🔥Bocil dilarang mampir, dosa tanggung masing-masing 🔥
———
"Mendesah, Ruka!"
"El, lo gila! berhenti!!!" Ruka mendorong El yang menindihnya.
"lo istri gue, apa gue gak boleh pakek lo?"
"El.... kita gak sedekat ini, minggir!" Ruka mendorong tubuh El menjauh, namun kekuatan gadis itu tak bisa menandingi kekuatan El.
"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!"
———
El Zio dan Haruka, dua manusia dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang terpaksa diikat dalam sebuah janji suci pernikahan.
Rumah tangga keduanya sangat jauh dari kata harmonis, bahkan Ruka tidak mau disentuh oleh suaminya yang merupakan Badboy dan ketua geng motor di sekolahnya. Sementara Ruka yang menjabat sebagai ketua Osis harus menjaga nama baiknya dan merahasiakan pernikahan yang lebih mirip dengan neraka itu.
Akankah pernikahan El dan Ruka baik-baik saja, atau malah berakhir di pengadilan agama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Setelah memakan beberapa sendok sup dengan enggan, Ruka akhirnya meletakkan sendok di mangkuknya. "Gue kenyang," ucapnya datar.
Tanpa menunggu respons dari El, gadis itu bangkit dari kursinya, mengambil mangkuk dan sendok bekas makannya, lalu berjalan menuju wastafel. Gerakannya cepat namun tetap terlihat lemah, seperti seseorang yang kehabisan energi untuk menentang dunia.
Air mengalir deras dari keran saat dia mulai mencuci mangkuknya. Suara denting sendok yang menyentuh mangkuk terdengar pelan, seakan menggambarkan kegelisahan dalam dirinya.
Di belakangnya, El tetap diam di tempatnya. Pria itu duduk di kursinya dengan tubuh santai, namun matanya tak pernah benar-benar lepas dari layar ponsel di tangannya. Sekilas, dia terlihat seperti tidak peduli, tetapi siapa pun yang memperhatikan dengan saksama akan tahu bahwa perhatian El sebenarnya tidak pernah teralihkan dari Ruka.
Begitu selesai mencuci, Ruka mengelap tangannya pada kain yang tergantung di dekat wastafel. Dia berbalik, melirik sekilas ke arah El, dan menemukan pria itu masih asyik dengan ponselnya.
"Gue balik ke kamar," ujar Ruka datar, mengambil langkah menuju pintu.
El yang masih duduk santai di kursi makan akhirnya mengangkat pandangannya dari layar ponsel. Matanya menatap Ruka dengan tenang, hampir tanpa emosi. "Hmm..." gumamnya pendek, seolah tak peduli.
Langkah Ruka terhenti di tengah jalan. Dia menoleh, menatap El dengan alis terangkat. "Kaki lo udah sembuh?"
El bersandar di kursi, tangan kirinya terlipat di dada sementara tangan kanannya tetap memegang ponsel. "Gue gak selemah apa yang lo pikirkan," jawabnya santai. "Cuma terkilir, gak bikin gue harus ngunci diri di kamar."
Ruka langsung menangkap maksud dibalik kalimat El, "Lo nyindir gue?" balasnya, sedikit defensif.
"Lo kesindir?" El akhirnya meletakkan ponselnya di atas meja makan, dan menatap gadis yang sudah sah menjadi istrinya itu.
Pertanyaan itu membuat Ruka kehilangan kata-kata sejenak. Dia menghela napas pelan, lalu memalingkan wajah. "Terserah lo, El. Gue capek, gue gak mau berdebat dengan lo."
***
Tiga hari terakhir, Ruka seperti kehilangan jiwa. Gadis yang biasanya rajin, bahkan terkenal tak pernah absen dari sekolah, kini berubah total. Hampir seminggu dia menghilang dari kelas tanpa kabar. Kesehariannya dihabiskan di kamar—terkurung bersama layar laptop yang terus memutar drama Korea atau China tanpa henti.
Bantal-bantal berserakan di lantai, sisa bungkus snack dan kaleng minuman energi menumpuk di meja kecil di samping tempat tidur. Tirai jendela tetap tertutup, membuat kamar itu seperti dunia lain yang terpisah dari realitas di luar. Ruka hanya berganti posisi dari tiduran ke duduk, lalu kembali berbaring lagi seiring pergantian episode.
Tawa kecil atau air matanya sesekali pecah, tergantung pada adegan di layar. Namun, semuanya hanya pelarian. Wajahnya tetap kusut, rambutnya tak terurus, dan matanya sembab—saksi bisu dari tangis yang selalu datang ketika malam tiba.
Drama yang sedang ia tonton menampilkan kisah cinta romantis, manis dan bahagia, namun Ruka kini menangis tersedu-sedu.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu itu memecah keheningan. Suara yang tak asing langsung mengikuti. "Ruka, lo mau terus-terusan kayak gini? Udah berhari-hari, keluar lah!" seru El dari balik pintu, nadanya setengah kesal, setengah khawatir.
Ruka memutar bola matanya, enggan menanggapi. "Gue lagi sibuk, El," jawabnya malas, matanya tetap terpaku pada layar.
"Lo sibuk jadi zombie?" El membalas cepat. "Atau sibuk ngurung diri sambil nonton drama yang gak bakal bikin hidup lo lebih baik?"
Ruka menghela napas panjang. "Gue gak butuh ceramah lo. Udah, pergi aja."
El mendesah frustrasi di balik pintu. "Lo gak bisa terus kayak gini, Ruka. Kalau lo gak mau keluar, gue yang bakal masuk terus acak-acak kamar lo." Suara El terdengar serius kali ini.
Ruka mendadak panik. "El! Jangan masuk! Gue serius!" teriaknya sambil buru-buru merapikan sisa snack di tempat tidur, meskipun tahu itu tak ada gunanya.
Namun, pintu itu tetap terkunci. Ruka mendengar langkah kaki El menjauh, tapi firasatnya mengatakan ini belum berakhir. Dan benar saja, beberapa menit kemudian...
Tok! Tok! Tok!
Ketukan itu kembali, kali ini lebih keras, diikuti suara yang membuat Ruka mendadak berdiri. "Kalau lo gak keluar juga, gue dobrak pintunya!" ancam El.
Ruka memijat pelipisnya, lalu mendengus kesal. "Ya ampun, lo drama banget sih, El! Gue keluar sekarang, puas?!"
Dengan enggan, dia menyeret langkahnya menuju pintu, membukanya perlahan. Di balik pintu, berdiri El dengan ekspresi dingin. "Akhirnya, zombie keluar dari sarangnya," celetuknya.
Ruka melotot tajam. "Lo tuh nyebelin, tau gak?"
El mengangkat bahu. "Kalau gue gak nyebelin, lo bakal terus jadi zombie gini?"
"Gak usah peduli sama gue, urus aja urusan lo sendiri!" dengus Ruka lalu merotasikan tubuhnya hendak kembali kedalam kamarnya yang suram.
El nyelonong masuk, berjalan cepat menuju jendela untuk membuka gorden, "Gila kamar gue jadi sarang zombie gini."
"Berisik lo, pergi sono!"
El mendekat, mengendus-endus tubuh Ruka lebih dekat, "kapan terakhir lo mandi? bau embek."
"Apaan sih, El?! Lo tuh rese banget!"
El tak gentar, malah semakin mendekat dengan ekspresi jahil yang memancing kemarahan. "Gue cuma peduli sama kondisi kamar ini—dan bau lo," ucapnya sambil menutup hidung pura-pura. "Serius, Ruka. Ini udah kelewatan. Lo kayak orang yang habis perang dunia dan lupa mandi seminggu."
"Kalau lo masih ngeledek, gue sumpahin lo nyasar pas nyari toilet!" balas Ruka dengan nada menusuk.
Alih-alih marah, El malah tertawa keras. "Nyasar nyari toilet? Itu ancaman atau doa? Gue rasa, lo yang butuh toilet sekarang!" Dia menunjuk kamar mandi dengan dagunya. "Ayo, pilih. Mau mandi sendiri atau gue mandiin?"
Ruka mendengus, mencoba mengabaikan. Dia kembali ke posisi semula di ranjang, memeluk bantal sambil membelakangi suami rese nya. "Gue gak akan mandi, suka-suka gue."
"Oke, lo pilih jalan sulit ya." Tanpa basa-basi, El menunduk, menyambar pergelangan tangan Ruka, menariknya paksa dari ranjang.
"El! Lepasin gue! Gila lo!" Ruka berontak, tapi cengkeraman El terlalu kuat membuat Ruka mau tak mau mengikuti El. "Lo tahu, kalau lo tetap keras kepala, gue bisa aja nyiram lo pake air dingin di sini." Dia membuka pintu kamar mandi dan menyalakan keran wastafel. Suara gemericik air mengalir terdengar jelas.
"Stop!" Ruka mengerang frustrasi. "Oke, oke! Gue mandi sendiri!"
El melepas cengkeramannya, lalu mundur beberapa langkah sambil menyeringai. "Gitu dong. Kalau lo udah selesai, kasih tahu gue. Gue mau semprot kamarnya pake pengharum. Bau zombie lo udah nempel ke bantal."
Ruka menggerutu, melirik El dengan pandangan membunuh sebelum menutup pintu kamar mandi dengan keras. Dari dalam, terdengar suara pelan, "Dasar cowok nyebelin."
Di luar, El terkekeh kecil sambil bergumam, "Setidaknya sekarang kamar ini bakal balik jadi layak ditempati manusia."
Bersambung....