Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Liana dan Amara dulunya adalah kakak-beradik yang sangat akrab. Sejak kecil, Liana selalu menjadi pelindung bagi adiknya, bahkan mengorbankan banyak hal demi kebahagiaan Amara. Namun, semua berubah sejak kehadiran Ferdi, pria yang selama ini diam-diam disukai Liana.
Amara, yang baru saja bercerai dan kembali ke rumah keluarga mereka, tanpa sadar sering menghabiskan waktu bersama Ferdi. Awalnya, Liana mencoba mengabaikan situasi itu, berpikir Amara hanya menganggap Ferdi sebagai teman biasa. Namun, kebersamaan mereka semakin sering, hingga Liana mulai merasa terganggu. Apalagi Ferdi terlihat semakin perhatian kepada Amara, membuat Liana merasa bahwa perasaannya tidak pernah dianggap.
Ketegangan memuncak ketika Liana memergoki Amara dan Ferdi sedang berbincang santai di taman rumah mereka. Dalam hati, Liana merasakan sakit luar biasa. Dengan nada sinis, dia akhirnya melontarkan teguran kepada Amara. "Kamu itu janda, Amara. Jangan manja-manja sama Ferdi seperti itu. Kamu tahu aku suka dia, kan?"
Amara tertegun. Dia tidak menyangka kakaknya akan berbicara setajam itu. Dengan mata berkaca-kaca, Amara mencoba membela diri. "Aku tidak merebut Ferdi. Aku hanya butuh teman bicara, Kak. Apa aku salah kalau dia nyaman berbicara denganku?"
Tidak puas dengan penjelasan Amara, Liana semakin meledak. Tapi Amara, bukannya melawan, memilih untuk mengadu kepada sang Oma, satu-satunya orang yang selama ini selalu membelanya.
Ketika Liana masuk ke ruang keluarga, dia melihat Amara sedang menangis di pelukan sang Oma. Mata Oma menatap Liana tajam, seolah memberi hukuman. "Liana, kenapa kamu harus berkata seperti itu kepada adikmu? Dia baru saja melalui masa sulit, dan kamu malah menambah bebannya."
Teguran itu membuat hati Liana terasa hancur. Dia ingin berteriak, ingin menjelaskan bahwa justru Amara yang telah menyakiti perasaannya. Namun, Liana memilih diam, menahan gejolak emosinya. Dia merasa semua pengorbanannya untuk Amara selama ini tidak ada artinya. Adik yang selama ini dia sayangi, yang dia bela mati-matian, malah seolah menikamnya dari belakang.
Sementara itu, Amara juga merasa sakit hati. Dia tidak pernah bermaksud merebut Ferdi dari kakaknya. Amara hanya ingin memiliki seseorang yang bisa membuatnya merasa dihargai di tengah kejatuhannya. Situasi ini membuat hubungan mereka semakin renggang. Amara merasa tidak pernah dianggap benar oleh Liana, sementara Liana merasa cintanya direbut oleh orang yang paling dia percaya.
Di sisi lain, Ferdi menjadi bingung melihat perubahan sikap kedua wanita itu. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya adalah akar dari keretakan hubungan kakak-beradik ini. Apakah Ferdi akan mengambil sikap? Atau hubungan Liana dan Amara benar-benar tidak bisa diselamatkan?
Perselisihan kecil ini mungkin terasa sederhana, tetapi bagi Liana dan Amara, luka yang ditinggalkan sangat mendalam. Mereka harus memilih: mempertahankan cinta mereka pada Ferdi, atau menyembuhkan hubungan saudara yang hampir tidak terselamatkan.
Setelah mendapat teguran dari sang Oma, Amara merasa sangat terluka. Kata-kata Liana terus terngiang di benaknya, membuatnya murung. Bahkan di kantor, suasana hati Amara terpancar jelas—dia terlihat lesu dan tak bersemangat. Sikap ini tak luput dari perhatian Ferdi, pria dingin yang sebenarnya ditugaskan oleh Oma untuk mengawasi Amara.
Ferdi, yang biasanya tidak peduli pada urusan orang lain, merasa terganggu melihat Amara begitu murung. Dia mendekati meja Amara dengan ekspresi datar seperti biasanya. "Amara, kamu kenapa? Kerjaanmu berantakan hari ini. Kalau kamu nggak serius, aku bakal lapor ke Oma."
Nada dingin Ferdi membuat Amara menghela napas panjang. Dengan wajah lesu, dia menjawab, "Aku nggak apa-apa, Kak Ferdi. Aku cuma lagi nggak enak hati."
Alih-alih menanyakan lebih lanjut, Ferdi memilih untuk mengawasinya dari jauh. Namun, semakin hari, dia merasa ada sesuatu yang tidak biasa dari Amara. Meski awalnya dia hanya berniat menjalankan tugas Oma, perlahan-lahan Ferdi mulai tergelitik untuk membuat Amara kembali ceria.
Dalam caranya yang dingin, Ferdi menyodorkan secangkir kopi ke meja Amara. "Minum ini, siapa tahu mood kamu lebih baik. Tapi jangan harap aku akan selalu begini."
Amara menatap Ferdi, bingung dengan sikapnya yang mendadak perhatian. Dia tersenyum kecil dan mengucapkan terima kasih. Melihat senyuman itu, Ferdi merasakan sesuatu yang asing di hatinya—sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Namun, Ferdi tidak menunjukkan perasaannya. Ia tetap bersikap seperti biasa, menjaga jarak. Tapi diam-diam, Ferdi mulai mencari cara lain untuk membuat Amara tersenyum lagi. Ketika melihat Amara bekerja dengan wajah masam, Ferdi tiba-tiba mengomentari pekerjaannya dengan nada serius, "Tulisan laporanmu jelek banget. Ini laporan atau puisi patah hati?"
Amara terkejut mendengar candaan yang keluar dari mulut Ferdi, pria yang dikenal dingin dan jarang bicara. Tanpa sadar, dia tertawa kecil. "Kak Ferdi, sejak kapan bisa bercanda kayak gitu? Aku kira kamu nggak punya sisi humor."
Ferdi hanya mengangkat bahu. "Jangan salah paham. Aku cuma nggak mau Oma bilang aku gagal mengawasi kamu."
Namun, momen kecil ini justru membuat mereka semakin dekat. Amara mulai merasa bahwa di balik sikap dingin Ferdi, ada sisi hangat yang jarang ditunjukkan. Sementara Ferdi, yang awalnya hanya menjalankan tugas, mulai menyadari bahwa perhatiannya pada Amara bukan lagi sekadar kewajiban.
Amara duduk di kantornya dengan perasaan gelisah. Ia tahu kedekatannya dengan Ferdi telah membuat kakaknya, Liana, marah. Dengan niat untuk memperbaiki semuanya, Amara memutuskan untuk berbicara langsung dengan Ferdi.
Sore itu, Ferdi berdiri di dekat jendela ruangan dengan sikapnya yang dingin, memandang keluar tanpa ekspresi. Amara menghampirinya dengan ragu.
"Ferdi, aku mau bicara," ucap Amara pelan.
Ferdi menoleh singkat, lalu kembali memandang keluar jendela. "Bicara saja."
Amara menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Kakak Liana menyukaimu. Sudah lama... dan aku nggak mau jadi penyebab kalian bermasalah. Ferdi... tolong coba buka hati untuk Kak Liana. Dekati dia, setidaknya beri dia kesempatan."
Kali ini, Ferdi benar-benar menatap Amara. Ekspresinya tetap dingin, tapi di dalam hatinya, kalimat itu membuatnya kaget. Perasaan aneh mengalir dalam dirinya—perasaan yang selama ini ia tahan. Namun, bukannya menjawab, ia memilih diam.
Amara tidak menunggu. Ia tersenyum kecil, meskipun hatinya bergetar. "Kalau kamu mendekati Kak Liana, mungkin... mungkin semuanya akan kembali seperti dulu. Kak Liana bahagia, dan aku... aku juga nggak akan merasa bersalah lagi."
Mendengar itu, Ferdi mendadak merasa marah. Ucapan Amara seakan menekan hatinya, membuatnya geram tanpa alasan yang jelas. Tanpa sadar, suaranya meninggi.
"Kamu pikir ini mainan, Amara? Kamu menyuruhku mendekati Liana seolah perasaan itu bisa diciptakan begitu saja? Kamu kira aku semudah itu berpura-pura?"
Amara terdiam, kaget melihat Ferdi yang tiba-tiba marah. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Ferdi melanjutkan, dengan nada sarkas yang tajam.
"Baiklah. Kalau itu maumu, aku akan mendekati kakakmu. Semoga cinta pura-pura itu bisa membuatku jatuh cinta sungguhan padanya."
Kata-kata itu menusuk hati Amara. Dadanya terasa sesak, dan ia menunduk untuk menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Ferdi menatapnya sebentar, tapi tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan pergi meninggalkan Amara sendirian di ruangan itu.
Saat pintu tertutup, Amara tidak bisa menahan air matanya. Perasaan aneh menjalar di hatinya. Rasa sakit yang begitu dalam, bercampur dengan cemburu yang tidak bisa ia pahami.
"Kenapa aku merasa seperti ini?" bisiknya pelan.
Di sisi lain, Ferdi berjalan dengan langkah cepat ke luar ruangan. Ekspresinya tetap dingin, tapi hatinya bergejolak. "Bodoh. Kenapa dia harus berkata seperti itu?" pikirnya. Ferdi tahu betul, perasaannya tidak pernah ada untuk Liana. Sejak awal, perasaan itu hanya untuk Amara, tapi ia terlalu egois untuk mengakuinya.
Kini, keputusan yang diambilnya justru akan memperumit segalanya. Ia bersumpah akan mendekati Liana seperti permintaan Amara, tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu tidak akan pernah ada tempat untuk cinta yang pura-pura.
Sementara itu, Amara hanya bisa memandang kosong ke luar jendela, merasa hatinya hancur berkeping-keping tanpa tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Ia mulai menyadari bahwa perasaan cemburu itu adalah tanda... bahwa ia telah jatuh cinta pada Ferdi.