Di balik suami yang sibuk mencari nafkah, ada istri tak tahu diri yang justru asyik selingkuh dengan alasan kesepian—kurang perhatian.
Sementara di balik istri patuh, ada suami tak tahu diri yang asyik selingkuh, dan mendapat dukungan penuh keluarganya, hanya karena selingkuhannya kaya raya!
Berawal dari Akbar mengaku diPHK hingga tak bisa memberi uang sepeser pun. Namun, Akbar justru jadi makin rapi, necis, bahkan wangi. Alih-alih mencari kerja seperti pamitnya, Arini justru menemukan Akbar ngamar bareng Killa—wanita seksi, dan tak lain istri Ardhan, bos Arini!
“Enggak usah bingung apalagi buang-buang energi, Rin. Kalau mereka saja bisa selingkuh, kenapa kita enggak? Ayo, kamu selingkuh sama saya. Saya bersumpah akan memperlakukan kamu seperti ratu, biar suami kamu nangis darah!” ucap Ardhan kepada Arini. Mereka sama-sama menyaksikan perselingkuhan pasangan mereka.
“Kenapa hanya selingkuh? Kenapa Pak Ardhan enggak langsung nikahin saya saja?” balas Arini sangat serius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Kehidupan Arini
“Hah!” Ardhan mengembuskan napas panjang melalui mulut. Ia tidak bisa untuk tidak emosi akibat apa yang tengah ia alami.
“Bulaknya sepanjang ini? Kenangan sama gebetan saja sampai kalah panjang! Ssttt!” lanjut Ardhan yang memilih berhenti melangkah.
Bulak yang Ardhan maksud merupakan istilah bahasa Jawa. Artinya ialah jalan panjang yang terapit persawahan. Selain jalan di sekitar sana masih penuh lobang, bebatuan besar juga masih banyak yang belum diratakan.
Di tengah angin yang berembus kencang, Arini berkata, “Kan tadi aku sudah bilang ke Pak Ardan. Kalau mau ke rumah orang tua aku, pakai motor saja biar bisa pilih jalan.” Sesekali, ia menggeser hijab segi empatnya yang berterbangan akibat embusan angin yang sangat kencang. Malahan kini, ia sampai menahan dasi Ardhan lantaran pria itu makin rempong efek nyaris terce kik dasi sendiri.
“Astaghfirullah ... apanya yang mau dipilih kalau jalannya saja begini? Jalan kaki saja susah, apalagi pakai motor? Yang ada aku dikira modus bentar-bentar rem. Kamu pasti mikirnya biar kamu meluk aku!” ucap Ardhan.
“Ya nanti aku bisa pegangan ke belakang, apa nyomot jas pak Ardan!” yakin Arini masih berusaha sabar sambil terus menengadah hanya untuk balas menatap Ardhan. Karena biar bagaimanapun, Ardhan jauh lebih tinggi darinya.
Tinggi Arini itu seratus enam pupuh senti meter, sementara tinggi tubuh Ardhan ada hampir seratus delapan puluh senti meter.
“Yang ada nanti aku dikira tukang ojeknya kamu!” balas Ardhan telanjur emosi karena perjalanan ke rumah orang tua Arini sangatlah penuh rintangan.
“Ya sudah aku yang boncengin!” balas Arini.
“Kamu mau boncengin aku?” ucap Ardhan memastikan.
Detik itu juga Arini yang menyimak sekaligus menatap kedua mata Ardhan dengan saksama, segera mengangguk-angguk. “Iya ... aku yang boncengin Pak Ardhan.”
“Gini-gini aku masih sayang nyawa, makanya aku dengan sadar dan tidak sedang kesuru pan, ngajak kamu nikah. Bisa-bisanya kamu mau boncengin aku, sementara lagi diem saja, kamu bar-barnya enggak ketulungan. Akbar saja kamu ban ting, apalagi kalau aku bersedia kamu bonceng. Jalan yang kamu pakai pasti jalur tembus langit atau malah jalur pindah alam!”
“Oh ... jadi Pak Ardan pengin saya bantin g juga?”
“Stttt! Bocah ini!”
“A—ampun, Pak ...!”
“Ngapain kamu malah lari kabur gitu? Nanti kalau aku kejar kamu dan aku kesandung, yang ada aku bisa stroke. Tensi darahku sepertinya lagi tinggi banget. Kepala saja puyeng ‘kleyengan’ gini!”
Keluhan Ardhan membuat Arini yang sudah sempat lari, buru-buru putar balik. Arini sengaja menghampiri Ardhan kemudian menuntunnya. Tangan kanan Arini meraih lengan Ardhan, tapi sesekali, tangan tersebut juga akan mengelus-elus punggung Ardhan.
“Rin, kalau ke sini mending pakai kuda ya. Eh, tapi kasihan kudanya ya kan. Bisa ganti sepatu satu lusin—”
“Hahaha ... jangan lawak lah, Pak. Jalan ini masih tergolong bagus ketimbang zamannya saya masih sekolah. Pagi-pagi, jalan penuh ular sama keong hasil wuwu, yang buat tangkap ikan itu. Bukannya dapat ikan, tapi tuh wuwu dapatnya ular beneran penuh itu Pak di jalan sini. Ularnya masih pada hidup!” cerita Arini benar-benar antusias.
“Kamu mau sekolah saja uji nyalinya enggak kira-kira ya, Rin. Cobaan hidupmu berat banget karena sampai sekarang pun, masih berjilid-jilid. Untung kamu ketemu aku, lihat ... lihat, bahagia kan kamu ketemu dan mau aku nikahi?!”
“Gimana ya, Pak. Mau menyangkal, tapi ... semalam aku menangisi mas Kabar, sih. Namun kemudian aku juga bersyukur—”
“Karena kamu dapat aku?”
“I–iyah ....”
“Pipimu merah! Hahahaa!”
“Eh, Pak. Enggak usah singgung-singgung pipi, kenapa? Aku tinggal lari lagi ini, biar Pak Ardhan kesandung batu cabluk lagi!”
“Eh, jangan! Sudah paling bener kamu tuntun aku. Apa kata orang kalau mereka lihat aku jatuh. Wibawaku bisa langsung hilang!”
Sampai detik ini, efek angin yang sangat kencang, Ardhan masih teriak-teriak hanya untuk bicara.
Mungkin dari kejauhan, Ardhan dan Arini layaknya tengah bertengkar. Padahal, keputusan kedua sejoli itu mengarungi perjalanan dengan jalan kaki, membuat keduanya jadi lebih akrab. Makian dan tawa kerap mewarnai kebersamaan keduanya. Bukan hanya Ardhan yang menertawakan Arini. Sebab Arini juga dengan leluasa melakukan hal sama ke pria yang merupakan bosnya itu.
“Pak, aku request, ya! Kalau di depan mbak sama suaminya, kita wajib romantis. Romantis versiku kalau di depan orang-orang itu, cukup senyum, pegangnya dikit, paling banter gandengan. Udah gitu saja Pak. Enggak usah ci pak cepok sasar sosor enggak jelas. Pokoknya jangan kayak gitu. Apalagi lihat, aku sudah berhijab!” ucap Arini dan langsung disimak dengan serius oleh Ardhan, di tengah kenyataan mereka yang sama-sama berjalan.
Arini juga cerita, suami sang kakak perempuan yaitu Marini, dulunya naksir Arini. Jadi konsep suami Marini itu, mendekati Arini dengan cara tanya-tanya tentang Marini, padahal sebenarnya yang ditaksir memang Arini.
“Kok mereka tetap lanjut nikah?” heran Ardhan. Ada saja drama di kehidupan nyata yang memang di luar nalar.
“Mbak Marini sempat minum obat kasbon, eh oska don delapan biji, Pak. Sempat dirawat di klinik mama Pak Ardhan!” balas Arini.
“Kalau delapan biji, berarti dua plek itu, ya? Ah ... cinta sama g o bl ok emang beda tipis. Untung aku pinter. Cinta ya cinta, go blok ya go blok!”
Arini itu tiga bersaudara. Arini merupakan anak kedua. Anak pertama orang tua Arini yaitu Marini, usianya lima tahun lebih tua dari Arini. Sementara adik Arini hanya terpaut satu tahun dengan Arini. Adik Arini bernama Handoko, berjenis kela min laki-laki, anak yang paling disayang dan apa-apa selalu dituruti.
Terlahir menjadi anak kedua dan masih berjenis kelam in sama dengan sang kakak, membuat Arini tidak diperlakukan spesial. Orang tua Arini menerapkan kehidupan pilih kasih yang membuat Arini justru menjadi tulang punggung keluarga. Karena ketika Marini maupun Handoko dibebaskan dalam segala hal termasuk sekolah, tidak dengan Arini.
Karena kembali melahirkan anak perempuan, Arini sempat dibuang oleh sang bapak dan disetujui mamak Arini. Jadi sejak bayi merah, Arini dirawat oleh sang nenek di rumah berbeda. Namun ketika usia Arini tujuh tahun, Arini kembali ke orang tuanya karena sang nenek meninggal.
Berbeda dengan kedua saudaranya, Arini tumbuh menjadi pribadi ulet. Terlebih perlakuan berbeda dari orang tuanya membuat mental Arini tertekan. Hingga dengan sendirinya, Arini berpikir dewasa sangat cepat.
Lulus SMP, Arini sudah ikut tetangganya untuk merantau ke Bandung. Arini ditugasi menjadi tulang punggung utama di keluarganya. Hingga karena itu juga, Arini jarang pulang. Arini baru pulang setelah sang bapak meninggal, empat tahun semenjak Arini bekerja di Bandung.
Bapak Arini mengalami serangan jantung setelah pihak dari pacar Handoko menjelaskan alasan Handoko baba k belur. Handoko mengha mili pacarnya. Usia kandungan pacar Handoko sudah lima bulan. Yang mana selama Handoko pamit sekolah bahkan kuliah dan biayanya itu dari kerja keras Arini, ... Handoko bohong. Handoko sudah dikeluarkan sejak kelas satu SMA karena bermasalah dan selalu bolos. Jadi, selama itu juga, sederet uang yang Handoko sebut untuk bayaran dan bayaran, benar-benar untuk senang-senang. Kendati demikian, Handoko tetap menjadi anak tersayang hanya karena dirinya terlahir menjadi anak laki-laki yang diinginkan.
Sementara untuk Marini, meski sekolah sampai lulus SMA, Marini tetap tidak jadi apa-apa. Karena belum sempat kerja saja, Marini sudah menikah.
Sekejam itu kehidupan Arini hanya karena terlahir menjadi anak kedua dan berjenis ke lam in sama dengan kakaknya.
(BISMILAAAAHHH, Mohon kompak Ya. Besok bab 20 perhitungan retensi. Moga aman, soalnya kalau enggak aman, terancam enggak lanjut. Besok insya Allah pagi, bab 20 aku up. Siap-siap, ya. Mohon kekompakannya karena masih banyak hal seru yang ingin aku bagikan lewat cerita ini ❤️)
ga sadar baca nya, pikirjudul yg ini udh tamat.. ya wiss lah aku tunggu aja..kelanjutannya.
ya ampun PD amat grandong Akbar mw dikasih usaha sm ortu Kunti kill2 yg ad ortu Kunti kill2 mikir beribu² kali buat lakukan itu 😏😏😏 eee Kunti mes² kena karma lg 🤭🫣🫣
Semangat trs buat kak Rositi