Setelah sembilan belas kehidupan yang penuh penderitaan, Reixa terbangun kembali di usianya yang kesembilan tahun. Kali ini dengan gilanya, Reixa mengangkat seorang pria sebagai ayahnya, meninggalkan keluarganya setelah berhasil membawa kabur banyak uang.
Namun, siapa sangka Reixa membangkitkan kemampuannya dan malah berurusan hal di luar nalar bersama ayah angkatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"Kalau tidak salah ingat, besok adalah hari aku bertemu dengan Ayah Saverio setelah bertengkar hebat dengan Allarick," pikir Reixa, tatapannya menerawang ke luar jendela kamar. Kenangan dari kehidupan masa lalunya kembali menghantui, membayangi pikirannya seperti awan mendung. "Dan tiga tahun dari sekarang, dia akan mengalami kematian tragis, begitupun denganku."
Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir kekhawatiran yang merambat pelan ke hatinya. "Tapi aku sudah berhasil keluar dari kota itu dan terbebas dari cengkeraman keluarga Mareha. Sekarang, aku harus lebih waspada... dan memperingatkan ayah." Suaranya terdengar mantap, meski matanya menyiratkan kelelahan dari beban yang tak terlihat.
Reixa menutup gorden dengan gerakan tegas, kemudian berjalan menuju meja belajarnya. Ia membuka buku catatan kecil yang tersimpan rapi di laci, membolak-balik halamannya hingga menemukan bagian yang dicari. Catatan itu adalah rangkuman detail kehidupannya di masa lalu—fragmen tragedi dan keputusan yang membentuk dirinya hingga saat ini.
"Hmm... sepertinya ada beberapa kejanggalan," gumamnya pelan, matanya menyipit saat membaca ulang. Ia mengetuk-ngetukkan pena ke dagunya, mencoba mengurai logika dari semua yang tertulis. "Aku akan menyelidikinya nanti."
"Keluarga itu sudah hancur." Suara bariton tiba-tiba terdengar dari belakangnya. Reixa mendongak kaget, menatap sosok pria bersurai putih yang berdiri santai di sudut ruangan.
Pria itu adalah Firion, roh pelindung yang setia mendampinginya. Seperti biasa, kemunculannya terjadi tanpa aba-aba, tapi kehadirannya selalu membawa rasa aman. Reixa menyandarkan punggung ke kursinya, menatap Firion dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu.
"Sungguh? Ini lebih awal dari ramalan ayah," gumam Reixa, sedikit terkejut. Ia menyisir rambut ash green-nya dengan jari, mengingat detail ramalan yang pernah disampaikan Saverio. "Tapi dalam beberapa kehidupan, mereka baru akan bangkrut tujuh tahun lagi."
Firion mengangkat bahu, ekspresinya tetap datar namun penuh keyakinan. "Yang aku dengar, perusahaan mereka mengalami kemunduran besar. Ditambah lagi, hutang keluarga yang menumpuk membuat kondisi semakin memburuk. Dan Alarick? Dia kabur dari rumah setahun setelah kau pergi."
"Oh..." Reixa mendesah pendek, lalu mengulum senyum kecil. "Aku jadi merasa sedikit bersalah karena membawa seratus triliun uangnya. Kalau bertemu nanti, mungkin aku akan mengembalikan setengahnya." Wajahnya menunjukkan kesan polos, tapi nada suaranya mengisyaratkan bahwa ia tidak sepenuhnya serius.
Firion tertawa kecil, senyumnya mencerminkan rasa sayang sekaligus hiburan atas tingkah Reixa. "Tidak perlu menunggu nanti," katanya ringan. "Dia akan datang segera. Tampaknya dia sedang mengalami gangguan tak kasat mata."
Reixa memiringkan kepala, alisnya terangkat penuh rasa ingin tahu. "Benarkah? Haruskah aku menghampirinya untuk melepas rindu?" tanyanya dengan nada bercanda, bibirnya melengkung membentuk senyuman nakal.
"Itu terserah kau, Reixa. Tapi yang pasti..." Firion menatapnya lembut sebelum melanjutkan. "Aku selalu di sisimu." Ucapannya menghilang bersamaan dengan tubuhnya, lenyap tanpa jejak seperti embun pagi yang diterpa matahari.
Reixa menatap ke tempat Firion berdiri beberapa saat lalu, kemudian kembali menunduk menatap buku catatannya. Tatapan matanya kini penuh tekad. "Baiklah," bisiknya pelan. "Kalau dia datang, aku akan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana kali ini."
✨
"Selamat datang, Tuan," sapa Saverio dengan nada terkejut, matanya mengamati sosok pria yang berdiri di hadapannya. Alarick tampak seperti bayangan dirinya yang dulu—tubuhnya kurus, wajahnya kusut, dan penampilannya tidak terawat. Sama sekali berbeda dengan pria berwibawa yang Saverio ingat terakhir kali.
"Tolong dia, Tuan Saverio," pinta seorang pria lain yang berdiri di samping Alarick. Asisten pribadi Alarick itu tampak kelelahan, dengan wajah yang mencerminkan keputusasaan. "Setelah Nona Reixa diculik dan tidak pernah ditemukan, dia berubah seperti ini. Tidak ada yang bisa mengembalikannya seperti dulu."
Saverio menatap Alarick lebih dekat, mengamati aura yang melingkupinya. Pria itu tampak linglung, dengan mata yang kosong seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Saverio bisa merasakan tekanan emosional yang berat dan kehadiran energi gelap yang berputar di sekitarnya—tanda-tanda gangguan tak kasat mata yang tidak bisa diabaikan.
"Sudah dibawa ke psikiater?" tanya Saverio, suaranya terdengar tegas namun tetap tenang. Ia menyilangkan tangan di dada, memandang Alarick dengan penuh perhatian.
Asisten itu mengangguk lemah. "Sudah, Tuan. Tapi hasilnya nihil. Dia menolak pengobatan dan terus-menerus berbicara tentang Nona Reixa. Seolah-olah dia yakin kalau dia masih hidup. Saya bahkan hampir menyerah..."
Saverio menghela napas panjang, matanya tetap fokus pada Alarick yang hanya berdiri diam seperti patung. "Dia tidak hanya butuh psikiater," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar trauma mental."
Saverio mendekat, mengangkat tangannya perlahan ke arah Alarick. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba membaca lebih dalam apa yang menguasai pria itu. Energi gelap semakin terasa, seolah mencengkram erat kesadaran Alarick, menghisapnya perlahan ke jurang kehampaan.
"Ini bukan hanya masalah pikiran," ucap Saverio akhirnya, membuka matanya dengan sorot tajam. "Dia terikat pada sesuatu—atau seseorang. Dan itu bukan hal yang wajar."
Asisten Alarick tampak bingung. "Maksud Anda, Tuan?"
Saverio menurunkan tangannya, wajahnya serius. "Ini bukan hanya gangguan emosional. Ada entitas yang memanfaatkan kondisi jiwanya yang lemah. Aku bisa mencoba membantu, tapi ini bukan sesuatu yang akan selesai dalam satu malam."
Asisten itu tampak lega sekaligus cemas. "Tolong lakukan apa saja, Tuan. Kami benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi."
Saverio mengangguk pelan, lalu menoleh pada Alarick. "Aku tidak bisa menjanjikan keajaiban, tapi setidaknya aku akan mencoba. Sekarang, bawalah dia ke ruang dalam. Kita perlu memulai sesegera mungkin sebelum semuanya menjadi lebih buruk."
Asisten Alarick mengangguk cepat, lalu membantu Alarick yang tampak kehilangan tenaga menuju ruang belakang rumah Saverio. Ruangan itu sederhana namun penuh dengan ornamen-ornamen pelindung—dari lilin-lilin yang ditata rapi hingga jimat-jimat kuno yang tergantung di dinding. Aroma dupa menyeruak lembut di udara, memberi suasana mistis namun menenangkan.
Saverio mengambil tempat di kursi kayu yang terletak di tengah ruangan. Ia mempersiapkan beberapa peralatan, termasuk mangkuk berisi air suci, sejumput garam, dan sebatang dupa khusus. Alarick didudukkan di kursi lain yang berhadapan dengannya, wajah pria itu kosong, seolah tidak menyadari keberadaannya sendiri.
"Kita akan mulai," ujar Saverio, suaranya tegas namun menenangkan. "Apa pun yang terjadi, jangan mengganggunya. Jika dia bereaksi keras, biarkan aku yang menangani."
Asisten itu tampak gugup, tapi mengangguk patuh dan berdiri di sudut ruangan, matanya waspada mengamati Saverio.
Saverio memulai dengan menyalakan dupa, membiarkan asap putih yang melingkar naik ke udara memenuhi ruangan. Ia mulai melafalkan mantra pelindung dengan suara pelan, tangannya bergerak perlahan di atas kepala Alarick, seperti menarik sesuatu yang tidak kasat mata.
Alarick mulai bergerak gelisah. Nafasnya terdengar berat, dan tangannya mencengkeram lengan kursi dengan kuat. "Reixa..." gumamnya, hampir tidak terdengar.
Saverio menghentikan mantra sejenak dan menatap Alarick. "Dia tidak ada di sini, Alarick. Fokus pada suaramu sendiri. Apa kau mendengar sesuatu yang lain?" tanyanya dengan nada tegas.
Alarick menggeleng lemah, tapi tubuhnya mulai bergetar. Matanya yang tadinya kosong kini terbuka lebar, dipenuhi ketakutan. "Dia... dia memanggilku. Dia bilang aku harus pergi bersamanya..." suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan.
Saverio menyipitkan mata, menatap Alarick dengan penuh perhatian. "Siapa dia?" tanyanya, melanjutkan mantra perlindungannya untuk menjaga kestabilan energi ruangan.
"Aku... aku tidak tahu," jawab Alarick tergagap, tubuhnya semakin gelisah. "Tapi dia gelap... sangat gelap..."
Saverio tahu saat itu juga bahwa entitas ini lebih kuat dari yang ia kira. Asap dupa semakin tebal, membentuk lingkaran pelindung di sekitar mereka. Dengan cepat, ia mengambil mangkuk air suci dan mencipratkannya ke tubuh Alarick.
Pria itu menjerit keras, tubuhnya melengkung seperti ada sesuatu yang mencoba keluar dari dalam dirinya. Saverio tetap tenang, melanjutkan mantra dengan suara yang lebih kuat. Lilin-lilin di ruangan itu berkedip-kedip, hampir padam, namun Saverio tidak berhenti.
Akhirnya, jeritan Alarick mereda, dan tubuhnya jatuh lemas di kursi. Saverio mengusap dahinya yang berkeringat, menatap pria itu dengan hati-hati. "Untuk sementara, aku berhasil melemahkannya," ujar Saverio sambil menoleh ke asisten Alarick. "Tapi ini belum selesai. Dia harus menjalani sesi tambahan untuk benar-benar membebaskan dirinya dari entitas itu."
Asisten itu menghela napas lega, tapi tetap tampak khawatir. "Tuan Saverio, apakah dia akan baik-baik saja?" tanyanya penuh harap.
Saverio menatap Alarick yang kini terkulai di kursi, matanya tertutup rapat. "Itu tergantung padanya. Kalau dia mau menghadapi rasa bersalah dan penyesalannya, dia akan sembuh. Tapi jika tidak... entitas itu akan terus mencari celah untuk kembali."
Dalam hati, Saverio tahu bahwa pertemuan ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar. Tidak hanya Alarick, tapi juga masa lalu kelam yang menghubungkan mereka dengan Reixa masih menyimpan banyak misteri yang belum terpecahkan.