Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Kirana Terpaksa Berbohong
Setelah semua urusan di pondok dan mengantar Dokter Guna selesai, Kirana akhirnya pulang ke rumah.
Langit sudah gelap pekat dan hawa dingin masih menyelimuti tubuhnya. Ia baru sadar bahwa sepanjang malam ia belum memberi tahu Paman Budi bahwa ia akan pulang terlambat. Sesampainya di halaman rumah ia melihat Paman Budi mondar-mandir di teras dengan wajah cemas. Begitu melihat Kirana turun dari motor seketika ekspresi cemas itu berubah menjadi kelegaan yang mendalam.
"Kirana! Kamu dari mana saja? Paman telepon berkali-kali tapi kamu tidak mengangkat…" suara Paman Budi sedikit meninggi campuran antara kekhawatiran dan kelelahan.
Kirana merasa bersalah melihat wajah pamannya yang gelisah. Sebelum sempat menjawab Paman Budi memperhatikan pakaian Kirana yang basah dan penuh lumpur bahkan ada bercak darah di lengan baju gadis itu. Paman Budi menghela napas panjang dengan alis berkerut.
"Sudah… masuk dulu. Bersihkan dirimu nanti kita bicara" katanya dengan nada lebih lembut.
Kirana hanya mengangguk dan tak ingin menambah beban pikiran pamannya. Ia segera mandi dan mencuci bajunya di belakang rumah. Saat air dingin menyentuh kulitnya tubuhnya sedikit rileks tetapi pikirannya masih dipenuhi bayangan pemuda yang terluka itu.
Setelah selesai melakukan aktivitasnya, Kirana berjalan ke ruang keluarga di mana Paman Budi sudah duduk menunggunya dengan wajah tenang tetapi masih menyimpan pertanyaan.
"Kirana...kamu sudah makan?" tanya Paman Budi dengan suara lembut namun tegas.
Kirana menggeleng pelan sedikit malu. "Belum Paman. Aku… aku lupa makan."
Paman Budi menghela napas lalu berdiri. "Makan dulu Nak… Setelah itu baru cerita."
Kirana baru menyadari betapa laparnya ia sebenarnya. Setelah menghabiskan sepiring nasi hangat ia kembali ke ruang keluarga dan duduk di samping Paman Budi.
"Sekarang ceritakan apa yang terjadi," ujar Paman Budi dengan suara lembut namun masih ada kesan khawatir di wajahnya.
Kirana menarik napas panjang dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya mulai bercerita tentang pemuda yang terluka itu. Suaranya pelan namun jelas setiap kata yang diucapkannya terasa penuh pertimbangan. Ia menceritakan bagaimana ia menemukan pemuda itu dalam kondisi yang mengenaskan namun dengan sengaja ia menghilangkan detail tentang bagaimana pemuda itu bisa terluka agar tidak membuat pamannya tambah khawatir. Paman Budi duduk di hadapannya mendengarkan dengan penuh perhatian. Ekspresinya berubah-ubah antara kaget dan khawatir. Matanya sesekali menyipit seolah mencerna setiap informasi yang diberikan Kirana.
"Jadi pemuda itu... kondisinya bagaimana sekarang?" tanya Paman Budi dan suaranya terdengar berat penuh dengan kecemasan.
"Sudah stabil Paman. Kirana sudah membawanya ke pondok Kakek Sapto dan dokter bilang dia akan baik-baik saja," jawab Kirana mencoba meyakinkan pamannya meski dalam hatinya masih ada sedikit keraguan.
Paman Budi menghela napas panjang lalu mengangguk pelan. "Syukurlah kalau begitu. Tapi kamu harus lebih berhati-hati Nak. Kita tidak pernah tahu apa yang bisa terjadi di luar sana."
Kirana mengangguk perlahan merasa sedikit lebih tenang setelah berbagi cerita. Namun diam-diam ia menyadari bahwa Paman Budi masih terlihat gelisah.
"Paman... apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Kirana penuh kehati-hatian.
Paman Budi terdiam sejenak lalu menghela napas lagi. "Aku hanya khawatir tentang pemuda itu. Kenapa dia bisa terluka parah seperti itu? Apa dia terlibat dalam sesuatu yang berbahaya? Kita tidak tahu latar belakangnya Kirana. Aku tidak ingin kamu terluka karena menolong orang yang salah."
Kirana menatap Paman Budi dengan mata yang penuh pengertian. " Kirana mengerti kekhawatiranmu Paman. Tapi Kirana tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dia butuh pertolongan dan Kirana merasa itu yang harus Kirana lakukan."
Paman Budi mengangguk pelan meski ekspresinya masih menunjukkan keraguan. "Kamu punya hati yang baik Nak. Tapi tolong berjanji padaku untuk lebih berhati-hati ya."
"Janji Paman…," jawab Kirana dengan tegas.
Mereka pun terdiam sejenak suasana ruangan terasa lebih tenang namun masih ada ketegangan yang tersisa. Tiba-tiba Paman Budi tersenyum kecil mencoba mencairkan suasana. "Untung Bibi Tari sudah tidur. Kalau dia tahu kamu pulang selarut ini dan melihatmu dalam keadaan seperti tadi… bisa panjang urusannya."
Kirana tertawa kecil merasa lega. "Iya Paman… Kirana bisa bayangkan bagaimana reaksinya nanti."
Namun dalam hati Kirana tahu bahwa esok pagi pertanyaan-pertanyaan dari Bibi Tari akan menjadi tantangan baru yang harus dihadapinya. Ia hanya berharap semuanya akan baik-baik saja.
"Paman... terima kasih sudah mendengarkan dan mengerti," ucap Kirana tiba-tiba dengan suara pelan namun penuh makna.
Paman Budi tersenyum hangat. "Selalu Nak... Kamu tahu kamu bisa cerita apa saja pada Paman kan?"
Kirana mengangguk sambil tersenyum kecil. "Iya Paman..."
Mereka pun kembali terdiam namun kali ini suasana terasa lebih hangat dan nyaman. Kirana merasa lega telah berbagi cerita sementara Paman Budi meski masih khawatir merasa bangga pada keponakannya yang memiliki hati yang baik. Malam pun semakin larut dan keduanya akhirnya memutuskan untuk beristirahat. Namun dalam benak masing-masing masih ada pertanyaan yang belum terjawab tentang pemuda yang terluka itu.
-----
Seperti perkiraan Kirana, pagi ini Bibi Tari langsung membanjirinya dengan pertanyaan. "Kenapa kamu pulang malam kemarin? Kamu tahu kan aturan di rumah ini?" tanya Bibi Tari dengan suara tinggi dan mata yang menyipit penuh kecurigaan. Wajahnya mencerminkan kebencian yang selalu ia tunjukkan pada Kirana. Bibi Tari memang selalu lebih sayang pada anak kandungnya, Rara dan Arif, sementara Kirana selalu menjadi sasaran kemarahannya.
Kirana menunduk dan mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Maaf Bibi… Kirana kemarin mengerjakan tugas di rumah Ririn sampai larut malam. Kirana juga sudah nelpon paman untuk memberi tahu," jawabnya dengan suara gemetar. Ia terpaksa berbohong karena tahu Bibi Tari tidak akan menerima alasan yang sebenarnya.
Paman Budi yang sedang duduk di meja makan hanya melirik Kirana dalam diam. Ia tahu alasan sebenarnya di balik kebohongan Kirana. Namun ia memilih untuk tidak membongkar rahasia itu demi menghindari pertengkaran yang lebih panjang. "Iya Tari... Kirana sudah nelpon aku kemarin. Dia memang sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah Ririn...," ujar Paman Budi sambil mengangguk dan mencoba mendukung cerita Kirana.
Bibi Tari mengerutkan kening dan masih tidak sepenuhnya percaya. "Hmm… baiklah. Tapi ingat Kirana… tugas-tugasmu di rumah tidak boleh diabaikan. Kamu harus bertanggung jawab!" ujarnya dengan nada ketus sambil menunjuk ke arah Kirana. "Setelah Rara pergi kuliah ke kota… bebanmu memang berkurang. Tapi jangan sampai kamu malah seenaknya!"
Kirana mengangguk pelan dan mencoba menahan emosinya. "Iya Bi... Kirana tidak akan mengabaikan tugas-tugas di rumah," jawabnya dengan suara lembut meski hatinya merasa tertekan.
Arif yang sedang berbalas pesan dengan temannya di ruang keluarga hanya melirik sekilas ke arah mereka. Ia tidak terlalu peduli dengan kejadian yang terjadi. Yang ia tahu… Kirana selalu menjadi sasaran kemarahan ibunya. "Biarin aja Bu.... Kirana kan sudah bilang alasannya," ujar Arif tanpa mengangkat pandangannya dari layar ponsel. Suaranya datar tapi cukup untuk membuat Bibi Tari sedikit menghela napas.
"Kamu ini Arif… Jangan selalu membela Kirana. Kamu harus lebih peduli pada keluarga sendiri," ujar Bibi Tari sambil menggelengkan kepala. Namun nada suaranya lebih lembut saat berbicara pada Arif dibandingkan saat berbicara pada Kirana.
Arif hanya mengangkat bahu. "Aku cuma bilang yang benar Bu... Lagian Kirana kan juga nggak pernah bikin masalah," balasnya sambil akhirnya menatap ibunya. Matanya menunjukkan ketidakpedulian tapi juga ada sedikit keberanian untuk membela Kirana.
Bibi Tari menghela napas lagi lalu berpaling ke Kirana. "Sudah… selesaikan sarapanmu. Nanti bersihkan kamar mandi dan cuci piring. Jangan sampai ada yang tertinggal!" perintahnya dengan suara keras sebelum beranjak dari meja makan.
Kirana mengangguk lagi lalu menunduk dan mulai menyantap sarapannya dengan cepat. Paman Budi memandangnya dengan tatapan penuh simpati. "Jangan terlalu dipikirkan Nak… Bibi Tari hanya khawatir," ujarnya pelan mencoba menghibur Kirana.
"Terima kasih Paman…," bisik Kirana sambil tersenyum kecil. Ia tahu Paman Budi selalu berusaha melindunginya meski tidak bisa melakukannya secara terang-terangan di depan Bibi Tari.
Setelah sarapan… Kirana segera membersihkan meja dan mulai mengerjakan tugas-tugas rumah yang diberikan Bibi Tari. Sementara itu Arif masih asyik dengan ponselnya dan sesekali melirik ke arah Kirana dengan ekspresi yang sulit dibaca. Mungkin ada rasa bersalah atau mungkin hanya rasa peduli. Tapi satu hal yang pasti bahwa Arif tahu Kirana selalu menjadi korban dalam rumah ini.
---
Bagaimana kisah selanjutnya? Bagaimana perkembangan pemuda itu? Simak pada bab berikutnya….