Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19
Ruangan itu gelap dan penuh debu, bau apek menyelimuti udara yang terasa berat di paru-paru mereka. Dinding-dinding kusam dengan cat yang terkelupas tampak tidak terawat, seperti sudah lama ditinggalkan. Cahaya bulan yang temaram mengintip dari celah-celah jendela yang retak, menyorot bayangan menyeramkan di lantai yang penuh puing-puing.
Aisyah dan Delisha berdiri di tengah ruangan, kelelahan tampak jelas dari keringat yang menetes di wajah mereka setelah lolos dari zombie yang mengejar. Napas mereka terengah-engah, seolah paru-paru mereka tidak pernah mendapatkan cukup udara. Di hadapan mereka, sebuah laptop rusak tergeletak di meja, dan kamera video usang tergeletak di sebelahnya.
"Apa kita harus melihat ini?" tanya Delisha, nada suaranya ragu dan sedikit gemetar. Matanya menyipit, menatap kamera dengan campuran rasa ingin tahu dan ketakutan. Dia tahu, apapun yang mereka temukan tidak akan membawa kabar baik.
Aisyah, yang lebih berani, mengangkat dagunya, mencoba menutupi rasa gugup di dalam dirinya. "Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," katanya tegas, suara seraknya bergema di ruangan yang kosong. Tangannya gemetar sedikit saat ia menyentuh kamera dan menekan tombol putar.
Saat rekaman mulai diputar, wajah pucat seorang jurnalis tampak di layar, matanya dipenuhi kecemasan. "Jika kalian menemukan video ini... kalian harus tahu... wabah ini bukan kecelakaan." Jurnalis itu terlihat gelisah, berkali-kali menoleh ke belakang seakan takut ada yang mengawasinya. "Ini semua hasil dari eksperimen bioteknologi rahasia pemerintah."
Aisyah terdiam sejenak, rahangnya menegang. Jantungnya berdetak semakin cepat seiring setiap kata yang keluar dari mulut jurnalis itu. Tangan Aisyah mengepal, kuku-kukunya menekan telapak tangannya hingga terasa sakit, tetapi dia tidak peduli. "Jadi... mereka yang menyebabkan semua ini?" suaranya serak, dipenuhi kemarahan yang tertahan. Matanya menyipit tajam, sorot matanya penuh kebencian yang baru muncul.
"Mereka tahu! Mereka tahu semua ini akan terjadi, tapi tetap melakukannya! Semua orang yang mati... semua penderitaan..." pikirnya, dadanya terasa sesak oleh kemarahan yang mulai mendidih.
Delisha, yang berdiri di sebelahnya, menelan ludah dengan gugup. "Aisyah, kita tidak bisa panik sekarang," katanya dengan lembut, meskipun dia sendiri merasakan jantungnya berdebar keras di dalam dada. Dia mencoba berpikir jernih, tetapi pikiran tentang keterlibatan pemerintah dalam kekacauan ini membuatnya sulit untuk tetap tenang. "Kita harus tetap rasional. Kalau kita tahu ini, mereka mungkin sudah tahu kita juga. Mereka bisa mencarimu," Delisha melirik Aisyah dengan kekhawatiran.
Aisyah menggertakkan giginya, merasa darahnya mendidih. "Rasional? Kau bilang kita harus rasional setelah semua ini?" katanya, nadanya lebih tajam dari biasanya. "Mereka tahu ini bisa terjadi, tapi mereka tetap melakukannya, Delisha. Mereka... bermain-main dengan nyawa kita!" Tangan Aisyah menghantam meja, membuat debu beterbangan.
Delisha melangkah mundur sedikit, matanya berkedip cepat saat melihat ledakan emosi Aisyah. "Aku mengerti... Aku juga marah, tapi kita harus tetap berpikir. Bukti ini penting, dan kita harus bertindak cerdas. Kita harus keluar dari sini."
Sebelum Aisyah sempat merespons, video berakhir dengan jurnalis itu berbisik, napasnya tersengal-sengal. "Mereka akan datang... untuk kita semua." Layar mendadak menjadi gelap, dan suara rekaman mati.
Hening melanda ruangan, tetapi hening itu tidak bertahan lama. Suara geraman rendah terdengar dari luar gedung, semakin lama semakin keras. Langkah-langkah berat mulai terdengar mendekat dari balik pintu, membuat kedua gadis itu terdiam di tempat.
"Bukan sekarang... bukan lagi... kita tidak akan lolos jika mereka masuk," pikir Delisha panik, wajahnya memucat. Tangan gemetarnya meraih pergelangan tangan Aisyah, mencoba menyampaikan rasa takutnya.
Aisyah melirik ke pintu, kemudian ke arah Delisha. Napasnya tertahan, dan ia tahu bahwa mereka hanya punya sedikit waktu sebelum zombie-zombie itu merobohkan pintu. "Delisha... kita harus pergi sekarang," katanya pelan, suaranya tegas meskipun di dalam dirinya penuh dengan rasa cemas.
Suasana semakin tegang saat pintu mulai berderak keras, menandakan sesuatu yang mengerikan di baliknya mencoba masuk. "Mereka di sini," bisik Delisha, suaranya nyaris hilang ditelan rasa takut.
Aisyah dan Delisha bertukar pandang, tahu bahwa mereka harus segera membuat keputusan cepat. Langkah-langkah semakin dekat, dan mereka mendengar suara jendela bergetar, seolah makhluk-makhluk itu tidak hanya datang dari satu arah.
Dengan cepat, Aisyah menarik Delisha dan berlari menuju ruangan lain, berharap menemukan jalan keluar sebelum monster-monster kelaparan itu berhasil masuk.
****
Langit malam menggantung berat di atas mereka, diliputi awan pekat yang memantulkan bayangan suram di jalan-jalan sepi. Bau busuk dari tubuh-tubuh mati di kejauhan terbawa angin, membuat udara terasa lebih menyesakkan. Bangunan-bangunan runtuh di sekitar mereka, puing-puing berserakan, seolah kota ini telah lama mati. Di sela-sela reruntuhan, Nafisah, Nizam, dan Azzam bergerak cepat dengan tatapan penuh kewaspadaan, berusaha menyusuri lorong sempit yang sunyi.
"Harusnya kita sudah sampai. Aku yakin titik pertemuan itu di sekitar sini," kata Nafisah, napasnya tersengal-sengal. Matanya terus mengawasi sekeliling, waspada terhadap setiap gerakan atau suara. "Tapi... kenapa semua terasa salah?"
Nizam, yang berlari di belakangnya, menghapus keringat di dahinya dengan lengan baju yang kotor. "Mungkin kita melewati rutenya? Atau... mereka belum sampai?" gumamnya, matanya penuh kekhawatiran. Dia mencoba terlihat tenang, tetapi suara desah napasnya yang berat mengkhianati ketegangannya.
Azzam, dengan wajah yang lebih tegas, menghentikan langkahnya. "Tidak," katanya, matanya tajam menelusuri area sekitar, "Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Terlalu sepi." Tangan kanannya mencengkeram erat senjata yang ia pegang, sementara tangan kirinya meremas saku jaketnya dengan cemas.
"Kenapa aku merasa diawasi?" Nafisah berpikir sambil menggigit bibir bawahnya, perasaannya tidak nyaman. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena kelelahan, tetapi karena firasat buruk yang perlahan menyelimuti dirinya. "Apa mereka tahu kita di sini?"
Di sisi lain kota, Gathan dan Jasmine berlari secepat mungkin melalui gang-gang sempit yang tak terawat, derak kayu rapuh di bawah kaki mereka menambah kengerian. "Kita harus lebih cepat," kata Gathan, nadanya mendesak. Matanya liar, terfokus pada bayangan hitam di depan mereka.
"Aku tahu!" Jasmine merespon dengan tegas, tetapi ia tak bisa menutupi napasnya yang tersengal. "Apa kau benar-benar percaya apa yang dikatakan pria tua itu? Bahwa zombie ini dikendalikan oleh sesuatu yang lebih besar?"
Gathan melirik Jasmine dengan cepat, lalu menggeleng. "Aku tidak tahu," katanya sambil mengatupkan rahangnya, rasa ragu menyelinap ke dalam suaranya. "Tapi, kalau ada satu hal yang aku percaya, ini semua bukan kebetulan."
Jasmine terdiam, wajahnya penuh kekhawatiran, matanya terfokus pada Gathan. "Kalau begitu, kita lebih buruk dari yang kita kira," gumamnya sambil menghela napas panjang, tangannya yang gemetar mencoba mencari pegangan pada dinding berlumut di sebelahnya. Keringat membasahi lehernya, membuat rambutnya yang kusut menempel pada kulit.
Sementara itu, Nafisah merasakan bulu kuduknya berdiri. Dari balik reruntuhan, suara desah napas berat mulai terdengar—tapi kali ini, berbeda. Tidak ada suara langkah kaki yang acak atau gemerisik tanpa arah seperti biasanya. Mereka bergerak dengan pola yang aneh.
"Diam!" bisik Nafisah tiba-tiba, mengangkat tangannya untuk memberi isyarat kepada Nizam dan Azzam agar berhenti. Matanya melebar, penuh dengan ketegangan yang tiba-tiba muncul. "Dengar… ada yang tidak beres."
Azzam memperhatikan dengan tajam. "Mereka... mereka tidak hanya berkeliaran secara acak," katanya sambil mengerutkan kening, "Mereka bergerak bersama... seperti sedang mencari kita."
"Apa-apaan ini? Mereka bertindak seperti... tentara?" Nizam menelan ludah dengan susah payah, sementara keringat dingin mulai merembes di tengkuknya. Ketakutan mulai merayap masuk, tetapi dia berusaha menyingkirkannya. Kita harus tetap tenang... Kita tidak bisa panik sekarang.
Nafisah merapatkan tubuhnya ke tembok, telinganya tajam menangkap suara yang semakin mendekat. "Mereka tahu kita di sini," bisiknya penuh ketegangan. "Tapi... bagaimana?"
Tiba-tiba, suara geraman berat terdengar dari balik bayangan, disusul oleh langkah-langkah berat yang semakin mendekat. Dari balik reruntuhan, sekelompok zombie muncul, tetapi mereka tidak menyerang dengan cara biasa. Mata mereka bergerak dengan penuh intensitas, seolah mereka sedang mencari sesuatu... atau seseorang. Nafisah merasakan detak jantungnya semakin cepat, hampir melompat dari dadanya.
"Mereka mengepung kita," Azzam berbisik, suaranya rendah namun penuh ketakutan yang tertahan. Matanya membelalak, melihat bagaimana makhluk-makhluk itu bergerak lebih terorganisir daripada yang mereka duga. "Apa-apaan ini? Sejak kapan mereka bisa... berpikir seperti itu?"
Nafisah menggigit bibirnya dengan tegang. Tangan gemetarnya mencengkeram erat senjata yang ia pegang. "Ini bukan hanya sekadar wabah, ini lebih buruk dari yang kita pikirkan. Ada yang mengendalikan mereka."
Nizam, yang biasanya lebih tenang, kini merasakan tenggorokannya kering. "Kita harus pergi sekarang. Sebelum terlambat."
Tapi, sebelum mereka bisa bergerak, suara gemerisik lain terdengar dari arah berbeda. Nafisah melirik cepat ke arah itu dan terkejut melihat sekelompok zombie lain muncul dari belakang mereka, gerakan mereka terkoordinasi, membentuk pengepungan yang sempurna.
"Sudah terlambat," bisik Nafisah dengan putus asa, matanya menyipit penuh horor. "Mereka sudah mengunci kita."