Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
"Pulang juga kamu, mas. Kenapa telponku gak kamu angkat?" Todong Munaroh saat Bimo baru memasuki rumah kontrakan mereka. Dengan lunglai, Bimo mendaratkan tubuhnya di atas karpet lusuh yang terpasang di lantai kayu rumahnya. Ya, keadaan ekonomi Bimo semakin menyusut, sudah satu bulan ini dia pindah kontrakan yang lebih murah.
"Aku tadi di jalan, gak dengar kalau ada telpon." Sahut Bimo datar, menatap Munaroh dengan raut dingin. Bahkan, penampilan istrinya itu nampak lusuh di matanya. Munaroh mengenakan daster tanpa lengan, tubuhnya yang gempal dan wajahnya yang kusam membuat Bimo semakin ilfil.
"Aku minta uangnya buat beli susu dan bahan sembako. Beras, minyak dan bumbu dapur pada habis semua." Lanjut Munaroh dengan wajah menahan kesal, hari ini suaminya baru gajian. Tanpa banyak bicara, Bimo mengeluarkan uang lima ratus ribu dari dalam dompetnya, dan diserahkan pada Munaroh.
"Kok cuma segini, mas?" Tanya Munaroh tak terima.
"Adanya segitu, tadi uangnya sudah aku berikan pada mbak Iis, dia mau pulang ke Madura untuk mengurus selamatan suaminya." Sahut Bimo acuh, Munaroh langsung terbakar emosi.
"Istrimu itu aku apa mbakmu sih, mas? Kenapa kamu selalu mengutamakan dia dari pada aku? Anakmu butuh makan, jajan, dan juga susu. Uang segini mana cukup, kecewa aku sama kamu. Lama lama sikapmu semakin seenaknya sendiri, gak lagi mikirin anak istri gimana. Padahal aku sering nahan emosi, karena aku ingin kamu itu paham, tapi justru semakin seenaknya." Sungut Munaroh berapi api, Bimo hanya diam tak menanggapi sama sekali. Justru merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya, pura pura tuli dari ocehan istrinya.
"Selalu saja begini, padahal kamu tau kalau warung sekarang semakin sepi. Ini saja tadi cuma dapat uang dua puluh ribu." Sambung Munaroh dengan dada sesak, di pandangi uang yang dia genggam dengan tatapan nanar.
"Mulai sekarang aku tidak akan sudi menyiapkan makanan enak untuk kamu, minta saja sama mbakmu sana!" Sungut Munaroh dengan dada naik turun, dengan menghentakkan kaki dia pergi meninggalkan Bimo yang sedang pura pura tidur, padahal telinganya bisa mendengar jelas Omelan sang istri yang tak lagi menarik di matanya.
"Dulu Laras tidak pernah protes saat aku memberi uang belanja semauku, bahkan saat aku tak lagi menafkahinya. Dia selalu diam dan bisa mencukupi kebutuhannya dengan Luna dengan baik. Sekarang aku menyesal, kalau saja masih ada Laras, pasti dia akan membantu bukannya malah ngomel kayak Munaroh." Batin Bimo yang tiba tiba ingat dengan mantan istrinya.
"Apa kabarnya mereka ya, Luna pasti semakin cantik dan tinggi. Minggu depan aku akan mengunjungi mereka, sekalian lihat keadaan emak." Lirih Bimo yang mulai memikirkan anak perempuannya.
Krucuk krucuk, suara berisik dari perut Bimo mulai ramai. Membuat Bimo mau tak mau beranjak dari posisi tidurnya. Berjalan pasti menuju dapur, membuka tudung saji yang ada di meja kayu yang terletak di pojokan dapur. Bimo menghembuskan nafasnya kasar, di meja hanya ada nasi putih dan sambel tomat dengan lauk tempe goreng.
"Roh, kamu gak masak?" Teriak Bimo nyaring.
"Apa sih mas teriak teriak." Sungut Munaroh yang sudah berganti pakaian, siap siap mau belanja di toko ujung jalan.
"Aku lapar, kamu gak masak?" Tanya Bimo dengan wajah memerah.
"Lapar ya makan saja, itu kan ada sambel sama tempe. Mau beli ayam juga gak ada uang." Sahut Munaroh acuh dan berjalan meninggalkan Bimo yang nampak semakin kesal dengan kelakuan istrinya.
"Perempuan gak tau diri, sudah di kasih uang tapi gak mau melayani suami dengan baik. Awas saja kamu, aku gak sudi lagi kasih uang belanja. Lebih baik makan di warung." Sahut Bimo yang dengan sengaja membanting sendok ke sembarang arah.
"Apa kamu bilang, mas. Kamu gak lagi kasih aku uang belanja?" Balas Munaroh sengit, dadanya sudah naik turun karena sangking kesalnya.
"Ya, silahkan kamu cari uang sendiri." Sahut Bimo tak kalah sengitnya.
"Aku ini istrimu, kamu berkewajiban menafkahiku, awas saja kalau kamu menelantarkan aku dan Brio, aku pastikan hidupmu menderita!" Ancam Munaroh dengan senyuman miring, Bimo mematung dengan tatapan tajam. Dari dulu Munaroh selalu mengancamnya lantaran dia punya saudara yang berprofesi dukun.
"Aaaargh, wanita sialan. Semoga kamu segera kena tulah, dasar sialan!" Berang Bimo yang langsung berjalan cepat meninggalkan Munaroh. Bimo kembali menaiki motornya entah pergi kemana.
"Kurang ajar, aku gak akan diam kamu perlakukan seperti ini, mas." Sinis Munaroh dengan tangan terkepal.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
"Kok kamu pulang sendiri, Ran. Mana istrimu da juga mas mu?" Sambut Bu Tuti saat melihat anak bungsunya memasuki rumah.
"Saroh masih di rumah orang tuanya, Mak. Mas Bimo gak tau kenapa gak pulang." Balas Miran acuh tak acuh. Pria berumur dua puluh sembilan tahun itu selalu mencari muka agar di pandang anak yang paling berbakti. Dia selalu saja menutupi kebaikan Bimo pada semua orang. Padahal setiap dia pulang kampung, Bimo lah yang selalu memberinya uang ongkos dan menitipkan uang untuk di kasih ke ibunya. Tapi Miran selalu mengakui jika uang itu darinya.
"Mas mu itu selalu gak pernah perduli sama keluarganya. Tapi emak beruntung punya kamu sama Iis. Kalian selalu bantu emak saat susah." Sahut Bu Tuti dengan senyum bangga menatap anak bungsunya.
"Gimana keadaan emak sekarang?" Sambung Miran yang mengambil tempat duduk di tepi kasur. Bu Tuti tengah berbaring di kasur lusuh yang ada di depan televisi dan di temani dua tetangganya, Mak Romlah dan Mak Sayuti.
"Kamu lihat sendiri, tangan dan kakinya emak masih belum bisa buat gerak. Untung ada Mak Romlah dan Mak Sayuti yang jaga emak." Sahut Bu Tuti lesu.
"Iya Mak, nanti kalau mbak Iis pulang dari Madura, biar mbak Iis yang ngerawat emak di sini. Saroh sibuk bantu ibunya di sana, lagi banyak pesanan soalnya." Sahut Bimo dengan gayanya yang sok perduli dan perhatian. Padahal dalam hati sudah tak betah dan ingin cepat kembali ke rumah mertuanya.
"Ini buat Mak Romlah dan Mak Sayuti, buat beli kopi." Miran memberikan uang masing masing lima puluh ribu pada tetangganya itu. Seketika senyuman lebar langsung tercetak di wajah kedua wanita tua yang sudah membantu menjaga Bu Tuti.
"Terimakasih ya, Le. Semoga rejeki kamu makin lancar." Ucap mereka dengan wajah sumringah. Mira tersenyum lebar mengaminkan doa ibu ibu yang seumuran dengan Bu Tuti. Padahal, uang yang Miran keluarkan adalah uang pemberian Bimo.
"Ran, mbakmu kapan jadi pindah ke sini?" Tanya Bu Tutik dengan wajah penuh harap.
"Setelah Dewi ujian kenaikan kelas, mungkin tiga bulan lagi." Sahut Bimo sambil menyesap rokoknya.
"Alhamdulillah, lebih baik tinggal di kampung. Jadi mbakmu gak usah mikir buat bayar kontrakan. Dewi bisa melanjutkan sekolahnya di sini, mbakmu juga bisa jualan jajanan anak anak di depan rumah." Balas Bu Tuti yang tersenyum miris, memikirkan nasib anak perempuannya yang kini berubah miskin.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..