Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19 Kenyataan Pahit
Laras menatap pria dengan penutup wajah di hadapannya dengan tatapan tajam. Suara angin malam yang menggoyang tirai jendela menjadi satu-satunya saksi percakapan mereka. Ia melipat tangan di dada, mendesak.
“Bagaimana? Apa kamu sudah mendapatkan informasi tentang bocah itu? Anak kecil yang sering ditemui suamiku?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh tuntutan.
Pras, pria yang mengenakan masker hitam itu, mengangguk pelan. Ia hendak membuka masker untuk berbicara lebih leluasa, tapi Laras menghentikannya dengan gerakan tangan tegas.
“Jangan buka di sini.” Laras memperingatkan, matanya menyipit tajam. “Kamu itu buronan. Kalau kamu masih ingin hidup dan terus bersamaku, jangan sekali-kali menonjolkan diri di tempat umum.”
Pras mematung sejenak. Matanya menatap Laras dengan sorot yang sulit diartikan. Perlahan, ia meraih tangan Laras, menggenggamnya, lalu mencengkeramnya erat hingga Laras hampir tersentak.
“Aku jadi buronan karena siapa, Laras?” katanya, suaranya dingin tapi penuh emosi yang tertahan. “Semua ini aku lakukan demi kamu. Bahkan aku mencelakai wanita tua itu, hanya untuk memuluskan rencana gilamu. Masih kurang?”
Pras tersenyum miris, menatap Laras seperti seseorang yang terperangkap dalam permainan berbahaya. “Kalau bukan karena aku, mungkin sekarang kamu sudah menjadi–”
“Cukup!” bentak Laras sambil menggebrak meja. Suara keras itu menggema di ruangan, membuat Pras terdiam. “Jangan ungkit masa lalu! Apa kamu berniat mengancamku, Pras? Kamu sendiri yang memilih jalan ini. Kamu yang rela membiarkan aku menikah dengan Adrian. Jadi, terima saja resikonya!”
Pras menatap Laras dengan mata yang menyala-nyala. Tapi Laras tidak berhenti. Ia menusuk Pras dengan kata-kata yang sengaja dibuat kejam.
“Lagipula, siapa juga yang mau menikah dengan pria kere seperti kamu? Tidak ada!” Laras meninggi kan sedikit nada suaranya.
Ucapan itu menghantam Pras seperti pukulan telak. Wajahnya memerah, tangan mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia melangkah mendekat, hanya beberapa inci dari Laras.
“Kamu lupa satu hal, Laras,” katanya lirih. “Kartu as-mu ada padaku.”
Laras tertegun. Untuk sesaat, ia kehilangan kendali. Tenggorokannya terasa kering, dan tangannya gemetar saat meraih gelas air. Ia meneguk cepat, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Pras tersenyum tipis, seperti seekor kucing yang baru saja menangkap tikus. “Dan ada kabar yang mungkin akan membuatmu terkejut, sayang.” Suaranya menjadi lebih lembut, tapi penuh ancaman terselubung.
Laras menatapnya tajam. “Cepat katakan!”
Pras mendekat, suaranya hampir seperti bisikan. “Bocah itu anak dari Adrian. Suamimu. Namanya Enzio Pratama.”
Laras terperangah. Kata-kata itu seperti bom yang meledak di kepalanya. “Apa?”
Pras tersenyum puas melihat keterkejutan Laras. “Kamu tidak menyangka, kan? Adrian, si pria dingin itu, ternyata bisa punya anak.”
“Tidak mungkin!” Laras hampir berteriak. Wajahnya memerah, tangannya mencengkram pinggiran meja. “Kamu pasti berbohong kan! Adrian dan Kania, mereka tidak pernah melakukan hubungan suami istri. Bagaimana bisa kania hamil?"
“Benarkah?” potong Pras, nadanya mengejek. “Memangnya kamu tahu apa yang mereka lakukan di belakangmu? Mungkin saja mereka tidak pernah benar-benar bercerai, dan Adrian hanya membohongimu selama ini.”
Laras terdiam. Kata-kata Pras menembus ke dalam pikirannya, menciptakan celah kecil yang dipenuhi keraguan. Tapi ia tidak bisa menunjukkan kelemahannya. Tidak di depan Pras.
“Kalau begitu, bantu aku memisahkan mereka,” katanya, suaranya nyaris putus asa.
Pras berhenti melangkah, berbalik menatapnya. “Apa yang aku dapatkan kalau membantu kamu?” tanyanya dingin. “Uang? Tahta? Semua itu tidak penting bagiku.”
“Lalu apa yang kamu mau?” tanya Laras, suaranya pelan tapi penuh ketegangan.
Pras mendekat, wajahnya berubah menjadi seringai jahat. “Tubuhmu, Laras. Bayar aku dengan itu.”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Pras, membuat kepala pria itu sedikit miring. Laras berdiri dengan nafas memburu, matanya menatap tajam penuh kebencian.
“Kamu gila!” serunya sebelum beranjak pergi, meninggalkan Pras sendirian.
Pras menyentuh pipinya yang mulai memerah, lalu tertawa kecil. Tawa yang dingin, seperti menggema di dalam ruangan kosong.
“Wanita egois dan serakah,” gumamnya. “Kita lihat saja sampai kapan kamu bisa bertahan tanpa aku, Laras.”
**
Laras mencengkeram setir mobil dengan erat, tangannya bergetar menahan emosi. Tubuhnya terasa kaku, tapi amarah yang meluap membuatnya memukul setir dengan keras.
Suara benturan itu menggema di dalam kabin mobil yang sepi. Nafasnya tersengal, matanya memerah, dan pikirannya penuh dengan kalimat yang berulang-ulang menusuk hatinya.
“Kania dan Adrian punya anak? Bagaimana mungkin?” gumamnya, hampir tak percaya dengan kenyataan yang baru saja terungkap. Pikirannya berputar seperti badai, mencabik-cabik logika dan perasaannya sekaligus.
“Jadi selama ini mereka berselingkuh di belakangku?” Suaranya berubah menjadi desisan penuh kemarahan. “Dasar kurang ajar! Kania, kamu wanita murahan yang tidak tahu diri. Aku bersumpah, aku tidak akan membiarkan hidupmu tenang. Tidak akan!”
Dengan tangan gemetar, Laras menepikan mobilnya ke pinggir jalan. Lampu-lampu kota yang redup memantul di kaca depan, namun Laras tidak peduli.
Laras membiarkan air matanya mengalir deras, membasahi pipi tanpa henti. “Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega mengkhianati aku?” ucapnya lirih di sela-sela isak tangis. “Kurang apa aku selama ini? Kurang apa?”
Tangannya mengepal di pangkuannya, seolah mencoba menggenggam sesuatu yang telah lama hilang. Tubuhnya berguncang, dan rasa sakit itu semakin menusuk setiap kali ia mengingat Adrian, pria yang selama ini dia perjuangkan dengan segala cara.
“Aku sudah menyingkirkan wanita tua itu,” katanya pelan, suaranya dipenuhi penyesalan bercampur amarah. “Aku sudah melakukan segalanya untukmu, Mas. Tapi siapa sangka, kamu masih saja berhubungan dengan Kania. Kamu jahat. Kamu benar-benar jahat!”
Isaknya semakin kencang. Laras tidak peduli jika tangisnya terdengar oleh orang yang lewat.
Malam itu, Laras merasa dunianya runtuh. Adrian, satu-satunya pria yang ia cintai dengan begitu mendalam, ternyata menghancurkan segalanya.