Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batu Bara
"Darimana engkau tahu kalau aku adalah pria?" Surti terkejut karena Siti Adawiyah mengetahui bahwa dia adalah seorang pria.
"Aku pernah mendengar Panglima memanggilmu Satrio. Mana ada seorang wanita bernama Satrio? Engkau harus melangkahi mayatku terlebih dahulu jika kita harus tinggal satu kamar!" Siti Adawiyah cemberut.
Surti melipat kedua tangannya di dada. "Kalau begitu, ya sudahlah. Aku saja yang pindah ke kamarmu."
"Memangnya engkau tidak risih jika melihat aku tidur mendengkur?" Siti Adawiyah selalu mencari alasan agar Surti tidak sekamar dengannya.
"Tenang saja, aku sudah terbiasa tidur bersama para prajurit di kamp saat terjadi peperangan. Sebagian besar prajurit tidurnya mendengkur."
Surti tersenyum.
Siti Adawiyah tidak punya alasan lagi, lalu dia segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. "Aku tidur sekarang."
Surti mengangguk, tetapi dia tetap memandangi Siti Adawiyah tanpa berkedip sedikitpun.
"Mengapa engkau terus menatapku? Apakah akan terus begitu hingga pagi?" Siti Adawiyah terlihat kesal, namun akhirnya dia tertidur.
Tengah malam Siti Adawiyah terbangun oleh suara dengkuran Surti yang memecah keheningan malam.
"Huuh.. Lihat saja! Aku akan menutup mulutmu dengan mantra yang telah diajarkan oleh ayah."
Siti Adawiyah duduk bersila, mulutnya ber komat-kamit, lalu dia menjulurkan tangannya dan keluar sinar dari tangannya menuju mulut Surti.
"Heits.."
Tiba-tiba sebuah tombak besar melesat menuju kepala Siti Adawiyah. Siti Adawiyah menghindar, dan tombak itu tertancap pada tiang dibelakang kepalanya tadi.
Lalu Siti Adawiyah meringis, karena tombak besar itu akhirnya terjatuh dan menimpa tubuhnya. Tombak besar seberat lima kwintal itu akhirnya bisa disingkirkan oleh Siti Adawiyah, namun kini rasa kantuknya sudah hilang.
Siti Adawiyah berjalan menuju teras depan kamarnya, dia tidak habis fikir, kenapa Panglima begitu curiga kepadanya hingga memerintahkan Surti untuk mengawasinya.
Ketika Siti Adawiyah sibuk dalam lamunannya, tiba-tiba lamunannya tersentak karena merasakan udara yang sangat dingin. "Kenapa malam ini dingin sekali? Eh.. Tidak mungkin! Ini bukan dingin karena malam, lebih mirip dengan udara di daerah kutub!"
Siti Adawiyah memandang kedepan, terlihat olehnya lantai didepan kamar Panglima ada bentangan salju.
"Gawat! Apa yang telah terjadi?"
Siti Adawiyah berlarian menuju kamar Asrul. Tanpa berfikir panjang, Siti Adawiyah langsung masuk kedalam kamar Asrul, terlihat olehnya Asrul sedang duduk bersila, namun seluruh tubuhnya diselimuti oleh salju.
"Panglima.. Apa yang terjadi? Panglima, bangun.." Siti Adawiyah panik melihat kondisi Asrul. Terfikir olehnya bahwa Maelin pernah mengatakan bahwa Asrul terkena penyakit bronkitis. Namun seharusnya efeknya tidak seperti ini juga kalee. Siti Adawiyah mencari kesana kemari obat Asrul, akhirnya Siti Adawiyah menemukan obat tersebut.
Setelah Siti Adawiyah memasukkan obat kedalam mulut Asrul, Siti Adawiyah menggunakan tenaga dalamnya untuk membantu tubuh Asrul memproses obat tersebut didalam tubuh Asrul.
Siti Adawiyah menggunakan tenaga dalamnya terlalu banyak, tubuh Siti Adawiyah menjadi lemas seketika. Untungnya Asrul segera tersadar, dan sempat menangkap tubuh Siti Adawiyah yang terjatuh.
Asrul menggendong tubuh Siti Adawiyah dan dibawanya ke kasur tempat Asrul tidur. Kemudian Asrul segera memanggil tabib Maelin untuk memeriksa keadaan Siti Adawiyah.
"Panglima jangan khawatir, Siti Adawiyah tidak apa-apa. Dia hanya kelelahan setelah menggunakan tenaga dalamnya yang terlalu besar. Untunglah Siti Adawiyah bertindak tepat waktu, jika tidak maka Panglima harus kembali tertidur di goa jurang neraka. Biarkan saja Siti Adawiyah tertidur, jangan dibangunkan. Biarkan dia bangun sendiri."
Setelah meletakkan Siti Adawiyah diatas kasur Asrul, kemudian Maelin memeriksa keadaan Asrul. "Panglima telah tertidur didalam goa selama dua puluh tahun. Wajar saja tubuh Panglima terkena penyakit bronkitis."
"Tabib, adakah obat untuk menyembuhkan penyakit saya?" Asrul menunggu jawaban dari Maelin.
"Jika hanya penyakit bronkitis, saya bisa membuat ramuannya. Namun penyakit Panglima tidak sesederhana itu. Satu-satunya obat untuk penyakit Panglima hanyalah batu Bara."
"Panglima, izinkan saya mendapatkan batu Bara itu. Setahu saya hanya di Bukit Asam tempat tersedianya batu Bara." Jenderal Ali menawarkan diri untuk mendapatkan batu Bara.
"Jenderal Ali, tidakkah engkau tahu bahwa Bukit Asam adalah kawasan tempat berdiamnya pengikut Iblis? Engkau harus membawa paling tidak satu kompi prajurit untuk melindungi mu." Asrul mengingatkan Jenderal Ali.
Jenderal Ali terbatuk perlahan. "Hmm.. Terimakasih atas perhatian Panglima. Saya tidak membutuhkan seorangpun pengawal. Tabib Maelin, berapa banyak batu Bara yang diperlukan?"
"Semakin banyak semakin baik." Maelin menjawab dengan singkat.
Jenderal Ali bergegas untuk berangkat. "Kalau begitu, saya akan berangkat sekarang. Tabib Maelin, selama aku pergi, tolong jaga Panglima."
"Tentu saja Jenderal Ali, ini adalah tugasku sebagai tabib istana. Panglima, aku juga mau pergi. Tolong jaga Siti Adawiyah." Maelin juga undur diri.
Sementara itu di kamar Asrul, Siti Adawiyah terbangun pagi-pagi sekali. Betapa terkejutnya Siti Adawiyah setelah menyadari bahwa dia sedang berada didalam kamar Asrul. Terlebih lagi dia terbangun dari tidur diatas kasur Asrul.
"Dimana aku?.. Mengapa aku dikamar Panglima? Oh, mungkin aku saja yang pelupa. Mungkin Panglima telah menyelamatkan aku setelah aku menyelamatkan dirinya."
Begitupun dengan Surti. Ketika terbangun dari tidurnya, Surti kaget melihat tombak pusakanya tidak berada pada sarungnya, melainkan berada diatas kasur. Tombak tersebut tidak akan keluar jika tidak ada sesuatu yang mencoba mencelakakan dirinya.
"Gawat!.. Istana negeri akhirat telah dimasuki oleh penyusup! Penyusup itu pasti mata-mata dari suku Iblis! Lihat saja! Aku pasti akan menangkap penyusup itu. Bagaimana dengan Siti Adawiyah ya?.. Apakah dia baik-baik saja?.. ... Siti Adawiyah... Siti Adawiyah.. Engkau dimana?.. Siti Adawiyah.."
Surti kalang kabut mencari Siti Adawiyah. Dia khawatir terjadi sesuatu pada Siti Adawiyah. Tatkala Surti mencarinya di sekitar kamar Asrul, Siti Adawiyah membuka pintu kamar Asrul dan menyapa Surti.
"Surti! Mengapa engkau membuat kekacauan di pagi hari? Tidakkah perbuatanmu ini dapat membuat panik seluruh penghuni kediaman ini?"
"Siti Adawiyah... Kediaman kita telah dimasuki oleh penyusup! Saya yakin penyusup itu adalah mata-mata kaum Iblis. Tombak pusakaku telah menghadapinya semalam." Surti bercerita dengan panik.
"Kenapa penyusup itu mentargetkan kamar kita? Apakah dia menyangka kita berdua adalah orang penting?" Siti Adawiyah menganalisa.
"Tentu saja, Siti! Memangnya dia mau kemana lagi? Jika ke kamar Panglima, sudah pasti dia tidak akan berani. Makanya dia memilih kamar kita. Eits.. Kenapa engkau keluar dari kamar Panglima?" Surti menunjukkan tatapan curiga.
"Aku juga tidak tahu, Surti. Ketika aku bangun tidur, aku telah berada diatas kasur Panglima." Siti Adawiyah kebingungan.
Surti hanya senyum -senyum sendiri. "Akhirnya.. Kukira hati Panglima terbuat dari batu, ternyata ada juga rasa cinta didalam hatinya."
Siti Adawiyah tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Surti.