Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
“Ampun, maafin Joano. Jangan pukul Joano lagi, maafin Joano. Joano nggak bakal ngulangi lagi, maafin Joano.” Dalam tidurnya, Joano terus meracau. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, kepalanya bergerak ke kiri dan kanan secara berulang-ulang dengan gerakan cepat. "Ampun! Maafin Joano! Jangan pukul Joano lagi! Jangan pukul Joano lagi!"
Detik itu juga bola mata Joano tersentak bangun dan langsung menatap lurus langit-langit kamarnya. Setelah beberapa detik larut dalam kesenyapan, Joano lalu bangkit dari tidurnya, menyenderkan kepalanya di sandaran ranjang kemudian mengatur napas pelan-pelan.
Selama lebih dari sepuluh tahun, Joano tidak pernah memimpikan peristiwa mengerikan yang pernah terjadi di hidupnya. Namun entah mengapa ingatan itu kembali menghantuinya, bahkan merasuk ke alam bawah sadar, seolah kejadian itu baru terjadi kemarin.
Joano mengulurkan tangannya ke meja samping ranjang, meraih segelas air mineral lalu meneguknya hingga tak bersisa. Baru kali ini dia mengalami mimpi buruk yang menguras energinya.
"Joano!" Suara familier itu berseru dari luar ruangan.
"Ayo sarapan, Mama tunggu di bawah, ya."
"Iya, Ma." Joano menyahut segera. Dia lantas turun dari ranjangnya, menatap cermin sebentar untuk menenangkan pikirannya kemudian beranjak keluar dari kamar.
Sampai di ruang makan, Joano langsung menarik kursi dan mengucapkan terima kasih saat ibunya memberikan semangkuk sereal padanya. Bagi Joano, Helen adalah malaikat tak bersayap yang Tuhan hadiahkan khusus untuknya. Saking istimewanya, Joano sering kali merasa tak pantas mendapatkannya.
Bukan hanya sebagai sosok ibu yang tangguh, Helen juga berperan seperti ayah, kakak serta sahabatnya.
Meski sekarang waktu yang Joano habiskan bersama wanita itu begitu singkat karena kesibukan Helen di kantor, Joano tetap merasakan kasih sayang dari ibunya tanpa berkurang sedikit pun. Dulu hingga sekarang, Helen adalah pahlawannya.
"Gimana kebabnya tadi malam, Ma? Masih enak nggak?"
"Masih enak dong, makin pintar aja nih masaknya." Helen berseru kagum. Dia lantas duduk di bangku yang berseberangan dengan Joano.
Joano tersenyum malu. Setiap ibunya mengabari kalau akan pulang ke rumah, dia selalu memasakkan sesuatu, entah itu makanan ringan atau makanan berat. Karena itu ketrampilan memasak Joano semakin hari semakin meningkat.
"Gimana sekolah kamu? Susah nggak pelajaran kelas dua belas?" Helen bertanya lalu menyuapkan satu sendok bubur ke mulutnya.
"Sejauh ini Joano masih bisa handle sih, Ma. Joano juga suka sama guru-guru yang ngajar di kelas dua belas. Mereka kalau ngasih penjelasan simple dan nggak ribet, cocok sama metode belajar Joano.”
Helen tersenyum, dia senang mendengar perkataan putranya yang menikmati kehidupan sekolah. "Mama bangga sama kamu karena selalu mendapat peringkat di sekolah, tapi Mama juga sedih kalau kamu terlalu memaksakan diri. Mama pengen kamu juga menikmati masa sekolah kamu dengan teman-teman, bermain dan melakukan banyak hal yang nggak selalu berhubungan dengan materi pelajaran."
Helen menggenggam tangan Joano kemudian melanjutkan perkataannya, "Selalu mendapat peringkat memang sesuatu yang membanggakan dan nggak mudah untuk mendapatkannya, tapi Mama nggak mau kalau kamu melakukan semua itu karena merasa nggak enak hati. Mama nggak mau kalau kamu tambah stres karena melakukan hal yang nggak pengen kamu lakuin."
Joano membalas genggaman tangan Helen lalu menyungging sudut bibirnya. "Ma, Joano melakukan semua ini bukan karena merasa nggak enak hati. Joano belajar juga untuk diri Joano sendiri. Joano nggak mau menyia-nyiakan sesuatu yang sudah Joano dapatkan dengan mudah. Joano nggak pernah stres karena belajar, Ma, Joano menikmatinya. Joano senang mempelajari sesuatu yang belum Joano ketahui. Karena itu, Mama nggak usah khawatir atau kepikiran hal-hal aneh.”
Wanita itu hampir mengeluarkan air mata mendengar perkataan Joano. Namun sebelum itu terjadi, putranya lebih dulu melemparkan lelucon.
"Ma, air matanya kalau netes ke mangkuk jadi asin loh rasanya."
Helen tertawa mendengar candaan itu. Air mata yang sedari tadi dia tahan itu tiba-tiba hilang entah ke mana.
Bohong kalau Joano tidak merasa tidak enak hati pada Helen, sebab motivasi terbesarnya dalam belajar adalah karena dia tidak ingin membuat wanita itu kecewa. Ibu angkatnya itu memang tidak pernah menuntut apa pun darinya, namun sebagai anak yang ingin berterima kasih dengan cara yang dia bisa, Joano belajar sangat keras agar dia layak menerima semua kasih sayang yang Helen berikan.