"Jangan pernah temui putriku lagi. Kamu ingin membatalkan pertunangan bukan!? Akan aku kabulkan!"
"Ti... tidak! Bukan begitu! Paman aku mencintainya."
Luca Oliver melangkah mendekati tunangannya yang berlumuran darah segar. Tapi tanpa hasil sama sekali, dua orang bodyguard menghalanginya mendekat.
"Chery! Bangun! Aku berjanji aku akan mencintaimu! Kamu mau sedikit waktu untukmu kan? Semua waktuku hanya untukmu. Chery!"
Tidak ada kesempatan untuknya lagi. Ambulance yang melaju entah kemana. Segalanya berasal dari kesalahannya, yang terlalu dalam menyakiti Chery.
*
Beberapa tahun berlalu, hati Oliver yang membeku hanya cair oleh seorang anak perempuan yang menangis. Anak perempuan yang mengingatkannya dengan wajah tunangannya ketika kecil.
"Kenapa menangis?"
"Teman-teman memiliki papa, sedangkan aku tidak."
Ikatan batin? Mungkinkah? Pria yang bagaikan iblis itu tergerak untuk memeluknya. Membuat semua orang yang melihat tertegun, iblis ini memiliki hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KOHAPU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
It's War
Suara mobil memasuki gerbang rumah terdengar, bersamaan dengan itu Mahardika hendak memasuki mobil yang berbeda.
"Ikuti aku! Lokasinya di desa Mawar! Bekas area pabrik gula!" Ucap Aldiano memundurkan mobilnya, kembali meninggalkan area rumah.
Satu? Tidak! Leo yang baru pulang dari luar kota dalam perjalanan ke tempat yang dimaksud.
Sedangkan Rien, kini berada satu mobil dengan ayahnya. Lebih tepatnya Rien kini tengah mengemudi.
Pemuda berambut panjang, tengah menyetir, dengan earphone melekat di telinganya.
"Tuan Hudson, ini aku Rien Reizaki, transaksi bisnis akan aku setujui. Asalkan kirim sniper, tidak...kirim tim pembunuh ke bekas pabrik gula desa Mawar. Ada orang sialan yang mencuri adikku." Perintah tegas dari Rien. Tidak pernah pemuda itu terlihat begitu emosional seperti ini. Gadis kecil yang diperkenalkan Mahardika sebagai adiknya. Gadis kecil dengan pemikiran lugu begitu rapuh. Bagaimana bisa!
"Br*ngsek..." umpatnya dengan suara kecil tersenyum, menebarkan aura membunuh yang menyengat.
Mahardika masih menghubungi beberapa orang, termasuk petinggi di kepolisian, maupun rumah sakit. Mengapa? Dirinya bermaksud menghabisi orang yang menculik putrinya, sebelum kedatangan pihak kepolisian.
Dua mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Sementara Leo? Berada dalam mobil terpisah, sudah hampir sampai di lokasi yang dikirimkan oleh Aldiano.
Tiga orang kakak protektif dan seorang ayah obsesif. Apa yang akan terjadi pada sang penculik?
*
Satu? Tidak, hampir 6 jam dirinya bagaikan ada dalam penyiksaan.
Wajah rupawannya bagaikan tidak terlihat, dipenuhi dengan bekas memar. Tulang lengannya mungkin patah, ada sekitar 3 kuku yang dicabut, menyisakan darah segar. Rambut yang indah? Kini tidak ada lagi, hanya beberapa helai rambut tersisa bekas dari potongan tidak rapi.
Menangis pun, suaranya bagaikan sudah habis. Mengapa Oliver tidak membunuhnya secara langsung saja?
"Aku ingin mati..." gumam Chery dengan suara kecil, di hadapan Mitha yang mengikat lehernya bagaikan anj*ng.
"Mati?" Tanya Mitha tersenyum."Enak saja! Setelah puas bermain-main denganmu. Baru kamu boleh mati!" Ucapnya menarik tali yang melilit di leher Chery.
"Lihat! Tanpa perawatan mahal dari ayahmu, kamu hanya gadis jelek! Apa yang dapat dibanggakan darimu!" Mitha tersenyum.
Kesempatan yang diberikan Oliver untuk menunjukkan siapa pelaku sebenarnya disia-siakan oleh Mitha. Wanita itu lebih memilih melaporkan pada Reza. Bayaran yang cukup tinggi akan didapatkan olehnya setelah ini. Lebih tepatnya setelah Oliver menandatangani dokumen penyerahan aset.
Selama itu... bukankah dirinya bebas bermain-main dengan Chery.
Jemari Chery kembali diinjak olehnya. Jemari berharga dari seorang pelukis. Menahan teriakan kesakitan, lebih tepatnya bukan menahan, tapi memang tidak ada tenaga sama sekali untuk berteriak lagi.
"Tidak ada yang dapat dibanggakan darimu! Kamu hanya beban bagi Oliver. Karena itu Oliver menginginkan kematianmu! Kamu dengar! Kenapa diam saja!?" Mitha tersenyum dengan sengaja kembali menginjak-injak tangan Chery.
"Pelukis apanya!? Kamu hanya sampah! Menggambar seperti anak TK, aku saja bisa!"
Tatapan matanya kosong, sakit... rasanya sangat menyakitkan. Sudah bagaikan kebas, mengapa tidak dibiarkan mati saja. Mungkin hanya itulah yang ada di fikiran Chery. Memikirkan cara untuk mengakhiri penderitaannya.
Oliver sudah tidak mencintainya lagi, hanya karena sebuah dendam. Ayahnya menjadi menginginkan terlalu banyak uang, apa mungkin karena dirinya hanya beban?
Benar! Ini mungkin benar, Oliver akan hidup bahagia tanpa dendam karena dirinya sudah tidak ada. Ayahnya (Mahardika) tidak perlu lagi menjadi serakah, karena memiliki seorang anak yang hanya dapat menjadi beban. Semuanya akan berjalan baik.
Matanya menatap ke arah jendela gudang. Tempat ini jauh dari perkotaan. Mungkin karena itulah Chery tersenyum. Dirinya dapat melihat bintang. Seperti dulu, ketika kabur dari rumah bersama Oliver.
Bersama Oliver? Setidaknya sebelum mati, dirinya ingin bertemu dengan Oliver. Hanya ingin melihat wajahnya.
Brak!
Pintu gudang terbuka lebar. Pemuda itu terlihat.
"Chery!?" Panggilnya dengan nada suara bergetar.
Sedangkan Chery hanya bungkam dan tersenyum. Benar-benar memalukan Oliver melihat wujudnya yang seperti ini bukan? Tidak! Ini adalah keinginan Oliver, ingin dirinya merasakan apa yang dirasakan mendiang Axel dan istrinya.
Dengan cepat Mitha menarik tangan Chery. Memaksanya berdiri, menodongkan pisau tepat di lehernya.
Telinga Chery berdengung, tidak dapat mendengar atau melihat dengan jelas. Tapi, ada lebih dari satu jemari tangannya yang tidak dapat digerakkan (patah). Bukankah dirinya tidak akan dapat melukis lagi.
Hidup tanpa melukis? Lalu apa guna dirinya... tidak berguna bukan?
Karena itu."Oliver..." Benar-benar indah senyumannya bukan? Walaupun wajahnya dipenuhi lebam, walaupun tanpa rambut panjangnya yang indah tidak ada lagi.
Chery menggunakan sisa tenaganya. Merebut pisau yang dipegang oleh Mitha.
Tujuannya? Tentu saja kematian. Keinginannya untuk melihat Oliver sudah terwujud.
Tangan Mitha gemetar, kala tengah berebut pisau, Chery mengarahkan tangan Mitha menusuk dadanya.
Tangan berlumuran darah, bukan ini tujuannya. Jika Chery mati maka...
Darah segar mengalir dari mulut Chery yang tersenyum."Terimakasih..." satu kata yang diucapkannya pada Mitha.
Gadis yang tersenyum, seperti kebahagiaan kala menyambut kematiannya. Bukankah hidup ini indah baginya? Apapun yang diinginkan olehnya, dikabulkan Tuhan.
Oliver melangkah mendekat, kakinya gemetar, menatap tubuh kekasihnya roboh di atas lantai kotor.
Berusaha bergerak, walaupun sulit baginya."Chery?" panggilnya, bibirnya tersenyum namun nada suaranya bergetar ketakutan.
Harusnya hari ini melanjutkan kencan, memakan ice cream bersama, atau hanya sekedar berkeliling di area food street. Mungkin bermain air di sungai seperti kala mereka remaja dahulu.
Mendekati tubuh itu, memeluknya erat. Gadis yang bahkan sudah kesulitan bergerak sama sekali."Kenapa menangis, seharusnya Oliver tersenyum..." Senyuman menyungging di bibir Chery berucap dengan suara lemah.
"Chery... bodoh..." Dua kata, hanya itulah yang diucapkan Oliver. Terlalu sulit untuk berucap.
"Aku pamit..." Perlahan Chery memejamkan matanya, bagaikan lelah dengan dunia ini.
"Chery bangun! Bangun!" Pinta Oliver putus asa.
"Tandatangan! Atau kami akan membunuhmu!" Mitha merebut senjata api yang dipegang oleh salah seorang preman menodongkan pada kepala Oliver.
Sedangkan Oliver bagikan tidak peduli. Hendak mengangkat tubuh Chery. Dokter terbaik akan dapat membuat kekasihnya tetap bernapas.
Benar, walaupun harus mati sekarang dirinya akan bertemu dengan Chery. Apa yang berbeda?
Melangkah tanpa mempedulikan preman sewaan dan Mitha.
Dor!
Bagaikan tembakan peringatan, mereka tidak boleh membunuh Oliver bukan?
Hingga kala salah seorang preman mendekatinya. Oliver menurunkan tubuh Chery."Sayang, tunggu aku..."
Senyuman lembut menyungging di bibir Oliver.
Tidak memasang kuda-kuda atau apapun. Kala salah seorang preman mendekat hendak memukulnya. Oliver menjegal kaki sang preman. Memukul, bagian perut menggunakan lutut.
Krak!
Hanya dengan tidak lebih dari lima gerakan, leher sang preman dipatahkan olehnya.
Preman lain ragu untuk mendekat. Selain pandai beladiri, pemuda ini (Oliver) bagaikan berada dalam kondisi mental tidak normal.
Tatapan mata kosong, hendak kembali mendekati tubuh Chery yang sebelumnya diletakkan olehnya.
"Apa yang kalian takutkan! Bergerak bersama! Lumpuhkan dia!" Perintah Mitha, belum ingin Oliver mati, ingat ada dokumen yang harus ditandatangani.
Sesuai instruksi, para preman bergerak bersamaan.
Tapi.
Dor!
Dor!
Dor!
Peluru menembus tubuh mereka, roboh di lantai hampir bersamaan. Jeritan beberapa orang terdengar dari pintu depan.
Pemuda itu akhirnya terlihat, Leo... yang tersenyum bagaikan haus darah dengan cipratan darah membasahi pipinya.
Udah bolak balik liat thor
hehee...
lanjut 👍🌹❤🙏😁