Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Awal
📍Mvvo Entertainment
-Lobby Perusahaan-
Beberapa pasang mata tertuju pada seorang pria yang baru saja melangkah masuk ke lobby perusahaan. Beberapa staf berbisik-bisik, membicarakan kedatangannya yang tak terduga.
-Ruangan Presedir-
“Apa? Siapa yang kau bilang?” suara Mattheo menggelegar saat ia berdiri dari kursi kerjanya.
“Mr. Tano, Pak Presedir. Dia ada di bawah,” jawab Endrick dengan tenang.
“Kenapa dia datang ke sini secara tiba-tiba?” nada suara Mattheo masih dipenuhi rasa heran.
“Saya tidak tahu, Pak. Tapi menurut resepsionis, dia ingin bertemu langsung dengan Anda,” jelas Endrick sambil menundukkan kepala.
Mattheo terdiam sejenak, mencoba mencerna situasi ini. Tanpa banyak waktu terbuang, Mr. Tano sudah berada di dalam ruangan presedir itu.
Pertemuan dengan Mr. Tano.
“Selamat siang, Pak Presedir,” sapa Mr. Tano dengan tenang.
“Selamat siang, Mr. Tano.” Mattheo berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya. “Saya sangat terkejut. Tidak biasanya Anda datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Silakan duduk,” katanya, menunjuk ke sofa di sudut ruangan.
Dengan langkah mantap, Tano duduk di sofa tersebut. Ekspresi wajahnya tetap tenang, namun ada ketegasan dalam sorot matanya.
“Sebenarnya,” ujar Tano perlahan, “kedatangan saya ke sini tidak sepenuhnya tiba-tiba.”
Mattheo mengangkat alis, mencoba membaca maksud Tano.
“Saya berubah pikiran… berkat menantu Anda, Reymond,” lanjut Tano, suaranya santai namun penuh makna.
Mattheo sempat tertegun, lalu pikirannya langsung mengarah pada Reymond. Menantu yang selama ini selalu berhasil menyelesaikan apa yang dia inginkan, dengan puas.
“Tanpa perlu banyak basa-basi,” Tano melanjutkan, menyilangkan kedua tangannya, “saya akan membatalkan niat saya untuk menolak kemarin. Saya berubah pikiran, dan… saya setuju untuk melanjutkan kerja sama ini.”
Wajah Mattheo langsung cerah. Senyuman puas terukir di bibirnya. Seorang pria dengan pengaruh sebesar Tano dalam dunia entertainment Jepang kini ada di pihaknya. Bagi Mattheo, ini adalah kemenangan yang tidak ternilai harganya.
“Keputusan yang sangat bijak, Mr. Tano,” ujar Mattheo sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. “Mari kita pastikan kerja sama ini membawa keuntungan besar bagi kedua belah pihak.”
Tano hanya mengangguk pelan, sementara suasana di ruangan itu semakin dipenuhi aura yang berbeda dalam sudut pandangan masing-masing.
****
- Lobby Perusahaan -
Setelah menyelesaikan pembicaraan dengan Mattheo, Mr. Tano memutuskan untuk tidak berlama-lama di perusahaan entertainment milik pria itu. Langkahnya tenang, penuh wibawa, melintasi lantai marmer lobby yang mengkilap.
Di ujung ruangan, pandangannya bertemu dengan sosok yang tak asing—Yubin.
Wanita muda itu tertegun, matanya membesar saat mengenali pria yang beberapa hari lalu telah menolongnya. Dia di sini? pikirnya. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Sementara itu, Mr. Tano hanya tersenyum tipis ke arah Yubin, sebuah senyum kecil yang tidak ditujukan untuk siapa pun selain dirinya.
Yubin mengerjapkan mata, mencoba memastikan dirinya tidak salah lihat. “Aku nggak salah lihat, kan?” gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar.
Dia mengalihkan pandangannya sejenak ke sekeliling, memastikan tidak ada yang menyadari reaksi anehnya. Namun, pikirannya masih terus berputar. Kenapa dia ada di sini? Bukankah dia pernah bilang tidak akan bekerja sama lagi dengan Pak Presdir?
Tatapannya kembali terfokus pada Mr. Tano. Kali ini, dia memperhatikan setiap gerakan pria itu dengan saksama.
Di sisi samping Mr. Tano, Mattheo terlihat bahagia dan percaya diri yang besar, ketika dia keluar untuk mengantar Mr. Tano menuju mobil yang sudah menunggu di depan pintu utama.
“Terima kasih atas waktunya, Mr. Tano,” ujar Mattheo dengan nada bahagia.
Mr. Tano berhenti sejenak, mengangguk kecil tanpa berbicara. “Tentu,” katanya singkat, sebelum kembali melangkah keluar.
Yubin, yang masih berdiri diam di tempatnya, terus mengikuti setiap pergerakan mereka. Ada sesuatu yang aneh. Kenapa Mr. Tano berubah pikiran? gumamnya dalam hati, mencoba merangkai semua hal yang terjadi di depannya.
****
Satu jam berlalu.
“Apa?” tanya Emily sambil berdiri dengan raut tidak percaya di hadapan Endrick.
“Anda tidak perlu bertemu dengan Pak Presedir hari ini,” jawab Endrick dengan nada tenang, kedua tangannya tersilang di depan dada.
Emily mengerjapkan mata. “Ah, begitu.”
Dia tidak bisa menahan perasaan lega yang perlahan merayapi dirinya. Dibatalkan bertemu dengan Mattheo, presedir yang sering kali membuatnya ketakutan, adalah kabar baik baginya.
“Hm,” Endrick melanjutkan sambil mengamati ekspresi Emily. “Suasana hati Pak Presedir sedang baik. Kau tak perlu bertemu dengannya. Hari ini, kau diberi kebebasan.”
Emily sedikit membungkuk sopan. “I-iya, Pak Endrick. Terima kasih.”
Dia berbalik dan melangkah pergi, sepatu haknya berbunyi lembut di atas lantai koridor. Langkahnya menyusuri lorong menuju lift di lantai atas ruang presedir. Namun, di tengah perjalanan, dia berhenti mendadak.
Dari kejauhan, Reymond keluar dari lift.
Keduanya saling berpandangan. Hanya sebentar, tetapi cukup untuk membuat waktu terasa melambat.
Namun, tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Tidak ada senyuman. Tidak ada sapaan.
Reymond hanya melanjutkan langkahnya dengan ekspresi datar. Emily pun menarik napas panjang sebelum masuk ke dalam lift.
Pintu lift menutup perlahan, memisahkan mereka.
-Dalam Lift-
Emily bersandar di dinding lift, menghela napas panjang. “Seperti dua orang yang tidak saling kenal,” gumamnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Itulah kenyataannya. Di depan orang lain, hubungan mereka terlihat begitu asing. Namun, ketika hanya ada mereka berdua, Reymond selalu mencairkan jarak itu—menggenggam tangannya, memeluknya erat, seolah takut kehilangan.
Tapi sekarang?
Lift bergerak turun, dan Emily memejamkan mata. Kenyataan pahit ini semakin menguatkan kesan bahwa ada batas tak kasat mata yang selalu hadir di antara mereka, kapan pun dan di mana pun.
Reymond berhenti di depan pintu lift yang baru saja tertutup. Dia menoleh ke arah panel angka, memastikan bahwa lift itu benar-benar turun ke lantai bawah. Setelah itu, dia meluruskan dasinya dan melangkah menuju ruang presedir dengan ekspresi yang sulit ditebak.
****
- Lobby Perusahaan -
“Emily?” Yubin memanggil sambil berjalan mendekati rekan kerjanya yang tampak melamun disofa lobi.
“Oh, eonnie,” balas Emily dengan suara pelan, menoleh dengan sedikit senyum tipis.
“K-kamu… baik-baik saja, kan?” tanya Yubin hati-hati, menatap wajah Emily dengan penuh perhatian.
Emily mengangguk pelan, berusaha tersenyum, meski ada gurat kelelahan di wajahnya. “Dia tidak ingin bertemu denganku,” katanya akhirnya, suaranya bergetar halus. “Katanya… suasana hatinya sedang baik.”
Yubin menahan napas sejenak sebelum berbicara lagi. “Bagaimana tidak baik,” katanya, mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, suaranya nyaris berbisik. “Kamu tahu? Selama kamu ada di ruangan meeting untuk program tadi, Mr. Tano datang menemuinya.”
Emily menegakkan tubuh, alisnya sedikit terangkat. “Lalu?” tanyanya, mencoba terdengar santai meski nadanya mengkhianati rasa ingin tahu.
Yubin mengangkat bahu kecil sambil menatap sekitar untuk memastikan tak ada yang mendengar. “Ya, sepertinya Pak Presdir akan bekerja sama dengan Mr. Tano.”
Emily hanya mengangguk kecil. “Ah, begitu…” gumamnya. “Aku berharap mood-nya selalu baik dan bahagia, supaya dia tidak memanggilku lagi.” Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Yubin menatapnya sejenak, ragu untuk melanjutkan. Tapi akhirnya dia berbisik lagi, “Soal itu… aku dengar ada talent baru.”
Emily mengerutkan kening. “T-talent baru?”
“Hm. Seorang perempuan,” ujar Yubin sambil melipat tangannya di dada. “Aku mulai merasa kasihan padanya. Kalau benar…”
Emily terdiam, tubuhnya menegang. Bayangan mengerikan tentang Mattheo, presedir mereka yang sering melecehkan staf, melintas di pikirannya.
Yubin menghela napas pelan, nada suaranya melembut. “Tapi aku juga ingin kamu lepas darinya, Emily. Kamu tahu kan, dia selalu melepaskan ‘mainan’ lamanya saat dia menemukan ‘mainan’ baru.”
Emily menundukkan kepala, menggigit bibirnya. Ada rasa lega mendengar kemungkinan dia bisa terbebas, tapi di sisi lain, dia merasa bersalah. Bagaimana dengan talent baru itu? pikirnya. Apa dia akan kuat menghadapi ini semua?
Setelah beberapa saat, Emily mengangkat wajahnya. “Aku tadi melihat Pak Reymond,” katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Sepertinya menemui Pak Presdir.”
“Oh?” Yubin menatapnya tajam. “Aku juga melihatnya tadi.”
Emily hanya mengangguk pelan, matanya kembali menerawang. Meski percakapan mereka berganti arah, ketegangan tetap terasa di udara, seperti awan gelap yang enggan pergi.
****
-Ruangan Presedir-
Tawa Mattheo memenuhi ruangan, menggema dengan nada penuh kemenangan. Di hadapan meja kerjanya yang besar, pria itu bersandar santai, terlihat sangat puas.
“Kau hebat, Nak! Kau berhasil membawanya kembali,” katanya sambil menepuk bahu Reymond dengan antusias.
Reymond berdiri di dekatnya, menyaksikan kegembiraan ayah mertuanya yang jarang terlihat. Sebuah senyuman tipis menghiasi wajahnya, meski di balik itu pikirannya penuh perhitungan.
“Terima kasih, Pa,” jawabnya dengan nada rendah, namun penuh keyakinan. Lalu, dia dengan hati-hati mengeluarkan dokumen dari map di tangannya. “Oh, ngomong-ngomong, Papa tidak lupa, kan? Untuk menandatangani surat ini.”
Mattheo mengernyit, lalu mengambil dokumen yang disodorkan Reymond. “Apa ini?” tanyanya dengan penasaran.
“Surat keputusan untuk membereskan beberapa masalah di perusahaan, seperti yang saya bicarakan kemarin, kita tidak butuh orang-orang yang tidak kompeten, kan?” Reymond berbicara dengan santai, tanpa menunjukkan sedikit pun kegugupan.
Mattheo menepuk dahinya, seolah baru teringat. “Ah, benar juga. Kau memang selalu sigap, Reymond. Sebagai hadiah untukmu, Papa akan langsung menandatanganinya sekarang.”
Dia mengambil pena dari meja, lalu tanpa banyak berpikir, membubuhkan tanda tangannya di atas dokumen itu. Tangannya bergerak cepat, menekan materai dengan penuh keyakinan, tanpa memeriksa isi dokumen secara mendalam.
Reymond memperhatikan setiap gerakan Mattheo dengan tenang. Wajahnya tetap bersikap netral, meski di dalam hatinya dia tahu bahwa rencananya berjalan lancar.
Mattheo meletakkan pena dan mengembalikan dokumen itu pada Reymond dengan senyum bangga. “Sudah selesai. Pastikan perusahaan ini makin bersinar, Nak. Papa yakin kau bisa.”
Reymond menerima dokumen itu sambil sedikit membungkuk. “Tentu, Pa. Saya akan memastikan segalanya berjalan dengan baik.”
Di Dalam Pikiran Reymond.
Senyum kecil yang tadi terlihat di wajahnya kini hilang. Di balik ketenangan sikapnya, Reymond tahu bahwa dokumen itu lebih dari sekadar surat keputusan biasa. Itu adalah bagian dari rencana yang telah ia susun bersama Amanda dan Mr. Tano.
Tujuan utama surat itu bukan untuk memecat karyawan yang tidak kompeten, tetapi untuk melindungi mereka—terutama para wanita yang menjadi korban pelecehan Mattheo selama bertahun-tahun.
Reymond tahu bahwa menantang Mattheo secara langsung akan berakhir sia-sia. Maka, ia memilih untuk bermain di belakang layar, memanipulasi situasi agar ayah mertuanya menandatangani kebijakan yang akan melindungi para karyawan lemah di perusahaan ini.
Ia melirik Mattheo yang kembali tertawa sambil memuji dirinya. Reymond merasa pahit mendengar pujian itu, tetapi ia tahu bahwa semua ini harus dilakukan.
-Di Luar Ruangan-
Reymond melangkah keluar dengan wajah tanpa ekspresi. Langkahnya mantap, dan di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini baru awal dari rencananya.