Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Orang Gila
...----------------...
"Ini mustahil. Kenapa aku bisa kembali ke masa lalu?" Ryan mondar-mandir di dalam kamarnya setelah memilih pulang dari sekolah. Ia tidak bisa bertemu Rara lagi karena pihak sekolah sudah mewanti-wanti. Jika dia kembali, maka akan berurusan dengan polisi.
Ryan merasa dirinya sedang berhalusinasi. Kembali ke masa lalu hanyalah cerita fiksi yang sering dibaca di novel dan drama serial yang pernah dia bintangi. Oleh karena itu, Ryan harus lebih memastikan lagi hal yang menimpanya benar-benar terjadi.
Beberapa kali Ryan memastikan tanggal berapa sekarang, tetapi hasilnya tetap membuatnya tercengang. Pun dengan keadaan rumahnya yang tidak sama seperti dekorasi sebelum dirinya pergi ke makam Rara. Itu adalah dekorasi rumah ketika Ryan baru pindah ke sana.
Ryan memang seorang urban yang ingin mencapai cita-citanya menjadi seorang pemain film. Padahal dia adalah anak orang terkaya di desanya, tetapi Ryan ingin menikmati hidup yang sesuai dengan panggilan jiwa. Berbekal alasan kuliah di ibukota, Ryan ikut dengan Dania. Namun, dia tidak mau tinggal serumah dengan sepupunya itu karena ingin bebas. Ryan malah lebih banyak menggunakan waktunya untuk melakukan casting film dan menjadi figuran di beberapa film televisi.
Ryan bahkan pernah cuti kuliah dengan alasan sibuk bermain drama. Padahal, dia hanya berperan sebagai figuran saja. Sang papa tidak bisa berbuat apa-apa karena Ryan terkenal sebagai anak manja. Ryan selalu bersikap masa bodoh dengan kuliahnya.
Ryan selalu mendapatkan info tentang lowongan bermain peran melalui koneksi kakak sepupunya yang bernama Dania yang notabene seorang MUA.
Entah karena kurang beruntung atau memang tidak mahir dalam bermain drama, Ryan tidak pernah ditawari menjadi pemeran utama oleh sutradara, sehingga namanya tidak begitu terkenal dijagat maya maupun di kehidupan nyata. Namun, Ryan tidak pernah berkecil hati atau berputus asa. Dia menganggap bermain peran itu sebagai ajang bersenang-senang saja.
"Mustahil ... aku beneran kembali ke tiga tahun lalu." Ryan menyugar rambutnya kasar. Sedikit menjambak sehingga dia bisa merasakan sakit di kepalanya. Dengan begitu, Ryan yakin jika itu benar-benar nyata.
"Ah, jam pasir itu ...." Ryan langsung berlari ke luar rumah menuju ke mobil yang terparkir di halaman. Dibukanya pintu mobil dengan kasar lalu diraihnya jam pasir yang tergeletak di atas jok mobil depan. "Apa maksudnya dengan jam pasir ini yang ikut ke zaman ini bersamaku?" imbuh Ryan sambil berpikir keras.
Kedua matanya memicing tajam memperhatikan gerakan pasir di dalamnya yang bergerak sangat lamban. "Kenapa turunnya lambat sekali," gumam Ryan semakin bingung. Semakin dia mencoba menalar, semakin tidak masuk akal.
Tiba-tiba saja selintas kejadian di makam Rara terekam di pikiran Ryan. Kejadian ketika dia menangis pilu atas kepergian Rara, termasuk janji yang dia lontarkan jika Rara bisa kembali kepadanya.
Ryan tersentak tentu saja ketika ingatan itu hilang dengan sendirinya. "Apa ini jawaban dari do'aku waktu itu? Ya, Tuhan ... apa Engkau benar-benar mengabulkan do'aku?" Ryan menengadah sambil berteriak saat mengatakan hal itu.
Beberapa detik lelaki itu terpaku, sebelum kemudian berubah menjadi orang gila yang tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya bersimpuh di atas tanah. Kedua tangannya masih memegang jam pasir dengan erat. Kedua matanya sampai mengeluarkan cairan bening yang menganak sungai melintasi pipi. Entah itu tangis bahagia, entah apa. Ryan tidak bisa mendeskripsikan perasaannya. Untuk beberapa saat, Ryan hanyut dalam rasa haru. Tangisnya pun mereda setelah ia sadar akan sesuatu.
"Apa Tuhan sengaja memberikan jam pasir ini sebagai penanda waktu ...?" Ryan menghentikan kata. Kedua matanya membulat sempurna dengan kilatan berkilauan terpancar bak mutiara. Seolah mendapatkan anugerah, Ryan pun kembali berkata dengan semringah, "Mungkin Tuhan menghendaki aku untuk mengubah takdir Rara di masa depan."
Helaan napas panjang pun terlontar diiringi dengan seulas senyuman. Ryan jadi mempunyai harapan untuk hidup bahagia bersama Rara. Namun, ada masalah yang harus dihadapinya sekarang. Kesan pertama mereka bertemu mungkin bisa jadi penghalang. Sepertinya Rara begitu membenci Ryan. Lalu, harus bagaimanakah Ryan agar bisa menyelamatkan nyawa gadis yang dicintainya itu?
*****
Senja menghiasi langit di ufuk barat menandakan petang sudah mendarat. Rara dan Mita pulang bersama setelah selesai lomba peragaan busana. Walaupun perlombaan itu ada sedikit masalah karena ulah Ryan, ternyata Rara tetap menjadi pemenang.
Gadis cantik itu memang tiada lawan. Gaya dan penampilannya sudah seperti model terkenal. Alhasil, kemenangan gadis itu tidak bisa dielakkan walaupun ada insiden kecil yang menjadi penghalang.
"Lo emang keren, Ra! Padahal tadi ada gangguan, tapi lo masih bisa melanjutkan lomba dengan penampilan terbaik lo," ucap Mita memuji sahabatnya.
"Iya, dong. Siapa dulu ... Rara!" Rara mengatakan hal tersebut dengan gaya angkuh yang dibuat-buat. Piala yang dia bawa dipeluk sangat erat. Kelakuan Rara tersebut membuat Mita mencebikkan bibir, tetapi tertawa setelahnya.
"Iya, iya ... lo emang jago kalau masalah fashion. Tapi sebenarnya make up lo itu yang paling mengesankan. Benar-benar cetar membahana! Gue sampe tersepona. Lo make up di salon mana?" dalih Mita setelah tawanya reda.
"Nggak ke salon, tapi di tetangga baru gue yang depan rumah. Dia jago banget make up-in orang. Gue jadi kayak Cinderella."
"Wah, kapan-kapan gue mau ke sana juga, ah. Kali aja gue bisa disulap jadi Cinderella kayak lo ...," celetuk Mita. Sejenak terdiam lalu berkata lagi seperti ada sesuatu yang terlintas di pikirannya. "Eh, Ra, gue masih penasaran, lho, sama orang gila tadi. Lo beneran nggak kenal sama dia?" Rara yang tengah berjalan kaki sontak menghentikan langkah karena Mita menghadangnya di depan.
"Udah gue bilang berkali-kali, gue nggak kenal sama dia." Rara menjawabnya sambil menyerobot tubuh Mita dan membuka jalannya kembali seperti tidak peduli. Mita pun segera mengejar lagi.
"Tapi tadi gue lihat dia kayak yang serius banget, lho, Ra. Gue lihat nyampe nangis juga." Kali ini Mita berkata sambil berjalan di samping Rara sambil menggandeng tangannya.
"Bodoamat. Emangnya gue pikirin."
Rara tetap melangkah santai seperti tanpa beban. Padahal dalam hatinya ada sedikit rasa penasaran terhadap lelaki yang sudah memeluknya tadi. Tiba-tiba saja bayangan kejadian di panggung tadi melintas di pikirannya. Rara mengingat tatapan Ryan yang begitu dalam ketika sejenak mereka beradu pandang.
Sorot matanya tersirat penuh arti. Butiran bening yang berkelipan di bola matanya menandakan sesuatu telah terjadi. Entah itu apa. Rara juga ingin bertanya, tetapi dia berpikir apa untungnya buat dia. Jadi, lebih baik menganggapnya sebagai orang gila.
"Ra, lo mau ke mana?" Pertanyaan Mita mengembalikan pikiran Rara ke tempat semula.
"Mau pulang, lah," jawabnya enteng.
"Lah, itu rumah lo udah kelewat. Lo mau pulang ke rumah gue?"
Rara sedikit tersentak. Arah pandangnya mengikuti arah tangan Mita yang menunjuk ke arah yang berlawanan dengan tempatnya sekarang. Rara pun tersadar jika dirinya sempat melamun sejenak. Namun, gadis itu berkelit agar tidak ketahuan oleh Mita.
"Tadinya gue mau nganterin lo dulu, tapi nggak jadi, deh. Gue capek," ujarnya sambil melepaskan tangan Mita yang masih menggandeng tangannya.
"Dih ... ga jelas banget!" Mita berkata sambil mengernyitkan kening. Menatap punggung Rara sampai menghilang di balik pintu pagar rumahnya.
Rumah mereka memang berada di gang perumahan yang sama. Setiap hari mereka selalu berangkat dan pulang sekolah bersama dengan berjalan kaki ke jalan raya, lalu naik angkutan umum dari sana.
...----------------...
......To be continued .... ......