Semasa Joanna kecil ia tidak pernah menyukai kehadiran anak-anak laki-laki yang tinggal satu rumah dengannya. Namun, ketika duduk dibangku SMA Joanna merasa dirinya merasakan gejolak aneh. Ia benci jika Juan dekat dengan orang lain. Ia tidak bisa mengartikan perasaannya pada laki-laki itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnettasybilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19 : Joanna
...- happy reading -...
...***...
Masih di base camp, Joanna mendengar notif di ponselnya, wajahnya sangat terkejut begitu melihat sebuah chat yang masuk.
Juan 💬 : Kak, ini aku Juan. Tolong kesini sebelum jam 11 malam, please kak bantu aku.
Setelah menerima pesan dari Juan, Joanna meminta bantuan kepada Lisa yang memang jago dalam urusan melacak. Keadaan semakin tegang, Girlvy yang awalnya riuh kini semua terdiam, menunggu Lisa yang sedang melacak keberadaan Juan.
"Bandung! Dia ada di Bandung, Joanna." Lisa membuat suasana hening itu menjadi riuh.
"Lis, lo ikut gue ke kantor polisi."
Joanna mengambil jaketnya lalu berjalan keluar base camp. Kini semuanya sudah berkumpul di kantor polisi. Joanna tadi langsung menghubungi kedua orang tuanya dan mengajak mereka ke kantor polisi, Laras yang juga khawatir ikut datang dan mengikuti proses pelaporan itu.
"Ini pak hasil lacakan saya." Lisa memberikan alamat lengkap beserta bukti hasil tracking.
"Baik kita siapkan peluncuran."
***
Juan kini duduk menatap kosong televisi di hadapan nya, sekarang sudah pukul delapan malam, itu tandanya tersisa tiga jam lagi sebelum ia dan Sisil menuju bandara.
"Kenapa ga dimakan?" Juan menggeleng.
"Kak, semua ini salah. Kakak tau kan?" Juan menatap Sisil sendu, dirinya tahu bahwa Sisil tidak punya niat buruk terhadapnya.
"Aku tau, tapi mau gimana lagi? Ngelepasin laki-laki yang gue cintai untuk kedua kalinya?" Keduanya kini duduk bersampingan dengan kepala dipenuhi pikiran masing masing.
"Sebelum semuanya terlambat, kakak lepasin aku ya?"
Juan memegang lengan Sisil, memohon padanya untuk tidak membawa pergi dirinya. Namun, pandangan Sisil berubah, tak lagi selembut biasanya. Tatapan itu menjadi tajam dan dingin, Juan yang melihat perubahan ekspresi Sisil terdiam.
la merasa takut, tangan nya ia lepas perlahan dari lengan Sisil. Nafasnya tercekat saat Sisil berubah mencekik lehernya pelan, membuatnya tak bisa bergerak kemanapun.
"Bilang sekali lag..." Suara Sisil mendadak berubah menjadi berat dan datar namun tetap mengintimidasi. Melihat Juan yang terdiam ketakutan, Sisil tertawa seperti orang gila.
"Kamu takut?" Cengkraman di leher Juan terlepas, dengan refleks Juan memundurkan tubuhnya.
"Jadi kamu ga mau pergi sama aku?"
Juan refleks menggeleng dan berlari ke arah pintu. Berkali kali Juan menarik gagang pintu namun nihil, terkunci. Ia menelan ludah saat dilihatnya Sisil berjalan ke arahnya dengan wajah amarah. Di pegangnya kedua pundak Juan dengan erat, membuat sang empunya meringis kesakitan.
"Harus berapa kali aku bilang, hah?! Aku cinta sama kamu, Juan! Kenapa ga ngerti juga!"
Juan menggeleng sembari menangis, tubuhnya tidak bisa bergerak. Itu bukan cinta, tapi obsesi semata. Melihat sikap Sisil yang sebenarnya membuat Juan terkejut, perempuan yang perhatian itu berubah menjadi perempuan gila.
Dengan kasar Sisil menarik Juan kasar dan mendorongnya ke sofa, menindihnya kasar lalu mencium bibir lelaki itu dengan brutal. Sebagai lelaki, Juan tidak sepenuhnya kuat dari Sisil.
Juan berusaha berontak, tapi apa daya kekuatan tubuhnya tidak seimbang. Kungkungan Sisil terlalu kuat, perempuan itu berbeda, tatapannya, ekspresinya, semua berubah.
"Apa perlu aku dan kamu melakukan hal yang membuatmu harus bertanggungjawab untuk diriku, hmm?" Juan membelalak kan matanya, kepalanya menggeleng keras terlebih saat cumbuan Sisil turun ke lehernya.
"Lepas! Lo gila! Brengsek." Juan berusaha menggerakkan seluruh tubuhnya walaupun tidak begitu membuahkan hasil.
***
Setelah membujuk Bunda Lexa untuk tidak ikut, akhirnya mereka semua meluncur ke lokasi. Ayah, Joanna, Laras, dan beberapa polisi yang siap mengepung tempat. Bunda Lexa awalnya menolak untuk pulang, tapi setelah berulang kali dibujuk, akhirnya ia pulang di temani oleh Saka, Yuda dan Gerald.
Dua mobil melaju dengan cepat membelah tol yang tidak terlalu ramai itu. Joanna yang membawa mobil terlihat tidak karuan, pikiran nya berkelana jauh. Yang ada di otaknya hanyalah menyelamatkan Juan.
Sementara di apartemen itu, Juan berhasil mendorong Sisil hingga terjatuh. Laki-laki itu segera mengambil lampu hias di meja samping sofa untuk berjaga jaga jika saja Sisil melawan.
Benar saja, Sisil dengan keras mendorong Juan hingga ke tembok, dorongan keras yang membuat Juan meringis kesakitan karena punggungnya menabrak tembok yang keras.
Ia tidak habis pikir ada perempuan sekuat ini masuk dalam hidupnya. Bahkan ia yang berjenis laki-laki tidak bisa mengimbangi Sisil, seorang perempuan.
Tak ingin gadis itu melakukan hal yang lebih parah, Juan memukul Sisil menggunakan lampu hias itu, tepat mengenai punggungnya dan berhasil membuat lampu itu pecah. Punggung Sisil terluka akibat terkena pecahan lampu. Sisil terdiam sejenak lalu semakin menatap Juan marah. Dengan cepat Sisil mencekik leher Juan.
"Kalo lo ga jadi milik gue kita mati sama sama. Ga boleh ada yang miliki lo Juan." Sisil meneteskan air matanya di akhir kalimat, sementara Juan mulai kehabisan nafas saat itu.
Braakkk!!!
Pintu apartemen terdobrak, kaki Sisil tertembak oleh salah satu polisi. Ia melepaskan Juan yang langsung terjatuh ke lantai dengan lemas. Melihat itu, ayah dan Laras segera menghampiri Juan yang berusaha bernapas, meraup semua oksigen yang dapat ia hirup. Tatapan Juan kosong hingga ia dapati Laras dan ayahnya yang duduk di sampingnya.
"Kak Laras, Ayah—"
Juan memeluk Ayahnya erat, menangis sejadi jadinya disana, sungguh semua hal berat yang ia lewati benar benar menguras tenaga dan emosi. Laras menatap nanar Juan, seketika ia ingin memeluk laki-laki itu dan mengusap pelan pucuk kepalanya. la kecewa pada Sisil, sahabatnya itu sudah melukai laki-laki yang ia cintai.
Joanna menatap Sisil tak percaya. Jadi dalang di balik ini semua adalah Sisil? Sahabatnya?
Joanna berjalan mendekati Sisil, perempuan itu hanya menatap Joanna sembari memegangi kakinya yang tertembak. Dengan tatapan tidak percaya dan perasaan kecewa Joanna berjongkok di hadapan Sisil.
"Gue ga percaya sama apa yang gue liat, Sil. Semua ini ulah lo?" Joanna menarik kerah Sisil dan mengangkat nya untuk berdiri.
"Dia adik laki-laki gue Sil..."
"Sialan lo anjing! Gue ada salah apa sama lo hah?! Jawab!!"
Polisi yang berdiri disana segera menghampiri untuk melepaskan keduanya.
"Diem kalian! Biar gue kasih pelajaran dulu anak ini!"
Suara Joanna menggelegar membuat polisi itu hanya terdiam.
Suara penuh emosi yang membuncah dengan bergetar hebat. Satu tinjuan mendarat di wajah tampan milik Sisil, seperti kerasukan Joanna terus memukuli Sisil.
"Bangsat! Lo apain Juan, hah?! Lo apain anjing!" Caci makian keluar dari mulut Joanna disertai pukulan bertubi tubi. Juan dengan jelas melihat itu semua, baru kali ini ia lihat Joanna semarah itu. Dengan cepat Juan berdiri dan menghampiri Joanna.
"Kak.. udah kak—udah please... Biarin polisi yang urus ya? Ayo bawa Juan pulang."
Juan memeluk erat Joanna, pukulan itu terhenti seketika. Joanna menatap wajah Juan, sudut bibirnya terluka. Joanna yang lebih tinggi dari Juan hening sesaat menatap keadaan Juan. Dengan segera ia rengkuh Juan kedalam pelukan nya, pelukan erat hangat yang tak pernah ia berikan pada adik laki-laki nya itu sekalipun.
"Please kak, kita pulang...."
Tangisan Juan semakin kuat, perasaan campur aduk kini ia rasakan. Bolehkah ia bahagia dengan perlakuan kecil Joanna yang tidak pernah ia dapatkan sejak ia hadir di kehidupan Joanna?
"Sssttt... Jangan nangis, kakak ada disini..."