Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Menghubungi Tuan Nugroho
Satu minggu setelah kejadian itu... kondisi Satria mulai membaik meski masih terbatas. Dia sudah bisa berjalan walau langkahnya belum lancar dan penglihatannya masih samar-samar. Namun perlahan-lahan dia mulai merasa nyaman dengan lingkungan barunya. Suatu sore ketika matahari mulai tenggelam dan langit berwarna jingga, Satria memutuskan untuk membuka sedikit kisah hidupnya kepada Kakek Sapto, Kirana, Ririn dan Dina. Mereka duduk melingkar di teras rumah yang sederhana dengan ditemani secangkir teh hangat dan singkong rebus buatan Kirana.
Satria menceritakan apa yang dia ketahui, mulai dari tabrakan, siksaan, hingga rencana pembunuhan terhadap dirinya. “Aku tidak tahu siapa mereka… atau apa motifnya…,” ujar Satria dengan suara rendah sambil menatap ke arah halaman. “Yang jelas… ada orang yang ingin nyawaku melayang. Aku tidak tahu mengapa. Aku hanya… terjebak dalam situasi itu.”
Kirana yang duduk di sebelahnya menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. Tangannya seolah ingin meraih tangan Satria tapi dia mengurungkan niatnya. “Mas pasti sangat ketakutan saat itu…,” ujarnya lembut dengan suara hampir berbisik.
Satria mengangguk pelan. “Iya…. Tapi sekarang… di sini… aku merasa… aman.” Matanya berpindah ke Kirana dan untuk sesaat mereka saling memandang. Walaupun penglihatan Satria masih samar tapi dia tahu Kirana adalah sosok wanita mungil dengan wajah yang cantik. Tidak hanya cantik di wajah, tapi juga cantik di hati. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka seperti sebuah ikatan yang mulai tumbuh tanpa mereka sadari.
Kakek Sapto yang duduk di kursi kayunya menghela napas. “Dunia ini memang penuh dengan kejahatan Nak… Tapi selama kau masih bernapas… pasti selalu ada harapan. Kau sudah selamat dan itu yang terpenting…”
Ririn yang biasanya cerewet kali ini diam seribu bahasa. Dia hanya memandang Satria dengan ekspresi serius seolah mencoba memahami beban yang dipikul oleh Satria. Sementara Dina mengangguk-angguk kecil. “Kami akan merawatmu dengan baik. Pasti kamu cepat sembuh,” ujarnya polos.
Satria tersenyum tipis. “Aku berutang budi pada kalian… terutama Kirana.” Dia menoleh ke arah Kirana lagi dan kali ini… dia tidak bisa menyembunyikan rasa haru yang muncul. “Terima kasih sudah menyelamatkanku dan merawatku selama ini. Aku… aku tidak tahu harus bilang apa lagi,” ujarnya dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
Kirana tersipu dan pipinya memerah. “Sudah… jangan terlalu serius. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Lagipula…” Dia berhenti sejenak, seolah ragu untuk melanjutkan. “Aku senang bisa membantumu Mas....”
Suasana menjadi hening sejenak dan hanya suara angin yang berdesir di antara daun-daun pohon. Satria merasa ada kehangatan yang mengalir di antara mereka terutama dengan Kirana. Dia tidak bisa menyangkal bahwa ada perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam dirinya setiap kali mereka berbicara. Seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama meski Satria tahu dia masih menyembunyikan sebagian besar siapa sebenarnya dirinya.
Satria ingin mengatakan lebih banyak tapi dia menahan diri. Dia tahu dia belum bisa jujur sepenuhnya terutama tentang latar belakangnya. Tapi untuk saat ini dia memilih untuk menikmati momen ini dengan menikmati kebersamaan dengan mereka dan terutama dengan Kirana.
“Ayo kita masuk. Udara mulai dingin,” ujar Kakek Sapto tiba-tiba memecah keheningan.
Mereka pun beranjak dari tempat duduknya. Kirana membantu Satria berdiri dan tangannya memegang lengan Satria dengan lembut. “Hati-hati…,” bisiknya.
Satria mengangguk dan untuk sesaat… dia membiarkan dirinya menikmati sentuhan Kirana. Dia tahu suatu saat nanti dia harus jujur pada mereka terutama pada Kirana. Tapi untuk sekarang dia hanya ingin merasakan kebahagiaan sederhana ini yaitu kebahagiaan yang dia temukan di tengah keluarga kecil ini.
-----
Setelah Satria membuka kisah hidupnya kepada Kakek Sapto, Kirana, Ririn dan Dina… hatinya tiba-tiba terasa berat. Dia teringat pada orang tuanya yang pasti dilanda kecemasan sejak kepergiannya. Pikirannya melayang pada bayangan wajah papa dan mamanya yang mungkin sudah berhari-hari tidak tidur karena khawatir.
Kemudian.... keesokan harinya ketika kondisi fisiknya semakin membaik, Satria memutuskan untuk menghubungi keluarganya. Dia meminjam ponsel Kirana dengan harapan bisa meredakan kegelisahan yang mungkin menghantui orang tuanya.
“Kirana… boleh aku pinjam ponselmu sebentar? Aku ingin menghubungi papaku,” ujar Satria dengan suara yang lembut namun terasa tegang. Kirana mengangguk cepat sambil menyodorkan ponselnya. “Tentu saja… Tapi Mas bisa tahu nomornya? " tanya Kirana.
"Iya Kirana... Aku hanya ingat nomor ponsel orang dekat papa saja. Tolong ketikkan ya... Mataku masih belum membaik...," pinta Satria sambil menyebutkan nomor telpon asisten papanya.
Kirana memencet deretan angka itu di ponsel nya. "Ini Mas sudah tersambung... Semoga mas bisa menjelaskan yang telah terjadi… jangan sampai mereka khawatir berlebihan…,” katanya dengan senyum hangat dan menyerahkan ponsel itu pada Satria.
Satria mengulurkan tangannya untuk mengambil ponsel itu meski penglihatannya masih samar. Jarinya gemetar saat menerima ponsel itu dan detak jantungnya berdegup kencang seiring bunyi dering telepon.
Di sisi lain… Alex asisten papanya Satria sedang sibuk dengan tumpukan dokumen di mejanya. Ketika ponselnya berdering dan dia melihat nomor yang tidak dikenalnya dan dia mengerutkan kening. “Huhhhh... nomor asing lagi. Paling-paling telemarketing atau penawaran kartu kredit,” gumamnya kesal sambil mengabaikan panggilan itu. Dia menghela napas dan menggelengkan kepala. “Mengganggu saja… uhhhh…”
Namun ponsel itu berdering lagi dan kali ini terasa lebih keras seolah memaksanya untuk menjawab. Alex akhirnya mengangkat telepon dengan nada kesal. “Halo? Siapa ini?” tanyanya singkat hampir kasar.
Suara di ujung telepon membuatnya membeku. “Alex… ini Satria.”
Alex nyaris menjatuhkan ponselnya. Matanya membelalak dan napasnya tersendat. “Tuan?Muda Satria? Ini benar-benar Tuan Muda?” tanyanya dengan nada yang hampir tidak percaya dengan suara bergetar. Dia berdiri begitu cepat hingga kursinya nyaris terjungkal ke belakang. “Di mana anda Tuan Muda? Apa yang terjadi? Kenapa Tuan Muda menghilang semingguan ini?” Pertanyaan bertubi-tibi otomatis keluar dari mulut Alex.
Satria mencoba menjelaskan dengan singkat tapi Alex sudah tidak sabar. “Tunggu… jangan tutup teleponnya Tuan…! Saya akan langsung memberitahu Tuan Besar!” ujarnya panik dan hampir berteriak.
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Alex langsung berlari ke ruangan Tuan Nugroho. Dia melewatkan protokol biasa untuk mengetuk pintu dan langsung membuka pintu ruangan itu dengan kasar. “Tuan! Tuan Besar!” teriaknya dengan napas tersengal-sengal.
Tuan Nugroho yang sedang duduk di belakang mejanya dengan wajah muram langsung menoleh ketika Alex masuk tergopoh-gopoh. “Alex… apa-apaan ini? Kau tahu aku sedang tidak ingin diganggu!” bentaknya. Namun kemarahannya langsung mereda ketika Alex berkata, “Tuan… Tuan Muda Satria… Tuan Muda Satria menelpon!”
Wajah Tuan Nugroho berubah drastis. Dia langsung merebut ponsel dari tangan Alex dengan tangan yang gemetar. “Satria? Nak… ini benar kamu?” suaranya pecah penuh harap dan kelegaan.
“Iya, Pa… Ini aku,” jawab Satria dengan suara bergetar menahan emosi. Tangannya menggenggam erat telepon genggam pinjaman dari Kirana seolah itu adalah satu-satunya penghubungnya dengan dunia yang ditinggalkannya. Hatinya berdebar kencang campuran rasa rindu, lega dan sedikit kecemasan. Dia sudah lama tidak mendengar suara ayahnya dan sekarang di tengah situasi yang tidak menentu… suara itu terasa seperti pelipur lara.
“Kamu di mana Nak?” tanya Tuan Nugroho suaranya tegas tapi terdengar khawatir. Satria bisa membayangkan ekspresi wajah ayahnya yang biasanya tenang dan sekarang mungkin penuh dengan tanda tanya besar.
Satria menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. “Aku… aku tidak tahu persis di mana Pa... Tapi aku sekarang berada di sebuah pondok kecil di pedesaan. Ada orang baik yang merawatku. Mereka… mereka menyelamatkanku.”
“Apa yang terjadi Satria? Kenapa kamu tidak segera pulang? Kami sudah mencari-cari kamu!” suara Tuan Nugroho semakin meninggi tapi Satria bisa merasakan betapa besar rasa khawatir yang tersembunyi di balik nada bicaranya.
Dia mencoba menjelaskan secara singkat meski setiap kata yang keluar terasa berat. “Aku… mobilku ditabrak truk Pa…Sepertinya disengaja... Lalu ada orang-orang yang menculikku. Mereka menyiksaku dan… dan hampir membunuhku. Aku tidak tahu siapa mereka atau apa yang mereka inginkan. Yang aku tahu mereka ingin nyawaku…,” ujar Satria dengan suara yang bergetar menahan emosi.
Tuan Nugroho menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. “Papa akan segera menjemputmu. Katakan di mana kamu berada Nak?” tanyanya dengan suara yang tegas namun tetap terasa hangat.
Namun Satria menggeleng meski ayahnya tidak bisa melihatnya. “Jangan Pa... Situasi masih belum aman. Aku khawatir papa juga sedang diawasi. Mereka mungkin menunggu papa bergerak,” ujarnya dengan suara yang penuh peringatan. “Aku akan tetap di sini sampai semuanya benar-benar aman.”
Tuan Nugroho terdiam sejenak dan mempertimbangkan kata-kata anaknya. “Tapi… Papa tidak bisa membiarkanmu sendirian di sana Nak. Ayah khawatir,” ujarnya dengan suara terdengar berat.
“Papa… aku tidak sendirian. Ada orang-orang baik di sini yang merawatku. Mereka seperti keluarga sekarang,” jawab Satria dan matanya tanpa sengaja menatap bayangan Kirana yang duduk tak jauh darinya. Kirana tersenyum kecil seolah memahami apa yang dirasakan Satria.
Tuan Nugroho menghela napas. “Baiklah Nak… Tapi janji… kamu akan berhati-hati. Papa akan mencari cara untuk membantumu dari sini. Jangan tutup telepon dulu… biar Ayah catat nomor ini.”
Setelah mencatat nomor ponsel Kirana, Tuan Nugroho mengakhiri pembicaraan dengan pesan penuh kasih. “Jaga dirimu baik-baik Nak…. Papa dan mama mencintaimu.”
“Aku juga mencintai kalian Pa…,” balas Satria sebelum menutup telepon. Dia menatap ponsel di tangannya sejenak dan merasa lega sekaligus sedih. Lega karena akhirnya bisa menghubungi ayahnya namun sedih karena dia tahu orang tuanya pasti masih diliputi kecemasan.
Kirana yang memperhatikan ekspresi Satria mendekat dan duduk di sampingnya. “Semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan suara lembut.
Satria mengangguk dan mencoba tersenyum. “Iya… Papaku… dia khawatir… tapi aku sudah meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja di sini.” Dia menatap Kirana meski penglihatannya masih buram dan dia bisa merasakan kehangatan dari sosoknya. “Terima kasih Kirana…. Tanpa kamu… mungkin aku tidak akan bisa melakukan ini.”
Kirana tersipu dan pipinya memerah. “Sudah… jangan terlalu sering mengucapkan terima kasih…,” ujarnya sambil menunduk.
----
Bagaimana kisah selanjutnya? Apakah Satria akan dijemput keluarganya? Kita tunggu kisah selanjutnya…
bukankah SDH ajarkan beladiri bertahun2 kenapa kok Thor abaikan tentang kecerdasan si cewek.
cuma kok pingsannya sampai 3 hari ?
gimana pelajaran beladiri yg bertahun tahun apa guna