Seorang pria muda yang sedang menunggu interview dan seraya menunggu panggilan, dia memilih meluangkan waktunya untuk menjadi driver ojek online, tapi pria yang bernama Junaidi ini cukup apes dan apesnya ini bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali.
Singkatnya, pada malam itu pria muda tersebut tengah terburu-buru untuk mengantarkan pesanannya, tanpa sengaja, dia menyerempet nenek tua yang sedang menyebrang jalan.
Bukannya menolong, dia justru acuh tak acuh dengan alasan takut diberi bintang satu jika terlambat datang.
Namun, siapa sangka kalau nenek yang dia serempet bukanlah sembarang nenek dan setelah malam itu, mata batinnya terbuka. Inilah KUTUKAN SEMBILAN PULUH SEMBILAN HARI yang harus Junaidi terima.
Cerita ini merupakan karya fiksi murni. Nama tempat, kejadian dan karakter yang disebutkan tidak memiliki koneksi dengan kenyataan dan hanya untuk tujuan kreatif semata ditulis oleh Tsaniova.
Jam Update pukul 9.00 pagi dan malam pukul 19.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apakah Berakhir Di Sini?
Selesai dengan ruqyah, Rumi merasa kalau tubuhnya kini terasa sangat ringan, seperti tanpa beban. Lalu, kabar kematian pak kumis segera terdengar di telinganyai dan Junaidi, mereka mengetahuinya dari stori pemilik kos sebelumnya.
Sekarang, Rumi dan Sami sudah ada di kos, mereka mencari kos baru untuk dua sahabatnya dan kebetulan di kos Sami ada kamar kosong.
"Istirahat dulu, nggak sih?" tanya Rumi yang berbaring di ranjang, dia menatap langit-langit kamar barunya, memikirkan Junaidi yang sempat dia salahkan.
Teringat dengan Junaidi membuatnya juga teringat dengan taruhan di kantornya. Dia pun menghubungi seseorang. "Gimana, gua menang taruhan, kan? Cepat kumpulin duitnya!" perintah Rumi.
"Eh, gimana menang, belum juga ada seminggu, tuh Juna udah dipecat! Ambigu!" jawab seseorang itu, dia bersyukur karena Junaidi dipecat karena kesalahan kecil itu, jadi mereka memiliki alasan yang kuat untuk menggagalkan taruhan ini.
Tut... tut... tut. Suara telepon yang terputus.
"Sejak kapan Rumi dipecat? Apa karena dia jagain gua?" tanyanya pada diri sendiri. Dia pun segera gegas ke rumah sakit, ingin mempertanyakan hal tersebut.
Rumi pergi sendiri, dia mengendarai sepeda motornya, sesampainya di ruangan Junaidi, dia merasa grogi, malu dan salah tingkah terhadap Hana.
"Mas Rumi, sini masuk, Mas!" kata Hana seraya menyiapkan kursi untuknya.
"Terima kasih, Han," jawab Rumi seraya duduk, dia menatap Junaidi yang sedang menatapnya datar.
Lalu, Hana mengajak semua orang ke kantin, memberikan ruang untuk keduanya, berpikir mungkin saja ada sesuatu yang harus dibicarakan.
Sekarang, hanya tersisa dua pria muda tersebut, Junaidi pun bertanya, "Gimanah? Udah selesai ruqyahnya?"
"Udah, gua ada kabar baik, Jun," jawab Rumi, dia menatap sahabatnya.
"Apa?" tanya Junaidi, dia mengambil gelasnya untuk minum dan Rumi membantunya.
"Di tempat ruqyah itu bisa nutup mata batin juga, lu bisa kesana," jawabnya.
Deg!
Junaidi terdiam, dia menatap gelas yang ada di tangannya. "Kalau mata batin gua ditutup, gua nggak bisa lihat Melati lagi, seenggaknya, gua harus bantu dia dulu. Gua sadar rasa kagum sama kecantikannya ini nggak wajar, dia bukan manusia," gumamnya dalam hati.
Teringat dengan Melati, membuatnya juga ingat kalau dirinya tidak melihat hantu cantik itu dari pagi. Kemana dia? Junaidi pun turun dari ranjang.
"Mel! Melati!" teriak Junaidi.
Sementara itu, Rumi menatap datar sahabatnya, dia sudah tau jawabannya kalau Rumi menolak menutup mata batin itu.
Tapi, Rumi yang sudah menyeretnya ke masalah ini tak tinggal diam, dia harus menyelamatkan sahabatnya dari jeratan cinta palsu ini. "Jun," panggil Rumi, dia menepuk bahu Junaidi dari belakang.
Junaidi yang sedang membuka pintu itu menoleh. "Apa?"
"Dia bukan manusia, Jun. Lu harus sadar!" ucapnya dan Junaidi hanya tersenyum tipis.
"Gua sama dia temenan aja, kok," sahut Junaidi.
Lalu, dia melanjutkan langkahnya, keluar mencari Melati yang sedang sembunyi di balik salah satu pilar.
"Kamu ngapain?" tanyanya setengah berbisik, matanya hanya tertuju pada Melati, dia tak perduli dengan hantu-hantu lain yang sedang lalu-lalang, ada beberapa hantu yang memperhatikan keduanya.
Sekarang, ada hantu pria kecil yang menghampirinya. "Om, lihat Tante Melati, nggak?" tanyanya dan Junaidi menarik Melati keluar dari persembunyiannya.
"Kena! Sekarang Tante yang jaga!" teriak hantu kecil itu, seraya meloncat-loncat kegirangan.
"Kita mainnya udahan dulu, ya. Tante juga capek petak umpet mulu," jawab Melati seraya mengusap pucuk kepala pria kecil itu mungkin usianya sekitar delapan tahun.
"Tapi, Tante udah janji mau bantu Nino, kan?" tanyanya seraya menahan tangan Melati.
"Janji apa, Mel?" tanya Junaidi seraya memperhatikan keduanya.
Sementara itu, Rumi yang masih berdiri di pintu ruangan sedang menggeleng, dia sadar betul kalau Junaidi menjadi pusat perhatian dari semua kalangan, tidak hany dari kalangan manusia saja, tapi juga dari alam lain yang tak kasat mata.
Sekarang, pria itu menyeret sahabatnya masuk, sedangkan Junaidi menyeret Melati masuk. "Ada apa, sih?" tanya Junaidi seraya melepaskan tangan Rumi.
"Berhenti berurusan sama hantu, capek gua!" ucap Rumi yang kembali duduk.
Sementara Melati, dia merengek, "Kasian dia, neneknya masih sedih, dia pengen kirim pesan terakhir katanya," ucapnya seraya bersedekap dada, mengerucutkan bibirnya membuat Junaidi semakin gemas dibuatnya.
"Cuma itu?" tanya Junaidi seraya mengusap pucuk kepala Melati dan yang ditanya menjawab dengan mengangguk.
"Gampang kalau soal itu, tapi tugas kamu yang cari tau siapa orang tuanya dan dimana mereka tinggal," kata Junaidi, tiba-tiba saja hantu gadis itu sudah menghilang dari pandangan, entah kemana perginya, Junaidi pun mengedikkan bahunya.
Rumi yang sedari tadi memperhatikan itu masih menatap datar Junaidi. "Udah?" tanyanya dan Junaidi menoleh.
"Belum," jawab Junaidi, dia kembali ke brangkar dan rasanya sudah sangat ingin pulang.
"Lu udah dapat kamar baru?" tanya Junaidi seraya membetulkan posisi tiang infusnya.
"Udah, di kos Sami, ada kamar kosong," jawab Rumi seraya kembali duduk, dia mulai memainkan ponselnya.
"Lu dipecat? Kenapa?" tanya Rumi tanpa melihat yang diajaknya bicara.
"Ya, karena bukan rejeki gua kerja di sana, jawab Junaidi, " Rum, lu harus hati-hati sama wakil direktur, dia kayanya nyembunyiin sesuatu," lanjutnya, dia masih memperhatikan Rumi.
"Gua bukan tipe orang yang ngurusin urusan orang, terserah aja dia mau ngapain asal nggak ngusik gua," jawab Rumi seraya menoleh, dia menatap Junaidi.
"Apa?" tanya Junaidi.
"Tutup mata batin lu, semakin lu nggak ikut campur urusan mereka, hidup lu balik normal, kerja nyari duit buat keluarga, nggak usah temenan sama setan, kaya nggak tau setan aja," tukas Rumi, seketika dia menutup mulutnya, lalu memperhatikan seisi ruangan, mencari-cari keberadaan Melati, takut ucapannya akan menyinggungnya.
"Dia nggak ada di sini," celetuk Junaidi.
"Gua udah janji sama diri gua sendiri, Rum. Gua mau bantuin Melati dulu, habis itu udah, gua nggak akan berurusan sama hantu lagi," tukasnya. Junaidi pun memejamkan matanya.
****
Sementara itu, Melati yang tiba-tiba nyasar ke kantin itu melihat Riri dan Hana. Penasaran, Melati pun menghampiri mereka, menguping pembicaraan keduanya.
"Mas Juna itu sukanya roti keju, beli ini aja," kata Hana saat menyarankan Riri yang ingin membelikan roti sobek untuk Junaidi.
"Iya udah kalau gitu, angkut!" sahut Riri seraya mengambil beberapa bungkus roti tersebut.
"Enaknya, kalau lihat mereka aku selalu iri, aku ingin seperti mereka, aku ingin hidup," gumam Melati, dia pun sadar akan siapa dirinya di sisi Junaidi yang tak akan pernah bersatu.
"Buang perasaan ini, Mel. Jangan sampai menyakiti hatimu!" ucapnya pada diri sendiri.
Sekarang, dia melanjutkan misinya untuk mencari hantu kecil itu, tapi ada yang menarik perhatiannya saat dia melihat wakil direktur tempatnya bekerja dulu ada di rumah sakit yang sama.
Karena ada sosok yang menjaganya, Melati hanya melihat dari jauh, dia juga mengikutinya yang pergi ke suatu ruangan VIP. Melati melongok dari jendela ruangan itu, dia melihat seorang gadis cantik, muda tengah terbaring di brangkar lengkap dengan segala alat yang menempel di tubuhnya.
"Siapa dia? Apa hubungannya? Tapi, wajah perempuan itu nggak asing, aku pernah lihat dia, tapi dimana?" Melati bertanya-tanya dalam hati.
Melati yang sedang berfikir keras itu tiba-tiba saja melayang saat ada sosok hitam, besar dan tinggi mencekiknya. "Aaarrghhhh, apa aku berakhir sampai di sini?"