NovelToon NovelToon
Titik Balik Kehidupanku

Titik Balik Kehidupanku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Ibu Pengganti / Cinta Paksa / Beda Usia
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aufklarung

Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Meyra baru saja tiba di rumah setelah mengantar kedua putrinya ke sekolah. Setelah memastikan segalanya beres, dia memutuskan untuk mulai mengajarkan anak-anaknya lebih mandiri dalam mengurus keperluan sehari-hari. Meyra memanggil ketiga anak sambungnya ke ruang keluarga.

“Anak-anak, mulai sekarang, pakaian seragam yang sudah kotor harus kalian letakkan di ember cucian, ya. Jangan sampai berserakan di lantai atau di tempat lain,” ucap Meyra lembut tetapi tegas.

Ketiga anak itu, Rey, Rheana, dan Cessa, mengangguk patuh tanpa bantahan. Meyra tersenyum puas melihat mereka mulai mendengarkan arahannya dengan baik. Dia merasa optimis bahwa, meskipun bukan ibu kandung mereka, dirinya bisa membangun hubungan yang harmonis dengan anak-anak Alvin.

Pada malam harinya, saat mereka makan bersama, suasana terasa hangat. Meyra memasak makanan sisa siang tadi yang dibeli masih layak dikonsumsi. Namun, Rey, anak sulung, tampak kurang senang.

“Mommy, kenapa kita harus makan makanan tadi siang yang kita beli di restoran? Kan kita bisa beli makanan yang baru?” tanyanya dengan nada sedikit manja.

Meyra tersenyum, mencoba menenangkan. “Rey, kita tidak boleh membuang-buang makanan. Makanannya masih bagus dan masih enak dimakan. Mommy juga rasa masih enak , lho,” jawabnya sambil menyodorkan piring pada Rey.

Rey menghela napas, lalu menjawab singkat, “Ya terserah Mommy lah.” Namun, meski begitu, dia tetap memakan makanannya dengan lahap. Meyra hanya tersenyum melihat tingkah Rey yang mulai manja padanya. Meskipun Rey bukan anak kandungnya, perlahan hubungan mereka terasa semakin akrab.

Setelah makan malam selesai, suasana rumah mendadak berubah saat Alvin, ayah mereka, tiba-tiba pulang lebih awal. Semua penghuni rumah tampak terkejut.

“Kok tumben Papa pulang cepat? Biasanya kan pulang jam 12 malam,” celetuk Rey sambil mengerling pada Alvin.

Meyra segera menegur lembut, “Rey, nggak boleh gitu ngomongnya ke Papa.”

Rey mengangkat bahu, lalu mendekati Meyra. Dengan spontan, dia mencium pipi Meyra sambil berkata, “Aku ke kamar dulu ya, Mommy.”

Tindakan Rey itu membuat Alvin terkejut. Dia memandang anak sulungnya dengan ekspresi sulit dibaca. Ada rasa cemburu yang tak bisa ia sembunyikan. Bagaimana mungkin Rey bisa begitu dekat dengan Meyra, bahkan berani menciumnya di depan mata Alvin?

“Rey, sejak kapan kau berani mencium Mommy-mu seperti itu?” tanya Alvin dengan nada tegas.

Rey menoleh dengan santai, “Sejak hari ini, Pa. Ini kan Mommy-ku juga. Papa cemburu? Kalau Papa mau, ya cium aja pacar-pacar Papa di luar sana.”

Ucapan Rey itu langsung memicu kemarahan Alvin. “Jaga mulutmu, Rey!” bentak Alvin.

Meyra segera melerai. “Rey, masuk ke kamar sekarang. Jangan memperpanjang masalah,” pintanya tegas. Rey menurut, meski dengan langkah santai, lalu menghilang ke kamarnya.

Setelah memastikan Rheana dan Cessa sudah tidur, Meyra kembali ke kamarnya. Saat dia membuka pintu, dia mendapati Alvin yang hanya mengenakan handuk melilit pinggang, tengah mengambil pakaian bersih dari lemari. Pemandangan itu membuat Meyra terkejut.

“Maaf, aku nggak tahu kalau kau masih berganti pakaian,” ucap Meyra sambil menunduk malu. Ia segera keluar kamar untuk memberi Alvin privasi.

Beberapa menit kemudian, setelah memastikan Alvin sudah selesai, Meyra masuk kembali. Dia menatap suaminya dengan ragu, lalu bertanya, “Sudah makan?”

“Sudah,” jawab Alvin singkat. Namun, ia tampak penasaran. “Sejak kapan Rey memanggilmu Mommy? Bukannya selama ini kalian jarang bicara?” tanyanya, mencoba mengungkap rasa penasaran yang mengganjal.

“Sejak tadi pagi,” jawab Meyra tenang.

Alvin mengangguk kecil, lalu melanjutkan, “Tapi kenapa kau biarkan dia mencium pipimu seperti tadi? Bukannya itu agak berlebihan?”

“Dia kan anakku juga sekarang. Kenapa tidak bisa?” jawab Meyra sambil beranjak ke tempat tidur. Dia membaringkan tubuhnya tanpa menunggu respon Alvin.

Alvin hanya menatap punggung Meyra. Ada rasa ingin mendekat, ingin memeluk, tetapi dia tidak berani. Apalagi, bayangan insiden tadi siang saat dirinya tertangkap basah bersama seorang wanita lain masih menghantuinya. Alvin menghela napas panjang, lalu memutuskan untuk tidur.

Keesokan paginya, seperti biasa, Meyra bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan bagi anak-anak dan Alvin. Setelah semua makanan tersaji di meja, mereka berkumpul untuk sarapan bersama. Namun, suasana berubah ketika Alvin melihat Rey tidak memakai seragam sekolah.

“Rey, kenapa kamu nggak pakai seragam? Apa kamu kena skors lagi?” tanya Alvin dengan nada curiga.

Rey tampak ketakutan, tidak bisa menjawab. Rheana dan Cessa yang duduk di sampingnya mulai menangis pelan, mengetahui apa yang mungkin terjadi pada kakak mereka.

“Jawab, Rey!” bentak Alvin sambil berdiri dan menarik Rey dengan paksa.

“Papa, aku...” Rey tergagap, wajahnya pucat.

Melihat situasi memanas, Meyra segera mengejar mereka. Tanpa berpikir panjang, dia memeluk Alvin dari belakang, mencoba menghentikan niat suaminya yang hendak memukul Rey.

“Jangan pukul Rey, aku mohon. Jangan pukul dia,” pinta Meyra dengan suara bergetar.

Alvin terdiam. Sentuhan Meyra yang memeluknya dari belakang membuat amarahnya surut. Dia terkejut, bukan hanya oleh tindakan Meyra, tetapi juga oleh perasaan hangat yang tiba-tiba menguasai dirinya.

“Rey, tolong bereskan meja makan, ya. Urus adik-adikmu juga,” kata Meyra lembut namun tegas, melepaskan pelukannya pada Alvin.

Rey mengangguk tanpa berkata apa-apa dan segera pergi. Sementara itu, Meyra menatap Alvin dengan pandangan serius.

“Nanti aku akan jelaskan padamu, Bapak. Tapi sekarang, aku harus mengantar Rheana dan Cessa ke sekolah. Rey juga ikut dengan kami,” ucap Meyra sebelum meninggalkan Alvin yang masih berdiri mematung di ruang makan.

Di dalam mobil, Meyra berbicara dengan Rey, mencoba menenangkan sekaligus memberi pengertian. “Rey, kamu tahu kan Papa marah karena dia khawatir. Jangan buat dia semakin khawatir, ya. Kalau ada masalah, bicarakan dengan Mommy. Mommy akan bantu.”

Rey mengangguk pelan. “Maaf, Mommy. Aku nggak bermaksud bikin Papa marah.”

“Yang penting sekarang kamu belajar dari kesalahanmu, ya. Dan bantu Mommy menjaga adik-adikmu,” jawab Meyra dengan senyum hangat.

Saat itu, Rey merasa ada sosok ibu yang benar-benar peduli padanya. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Meyra tidak hanya menjadi seorang istri bagi Alvin, tetapi juga menjadi ibu yang hadir untuk anak-anaknya. Dia sadar bahwa kepercayaan dan kasih sayang tidak datang begitu saja. Perlu waktu dan usaha untuk membangun hubungan yang harmonis. Namun, Meyra yakin, dengan cinta dan kesabaran, mereka bisa menjadi keluarga yang bahagia.

Setelah menurunkan Rheana dan Cessa di sekolah, Meyra mengajak Rey untuk berbicara lebih dalam. Mereka berhenti di sebuah taman kecil di dekat sekolah. Meyra menatap Rey dengan penuh kasih, lalu bertanya, “Rey, ada hal yang ingin kamu ceritakan ke Mommy? Kamu tahu Mommy ada di sini untuk mendengarkan.”

Rey awalnya ragu, tetapi akhirnya mengungkapkan perasaannya. “Aku cuma merasa Papa lebih peduli sama pekerjaannya daripada aku dan adik-adik. Aku kesal, Mommy. Aku tahu aku sering buat masalah, tapi aku juga butuh Papa. Dia selalu sibuk...”

Meyra mendengarkan dengan seksama. Dia meraih tangan Rey dan menggenggamnya erat. “Rey, Papa memang sibuk, tapi dia peduli sama kamu. Dia mungkin nggak selalu menunjukkan itu, tapi dia mencintai kalian. Mommy akan coba bicara dengan Papa, ya. Tapi Rey juga harus membantu. Tunjukkan kalau kamu bisa berubah,” ucapnya lembut.

Rey mengangguk, merasa sedikit lega. Dia tahu Meyra ada di pihaknya, tetapi dia juga tahu harus berusaha memperbaiki diri. Ketika mereka kembali ke rumah, Alvin sudah menunggu di ruang tamu. Dia tampak lebih tenang, meski wajahnya masih menyimpan rasa ingin tahu. Meyra menatap suaminya dengan penuh keyakinan. Dia siap untuk menjembatani hubungan yang sempat renggang antara Alvin dan anak-anaknya. Perlahan, Meyra percaya bahwa keluarga ini akan menemukan kebahagiaannya bersama.

1
Anastasia Silvana
Baik,bisa diikuti alurnya.
Anastasia Silvana
Akhirnya satu persatu menemukan jalannya
Happy Kids
rasain tuh kesepian. salah sendiri diajak jd pasanhan normal saling berbagi gamau. rasain aja tuh. ga perlu sedih sedih
XimeMellado
cerita ini sudah bikin saya merinding dan ingin tahu terus plotnya. Bravo thor!
paulina
Keren banget gambaran tentang Indonesia dalam cerita ini, semoga terus mempromosikan budaya! 🇮🇩
Reana: terima kasih atas dukungannya🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!