Madava dipaksa menikah dengan seorang pembantu yang notabene janda anak satu karena mempelai wanitanya kabur membawa mahar yang ia berikan untuknya. Awalnya Madava menolak, tapi sang ibu berkeras memaksa. Madava akhirnya terpaksa menikahi pembantunya sendiri sebagai mempelai pengganti.
Lalu bagaimanakah pernikahan keduanya? Akankah berjalan lancar sebagaimana mestinya atau harus berakhir karena tak adanya cinta diantara mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sarapan
Pagi menjelang, Ayu dan Madava masih setia di rumah sakit menemani Rafi yang sebenarnya sudah sadarkan diri sejak tadi, namun tertidur lagi sebagai efek obat yang dimasukkan melalui cairan infus.
Keduanya masih mengenakan baju semalam. Tak ada yang berinisiatif pulang. Mereka masih betah di sana. Apalagi baru kali ini mereka bisa berbicara dengan lembut tanpa perang urat syaraf terlebih dahulu.
"Sudah pagi. Kau mau sarapan?" tawar Madava.
Ayu menggeleng. "Aku sedang tidak berselera makan."
"Aku tahu, tapi kau tetap harus makan. Kau membutuhkan energi untuk menemani Rafi. Bagaimana kau bisa memberikan Rafi semangat kalau kau sendiri lemas seperti ayam sayur."
Ayu melirik tanpa minat. Ia tidak memiliki semangat untuk mendebat Madava. Tapi Ayu membenarkan dalam hati, bagaimana ia bisa menyemangati Rafi kalau dirinya saja lemas tak berdaya seperti ini.
"Terserah kau saja."
"Terserah bagaimana? Mana ada sarapan yang namanya terserah," celetuk Madava sengaja untuk membuat jengkel Ayu. Madava kesal melihat Ayu yang terlihat lesu. Ia ingin melihat Ayu yang seperti biasa. Ayu yang ceriwis dan suka menanggapi setiap kata-katanya. Meskipun tak jarang berujung perdebatan.
"Terserah kau saja, Mas. Kau belikan apapun, pasti akan aku makan." Kesal Ayu.
"Ooo ... Jadi kalau aku belikan batu, tetap akan kau makan, begitu?"
"Mas Dava, ih, kamu kok nyebelin banget sih."
"Makanya jangan terserah-terserah gitu jawabannya. Apa emang sudah ditakdirkan, cewek itu suka banget bilang terserah, terserah, terserah, giliran dibelikan sesuai keinginan si laki-laki, protes. Kenapa dibelikan ini sih? Aku nggak mau ini. Aku nggak suka ini. Bla, bla, bla, panjang kali ocehannya," cerocos Madava membuat Ayu benar-benar terkejut melihatnya.
"Ngapain liat aku kayak gitu? Aku tahu, aku ganteng jadi kamu nggak perlu ... Awwwhhh ... Kamu apa-apaan sih, Yu! Sakit tau," sentak Madava pelan saat Ayu menginjak kakinya.
"Rasain! Weee ... Makanya jangan jadi orang nyebelin. Aku itu nggak milih-milih makanan. Dibeliin nasi uduk, hayo, nasi kuning, hayo, mie instan hayo, pempek pun hayo. Udah sana, buruan!" Ayu berdiri kemudian mendorong tubuh Madava hingga keluar. Mulut Madava tampak mengomel-ngomel, tapi tidak digubris Ayu.
Setelah di luar, Madava terkekeh sendiri mengingat tingkahnya barusan.
...***...
Tak sampai 30 menit kemudian, akhirnya Madava kembali dengan kantong berisi beberapa macam makanan di dalamnya.
"Aku nggak tau kamu suka apa jadi aku beli semua."
Ayu membuka kantong yang Madava berikan. Ada nasi uduk, lontong Padang, sate telur puyuh, dan berbagai macam kue. Ayu menggelengkan kepalanya.
"Ini sih bukan untuk sarapan pagi aja, tapi untuk makan sampai sore."
"Ya, nggak papa. Jadi nggak perlu repot-repot bolak-balik 'kan." Ayu menghela nafas pelan mendengar jawaban Madava.
Ayu pun segera menyiapkan sarapan. Untung saja makanan itu dimasukkan ke dalam thinwall dan sudah dilengkapi sendok jadi ia tidak perlu menyiapkan perlengkapan makan.
"Mas, ayo ... " Ayu menoleh. Ayu terkejut sebab saat ini Madava sedang membantu Rafi duduk. Rupanya anaknya itu sudah bangun. "Rafi, kamu sudah bangun, Nak?" Ayu mendekat.
Rafi mengangguk lemas. "Kamu mau ngapain, Mas?" tanya Ayu saat ia melepaskan cairan infus yang tergantung di tiangnya.
"Rafi mau buang air kecil," jawab Madava pendek.
"Biar aku aja," ujar Ayu, tapi Madava menggeleng.
"Aku aja. Ayo, Raf, pegangan di leher Papa," titah Madava.
Rafi lantas segera melingkarkan tangannya di leher Madava. Kepalanya menempel di dada Madava membuat jantung laki-laki itu berdetak hebat.
'Aku kenapa? Kok tiba-tiba deg-degan kayak gini?'
Ayu memandangi Madava dan Rafi. Saat wajah mereka berdekatan, kemiripan diantara mereka nampak semakin jelas.
"Kok bisa ya?" gumam Ayu.
Tak lama kemudian, Madava dan Rafi sudah keluar. Di saat bersamaan, seorang perawat masuk ke Raya membawa sarapan untuk Rafi.
"Mas makan aja duluan. Aku nanti aja." Ayu hendak menyuapi Rafi.
Madava mengangguk. Saat sedang menyuapi Rafi, terdengar derit kursi yang digeser.
"Lho, kenapa sarapan di sini, Mas?"
"Kita makan bareng aja."
"Eh, maksudnya gima---"
Tanpa Ayu sadari, sendok berisi nasi sudah masuk ke dalam mulutnya. Ayu membelalakkan matanya. Ingin ia protes, tapi mendengar kekehan Rafi mengurungkan niatnya.
"Mama disuapin Papa." Rafi melirik Madava takut-takut. Bukan tanpa alasan, ia semalam melihat pertengkaran kedua orang tuanya itu. Karena ketakutan, Rafi pun syok dan pingsan.
"Rafi juga mau Papa suapin?"
"Memang boleh?"
"Boleh dong. Memangnya siapa yang larang."
"Papa nggak marah sama Mama lagi?"
"Marah?" Madava dan Ayu sadar, pasti Rafi semalam melihat pertengkaran mereka. "Siapa yang marah? Papa nggak marah sama Mama, ya 'kan, Ma?"
"Iya. Papa nggak marah sama Mama kok." Ayu berusaha meyakinkan Rafi kalau mereka tidak bertengkar.
"Tapi semalam?"
"Semalam apa? Rafi sepertinya salah paham deh, Ma. Padahal kita tidak bertengkar ya. Nih kalau nggak percaya." Tiba-tiba Madava merengkuh pundak Ayu dan mencium pelipisnya santai. Ayu mendelik tajam menyadari kalau suaminya itu sedang modus padanya, tapi saat melihat Rafi tersenyum ceria, hatinya tiba-tiba meleleh.
"Yeay, Papa cium Mama. Rafi juga, Pa. Rafi juga mau." Rafi berseru girang.
"Boleh, tapi makan dulu ya."
"Papa yang suapin?"
"Boleh. Tapi Mama harus suapin papa juga. Biar kita makan barengan." Ayu melotot saat mendengar ucapan santai Madava.
"Papa benar. Mama suapin Papa ya! Nanti Papa suapin Rafi."
"Kalau Papa suapin Rafi, terus Mama suapin Papa, lalu siapa yang suapin Mama?" Ayu pura-pura protes.
"Nanti Papa yang suapin, ya nggak Fi?"
"Tuh, Ma, kata Papa, nanti Papa yang suapin. Ayo, Ma, suapin Papa. Biar Papa suapin Rafi juga." Rafi berseru semangat. Jelas saja ia semangat sebab sudah sejak lama ia ingin dekat dengan Madava, tapi sikap Madava yang dingin kerap membuatnya takut. Oleh karena itu, melihat Madava begitu baik hari ini, Rafi pun ingin memanfaatkannya agar bisa berdekatan dengan ayah sambungnya itu.
Hati Ayu dongkol, tapi ia tidak bisa menolak permintaan sang putra. Akhirnya, mereka pun makan sambil saling suap-suapan. Rafi tak henti-hentinya tersenyum dan tertawa. Apalagi saat Madava sesekali mengusili ibunya.
Setelah sarapan dan minum obat, tak lama kemudian Rafi kembali tertidur. Pengambilan sampel darah untuk tes darah akan dilakukan sore nanti sebab dokter yang bersangkutan sedang sangat sibuk.
"Aku keluar sebentar. Ada telepon." Madava menunjukkan layar ponselnya yang merupakan panggilan dari kantor. Ayu mengangguk. Madava pun segera keluar untuk mengangkat panggilan itu. Baru saja Madava selesai menutup panggilannya, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya membuat Madava terkejut.
"Dava ... "
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...