasakan tatapan tajam Bu Ratna.
"Itu terlalu besar, Amira. Kalau kamu tidak terbiasa masak, bilang saja. Jangan merusak bahan makanan," tegur Bu Ratna.
Amira merasa dadanya sesak. Ia hanya ingin membantu, tapi tampaknya apa pun yang ia lakukan selalu salah di mata ibu mertuanya.
Setelah makan malam, Amira membersihkan meja sementara Angga duduk di ruang tamu bersama ibunya. Ia bisa mendengar percakapan mereka dari dapur.
"Angga, kenapa kamu tidak mencari kontrakan saja? Rumah ini kecil, dan kita sudah terlalu banyak orang di sini," kata Bu Ratna dengan nada tak sabar.
"Bu, kami belum punya cukup tabungan. Lagi pula, ini cuma sementara," jawab Angga dengan tenang.
"Sementara itu bisa berbulan-bulan, Angga. Dan kamu tahu sendiri, saya ini bukan tipe orang yang suka ada orang asing di rumah."
Kata-kata itu terasa seperti tusukan di hati Amira. "Orang asing," gumamnya pelan. Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa, tapi mendengar itu diucapkan langsung terasa menyakitkan.
Malam itu, setelah semuanya tidur, Amira dan Angga duduk berdua di kamar kecil yang mereka tempati. Kamar itu dulunya adalah ruang penyimpanan, tapi sekarang disulap menjadi tempat tidur sementara. Meski sempit, Amira merasa lebih nyaman berada di dekat Angga.
"Angga, apa Ibu selalu seperti itu?" tanya Amira pelan.
"Seperti apa maksudmu?" Angga balik bertanya.
"Sepertinya dia tidak suka aku ada di sini," Amira menundukkan kepala.
Angga menghela napas panjang. "Ibu memang keras, Mira. Tapi dia bukan orang jahat. Dia cuma belum mengenalmu lebih dekat. Beri dia waktu."
Amira ingin percaya kata-kata Angga, tapi ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar 'butuh waktu'. Dari awal, tatapan Bu Ratna sudah penuh dengan penolakan.
"Aku akan berusaha, Angga. Aku janji," katanya akhirnya, meski hatinya masih diliputi keraguan.
Di tengah malam, Amira terbangun dari tidurnya. Ia duduk di atas kasur, memandang langit-langit kamar yang gelap. Di tengah keheningan malam, ia mendengar suara angin berdesir di luar jendela. Ia memikirkan kembali nasihat neneknya.
Hidup memang tidak mudah baginya. Sebagai anak yatim piatu, ia sudah terbiasa menghadapi pandangan merendahkan dari orang-orang di sekitarnya. Tapi ia selalu berusaha membuktikan bahwa dirinya lebih dari apa yang mereka pikirkan.
Sekarang, ia menghadapi ujian baru. Hidup bersama ibu mertua yang tampaknya tidak menyukainya adalah tantangan besar. Tapi Amira tahu satu hal ia tidak akan menyerah. Baginya, cinta pada Angga adalah alasan terbesar untuk bertahan.
Dengan tekad itu, Amira kembali berbaring, mencoba memejamkan mata. Di dalam hatinya, ia berdoa agar hari-hari ke depan membawa perubahan yang lebih baik.
Dua hari tinggal di rumah mertuanya terasa seperti dua minggu bagi Amira. Waktu berjalan begitu lambat, terutama saat Angga pergi bekerja. Tanpa keberadaan suaminya, ia harus menghadapi Bu Ratna dan Loli, adik iparnya yang berusia 19 tahun, seorang diri. Setiap langkah yang Amira lakukan seolah selalu salah di mata ibu mertuanya.
Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, Amira sudah bangun. Ia berharap bisa mencuri waktu untuk menenangkan pikiran sebelum memulai aktivitas. Namun, harapannya pupus saat ia melangkah ke dapur dan menemukan tumpukan piring kotor yang menggunung di wastafel. Bau tidak sedap dari sisa makanan semalam memenuhi udara.
"Amira, itu piring-piring masih belum dicuci sejak semalam. Tolong segera bereskan," kata Bu Ratna dari ruang tamu dengan nada tegas, tanpa memberikan salam pagi.
Amira menelan ludah dan mengangguk. "Baik, Bu."
Tak lama kemudian, Loli muncul dari kamarnya sambil membawa keranjang pakaian kotor yang penuh sesak. Dengan santai, ia menjatuhkan keranjang itu di lantai dapur, tepat di depan Amira.
"Kak Amira, ini cucian aku. Sekalian ya. Aku buru-buru ada janji sama teman," kata Loli tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Amira berhenti sejenak, menatap pakaian-pakaian yang tergeletak begitu saja di lantai. Hatinya memberontak, tapi ia tahu jika ia menolak, suasana rumah akan semakin tegang. Dengan berat hati, ia hanya mengangguk.
"Baik, Loli," jawabnya pelan.
Amira mulai mengerjakan tugasnya satu per satu. Ia mencuci piring-piring kotor sambil sesekali mendengar celotehan dari Bu Ratna yang sedang menelepon seseorang di ruang tamu.
"Iya, memang dari awal saya sudah kurang setuju, tapi Angga tetap ngotot," suara Bu Ratna terdengar jelas. "Ya, kamu tahu sendiri, perempuan seperti itu kan biasanya cuma jadi beban. Apalagi dia anak yatim piatu, enggak ada siapa-siapa."
Amira berhenti menggosok piring. Kata-kata itu seperti duri yang menusuk hatinya. Tapi ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan mertuanya.
Setelah selesai mencuci piring, Amira melanjutkan dengan mencuci pakaian. Keranjang cucian miliknya, Angga, dan Loli sudah bercampur menjadi satu. Keringat mulai mengalir di dahinya, tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya.
Setiap kali ia merasa lelah, ia mengingat kembali janjinya pada Angga: untuk berusaha bertahan dan membuktikan bahwa dirinya adalah istri yang pantas.
Setelah selesai mencuci pakaian, Amira menjemurnya di halaman belakang. Saat ia sedang menggantung pakaian terakhir, Loli datang menghampirinya.
"Kak Amira, itu bajunya jangan dijemur dekat baju aku, ya. Aku enggak suka kalau bajuku bau cucian orang lain," katanya dengan nada angkuh.
Amira menatap Loli, mencoba memahami apakah gadis itu serius atau hanya bercanda. Tapi tatapan dingin di mata Loli menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh.
"Loli, semua ini sudah bersih. Tidak ada bedanya," jawab Amira dengan hati-hati.
"Pokoknya aku enggak suka. Kalau Kak Amira enggak mau pindahin, aku sendiri yang akan pindahin nanti," kata Loli sambil melengos pergi.
Amira menghela napas panjang. Ia merasa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menyenangkan Loli maupun Bu Ratna. Segala upayanya untuk membantu malah berujung pada kritik atau perintah tambahan.
Ketika sore menjelang, Angga pulang dari tempat kerja. Amira menyambutnya dengan senyuman, meskipun hatinya lelah. Ia tidak ingin Angga mengetahui betapa beratnya hari-hari yang ia lalui.
Namun, Bu Ratna segera menyambut Angga dengan keluhan.
"Angga, istrimu itu lambat sekali. Lihat saja tadi pagi, piring-piring baru selesai dicuci setelah hampir setengah hari. Padahal, itu sudah kubiarkan semalaman," kata Bu Ratna sambil melirik Amira.
Amira hanya diam, menundukkan kepala. Ia tahu jika ia membela diri, keadaan hanya akan semakin buruk.
"Bu, Amira itu masih belajar menyesuaikan diri di sini. Kasih dia waktu," jawab Angga dengan nada lembut, tapi tegas.
Amira merasa lega mendengar pembelaan Angga, meskipun ia tahu itu tidak akan mengubah pandangan Bu Ratna terhadapnya.
Di malam hari, Amira sedang membersihkan ruang makan ketika seorang tetangga datang berkunjung. Perempuan itu bernama Bu Santi, seorang teman lama Bu Ratna. Mereka duduk di ruang tamu, berbincang dengan suara yang cukup keras sehingga Amira bisa mendengar percakapan mereka.
"Jadi, ini menantu barumu, Ratna?" tanya Bu Santi sambil melirik Amira sekilas.
"Iya, Bu Santi. Ya, begitulah. Angga bawa dia ke sini, katanya belum punya uang untuk sewa rumah," jawab Bu Ratna dengan nada yang terdengar meremehkan.
Bu Santi tersenyum simpul. "Yah, namanya anak muda, Ratna. Kamu sabar saja. Mungkin nanti mereka bisa lebih mandiri."
"Semoga saja. Tapi ya begini, Bu Santi. Menantu saya ini kurang pengalaman. Semua pekerjaan rumah saja masih berantakan," lanjut Bu Ratna.
Amira mendengar itu dengan hati yang semakin teriris. Ia merasa tidak ada satu pun usahanya yang dihargai.
Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, Amira duduk sendirian di kamar. Angga sedang mandi, dan ia akhirnya memiliki sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba memahami mengapa hidup begitu sulit baginya.
"Tuhan, aku tahu ini adalah bagian dari ujian-Mu. Berikan aku kekuatan untuk bertahan. Berikan aku kesabaran untuk menghadapi semuanya. Dan jika mungkin, lunakkan hati mertuaku agar aku bisa diterima sebagai bagian dari keluarga ini."
Air matanya mengalir pelan, tapi ia segera menghapusnya. Ia tidak ingin Angga melihatnya menangis. Ia bertekad untuk terus berjuang, meski hari-hari yang ia jalani penuh dengan kesulitan.
Di tengah rasa sakit dan kelelahan, Amira masih menyimpan harapan bahwa suatu hari nanti, semua ini akan berubah menjadi lebih baik.