Raika, telah lama hidup dalam kesendirian sejak kematian ayahnya. Dunia yang berada diambang kehancuran memaksanya untuk bertahan hidup hanya dengan satu-satunya warisan dari sang ayah; sebuah sniper, yang menjadi sahabat setianya dalam berburu.
Cerita ini mengisahkan: Perjalanan Raika bertahan hidup di kehancuran dunia dengan malam yang tak kunjung selesai. Setelah bertemu seseorang ia kembali memiliki ambisi untuk membunuh semua Wanters, yang telah ada selama ratusan tahun.
Menjanjikan: Sebuah novel penuhi aksi, perbedaan status, hukum rimba, ketidak adilan, dan pasca-apocalipse.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahril saepul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Tulang belulang.
Setelah beristirahat dan berbincang-bincang, Yuya menunjukkan sesuatu yang ia dapatkan saat dikejar oleh Wanters. Benda itu berbentuk kotak, dapat memunculkan sebuah peta gua ini dalam bentuk hologram. Namun, alat tersebut tidak berfungsi dengan baik terlihat seringkali berkedip-kedip.
“Aku gak tahu kenapa, seharusnya mereka bisa keluar dengan alat ini ... bukankah ini aneh, ya?” ujar Mio.
“Mungkin mereka terkena asap beracun atau sesuatu yang lain. Jika dipikir lagi, Wanters yang kita jumpai juga bisa membuat kita berpencar,” saut Yuto.
“Lebih baik kita berhati-hati. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya,” saut Yuya.
'Jika kekuatan itu dibutuhkan, aku sudah siap menggunakannya kapan pun. Akan kupastikan semuanya keluar dari sini dengan selamat,' batin.
Kami berjalan mengikuti arah peta dari hologram itu. Sebenarnya, aku sempat menyarankan untuk melewati jalur awal masuk gua, tetapi kami berpikir kembali kemungkinan bahayanya cukup tinggi, mengingat gua itu cukup kecil dan bisa saja runtuh. Jadi, kami memutuskan untuk mencari jalan lain selama ada alat ini.
Suasana di dalam gua benar-benar gelap dan sunyi. Kami hanya dibekali cahaya dari Beasthearts dan beberapa kristal yang memantulkan cahaya remang-remang. Udara terasa dingin tanpa ada hembusan angin dari mana pun. Suara langkah kaki kami terdengar begitu nyaring, bergema dari segala arah.
Yuya menghentikan langkah, di depanku terlihat sebuah retakan pada dinding gua selebar satu meter. Semakin aku menatap ke dalam celah retakan itu, aku hanya bisa bilang itu hanya ada kegelapan.
“Aku yakin hologram ini menuntun kita ke sini, tapi ... bagaimana?” tanya Yuya.
Mio berjalan ke arah Yuya dan melihatnya juga. “Kurasa kita harus mencobanya. Jika ada masalah lagi, kita tinggal putar balik.”
“Apa kita benar-benar akan masuk ke sana?” ucap Yuto.
“Apa kau takut? Boleh saja kok menginap di sini kalau kau mau,” sahut Mio dengan nada meledek.
“Jangan bercanda. Siapa yang takut,” Yuto mendorong kacamatanya. “Biar aku duluan, kalian aman di belakang.”
Aku memasuki celah itu setelah Mio. Pandanganku benar-benar tergelapi karena tidak ada kristal di tempat sempit ini. Kami terus berjalan sampai tubuhku merasakan hembusan angin kecil yang datang dari depan.
Tanpa disadari, kami telah berada di ujung celah yang membawa kami ke sebuah tempat luas dengan ratusan pilar batu yang tampak jelas menopang langit-langit gua. Yang paling buruk adalah tulang belulang manusia berserakan di mana-mana, memenuhi batu putih tempat kami berpijak.
Yuto berbalik badan. “Ha-ha-ha-ha. Kita ada di mana, ya?”
“Bodoh! Hentikan muka konyolmu itu. Kau adalah laki-laki, kaaan!” teriak Mio.
“Tapi, tempat ini ... tapi. Kita balik saja—”
"Yuya, kita tinggalkan saja dia, yuk,” canda Mio.
“Sudah, kita akan baik-baik saja kalau bersama. Yuto, kita semua pasti akan keluar dari tempat ini, namun aku membutuhkan kekuatanmu,” ujar Yuya.
Yuto berhenti bergidik, lalu mendorong kacamatanya. “Baik, kita bisa, ya ... mungkin bisa.”
“Hah ... yakinkah itu?” tanya Mio pada Yuto yang terlihat mulai kembali normal.
“Yuya, kurasa kita bisa menemukan jalan keluarnya. Karena mereka semua banyak yang mati di sini,” aku mengambil peta hologram yang sama seperti milik Yuya dan menunjukkannya.
“Ya, sepertinya ada sesuatu yang menghambat mereka. Kita juga harus lebih waspada. Ayo, kita lanjutkan.”
Kami berjalan di antara tulang belulang itu. Tidak jarang, kakiku tanpa sengaja menginjak salah satunya. Di atas, aku hanya melihat kumpulan asap yang berterbangan ke sana-sini, menghiasi langit-langit gua.
Mio mendadak berhenti dan mendekati salah satu mayat yang bersandar pada pilar batu tersebut. Aku melihatnya memegangi sebuah alat komunikasi yang sudah tertutupi debu, berbentuk bola.
“Kurasa kita bisa mendapatkan informasi dari alat ini. Yuto!” Mio melempar alat itu kepada Yuto. “Tolong perbaiki, ya. Sepertinya masih bisa, kan?”
“Bodoh! Bagaimana jika ini terjatuh, dasar otak udang.”
“Hee ....”
“Mio, apakah itu alat komunikasi?” tanya Yuya.
“Hu, iya. Biasanya ada sistem perekam suara yang mungkin saja digunakan oleh para Eldritch untuk memantau mereka.”
“Begitu, ya.”
Tidak jauh dari tempatku berdiri, samar-samar tampak suatu bayangan yang seperti tumpukan batu. “Yuya, apa kamu merasakan sesuatu yang aneh?” tanyaku.
“Memang sedari tadi aku merasa ada sesuatu yang janggal. Mungkin itu ada hubungannya dengan tempat ini,” jawab Yuya.
“Bagaimana kalau aku bilang,” aku menunjuk gundukan bayangan itu, “di sana terdapat ratusan mayat manusia yang telah menjadi tulang-belulang.”
“Mayat manusia?”
“Ya. Aku tidak tahu kenapa, sejak kekuatan ini aktif, penglihatanku semakin jelas meskipun di tempat yang gelap.”
“Begitu ya. Kita akan memeriksanya ke sana. Mungkin saja kita menemukan informasi lain untuk keluar dari sini,” ucap Yuya.
“Apakah si kacamata akan lari duluan?” ledek Mio sambil tertawa kecil.
“Berisik!” tegas Yuto, sambil melihat-lihat alat yang ia pegang. Mendorong kacamatanya.
Kami berjalan ke arah gundukan tersebut. Semakin mendekat, semakin jelas tulang belulang itu terlihat. Aku tidak tahu berapa banyak jumlah mereka, tetapi yang jelas mayat-mayat ini saling tumpang tindih satu sama lain.
Kami melangkahi mereka satu per satu. Gundukan-gundukan itu tampak mau roboh di samping kami. Di sekitar, aku hanya melihat Beasthearts mereka yang berserakan di mana-mana.
Langkah kami terhenti saat sebuah kilauan cahaya menyala terang di tengah-tengah gundukan mayat yang ternyata melingkar. Anehnya, saat aku perhatikan, hampir tidak ada satu pun mayat yang berada di sekitar cahaya itu.
“Aku tidak tahu itu apa, tapi dari segi bentuknya, aku yakin hampir mirip seperti Arcis,” ujarku.
“Arcis?”
“Baru kali ini aku melihat Arcis yang bercahaya. Kau tidak salah lihat, kan Raika?” kata Mio.
“Ya, dari garis-garisnya, sangat mirip dengan Arcis.”
“Jika kalian tidak ada yang berani, biar aku sendiri yang mengambilnya. Mungkin saja di sana cukup berbahaya,” ujar Yuya.
“Tidak. Aku akan ikut,” tegas Mio.
Aku mengangguk pelan.
“Aku rasa diriku yang malang ini tidak memiliki pilihan lain selain ikut.” ucap Yuto.
Kami berjalan menuju tengah-tengah dari lingkaran ini. Batu yang kuinjak entah kenapa terasa begitu rapuh. Sesampainya di tengah, Yuya mengambil Arcis tersebut dan tidak terjadi apa-apa. Aku yakin yang dipegang Yuya adalah Arcis tingkat 5 karena terlihat jelas dari garis yang lebih kuat dan detakannya cukup teratur.
Mendadak, cahaya dari Arcis menjadi lebih redup tidak lama setelah dipegang Yuya.
“Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya Mio sambil melihat ke sekeliling.
“Tidak ada apa-apa. Ngomong-ngomong, Yuya, bukankah ini Arcis tingkat lima? Baru kali ini aku melihatnya dari dekat,” ucap Yuto sambil memandangi Arcis itu.
“Ya, untuk sekarang kita simpan terlebih dalu. Tapi, aku merasa ada yang aneh, mungkinkah mereka semua mati karena Wanters tingkat 5?”
“Aku rasa begitu. Kemungkinan alasan mengapa tulang-tulang itu saling bertumpukan adalah karena Wanters mengalami ledakan atau sejenisnya. Batu yang kita pijak juga terasa rapuh, jadi mungkin saja begitu,” jelasku.
Alat komunikasi yang Yuto perbaiki mendadak hidup.
KRESEK-[Tolong--tolong--BRURURUGK! kalian semua jangan lari. Tolong kami, mereka ada dua---Wanters tingkat 5~]
Alat komunikasi itu kembali mati. Suara mereka terdengar putus-putus, jadi kami hanya bisa mendengar sebagian saja.
End Bab 19
gabung yu di Gc Bcm..
caranya Follow akun ak dl ya
untuk bisa aku undang
terima kasih.