"Mulai sekarang kamu harus putus sekolah."
"Apa, Yah?"Rachel langsung berdiri dari tempat duduk nya setelah mendapat keputusan sepihak dari ayahnya.
"Keluarga kita tiba-tiba terjerat hutang Dan ayah sama sekali nggak bisa membayarnya. Jadi ayah dan ibu kamu sudah sepakat kalau kita berdua akan menjodohkan kamu dengan anak Presdir keluarga Reynard agar kami mendapatkan uang. Ayah dengar kalau keluarga Reynard akan bayar wanita yang mau menikahi anaknya karena anaknya cacat"
Rachel menggertakkan giginya marah.
"Ayah gak bisa main sepihak gitu dong! Masalahnya Rachel tinggal 2 bulan lagi bakalan lulus sekolah! 2 bulan lagi lho, yah! 2 bulan! Terus tega-teganya ayah mau jadiin Rachel istri orang gitu? Mana yang cacat lagi!" Protes Rachel.
"Dengerin ayah dulu. Ini semua demi keluarga kita. Kamu mau kalau rumah kita tiba-tiba disita?" Sahut Ridwan, Ayah Rachel.
"Tapi kenapa harus Rachel, pa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
"Rachel Amara, kamu yakin berhenti sekolah demi pernikahan ini?" tanya Reagan tidak terduga.
"Iya, mas."
Rachel menatap langit-langit kamar, merasa canggung dengan pertanyaan itu.
Keputusan untuk berhenti sekolah demi pernikahan kontrak ini memang berat, tetapi dia merasa tidak punya pilihan lain demi keluarganya.
"Kenapa?" tanya Reagan, suaranya tetap datar, tetapi ada sedikit ketertarikan dalam nadanya.
Rachel menghela napas panjang sebelum menjawab. "Karena keluarga aku butuh uang, aku nggak punya pilihan lain, mas. pernikahan ini memberikan aku kesempatan buat bantu mereka."
Reagan tersenyum aneh. "Demi adik kamu?" tebaknya.
Rachel tercengang. "Iya. Dia memang lebih pantas lanjutin sekolahnya dari aku."
Reagan terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Rachel. "Apa ini benar-benar keputusan terbaik buat kamu?"
Rachel terdiam, lalu menggeleng pelan. "Aku nggak tahu, mas. Mungkin bukan, tapi saat itu aku rasa itu satu-satunya cara."
Reagan mengalihkan pandangannya dari dokumen-dokumen di hadapannya, menatap Rachel dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kamu masih punya impian, Rachel. Jangan sampai pernikahan ini menghentikan kamu. Kamu masih bisa melanjutkan sekolah setelah ini selesai."
Rachel menatap Reagan, terkejut dengan dukungan yang tiba-tiba itu. "Maksud mas?"
"Kita menikah memang karena kontrak, tapi itu tidak berarti kamu harus mengorbankan semua impian kamu. Setelah pernikahan ini selesai, lanjutkan pendidikan. Kejar apa yang kamu inginkan," kata Reagan dengan tegas.
Rachel merasa terharu, tetapi juga bingung. "Kenapa mas bilang begitu?"
Reagan menatap dengan serius. "Karena saya tidak ingin merasa bersalah jika kamu menyesali keputusan ini selamanya. Setidaknya setelah ini, kamu bisa melanjutkan hidupmu dengan cara yang kamu inginkan."
Rachel terdiam, merasakan kehangatan dalam kata-kata Reagan yang dingin.
Meskipun pernikahan mereka hanyalah sebuah perjanjian, ada sisi manusiawi dalam diri Reagan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
"Terimakasih, mas," ucap Rachel pelan.
Reagan mengangguk, kembali fokus pada dokumen-dokumennya. "Istirahatlah. Besok kita masih punya banyak hal yang harus dilakukan."
Rachel menutup mata, merasa sedikit lebih lega. Meskipun hubungan mereka penuh dengan kepura-puraan dan kontrak, malam ini, dia merasakan ada harapan kecil untuk masa depan yang lebih baik.
Mungkin, hanya mungkin, dia bisa menemukan jalannya kembali setelah semua ini berakhir.
☘️☘️☘️
Keesokan paginya, Rachel dan Reagan terbangun oleh suara bel pintu yang berbunyi terus-menerus.
Rachel cepat-cepat bangun dan menuju pintu, sementara Reagan mencoba bersikap tenang dan bangun dari tempat tidurnya.
"Mas, siapa pagi-pagi begini?" tanya Rachel sambil menguap.
"Orang tua saya," jawab Reagan dengan nada datar. "Kita harus kembali berakting."
Rachel mengangguk.
Segera memasang senyum diwajahnya sebelum membuka pintu. Disana berdiri Eliza dan William, dengan wajah ceria.
"Selamat pagi!" sapa Eliza dengan semangat. "Kami datang untuk sarapan bersama kalian!"
"Selamat pagi, ma, pa," balas Rachel dengan ceria yang dibuat-buat. "Ayo masuk, kami lagi siap-siap. Rachel sama mas Reagan baru bangun."
"Oh baru bangun?" Eliza berbicara dengan nada kaget. "Biasa ya pengantin baru."
Rachel hanya tersenyum mesem-mesem.
"Oh ya Reagan nya mana?" tanya William.
"Masih ada di dalam, pa," jawab Rachel.
Kemudian Rachel membuka pintu kamarnya. Menunjukkan Reagan yang kembali terduduk di kursi rodanya.
Saat itu kedua melihat ada air cucian kaki di bawahnya.
"Kamu lagi apa, Rachel?" tanya Eliza.
"Ini, ma, mulai sekarang aku suka cuci kaki suami aku pagi-pagi."
Eliza tersenyum melihatnya. "Wah, Rachel, kamu memang istri yang sangat berbakti," pujinya dengan tulus.
Reagan hanya mengangguk, menatap Rachel dengan mata yang tampak lebih lembut dari biasanya.
Dia tidak mengatakan apa-apa, membiarkan Rachel melakukan tugasnya dengan penuh perhatian.
Ketika Rachel selesai mencuci kaki Reagan,dia mengeringkannya dengan handuk dengan penuh kasih sayang. Reagan tiba-tiba berkata, "terimakasih, chel. Kamu selalu tahu bagaimana buat aku merasa di hargai."
Rachel tersentak mendengar kata-kata Reagan. Selama ini, dia jarang mendengar Reagan mengucapkan terimakasih dengan begitu tulus.
Hatinya merasa hangat dan sedikit baper, tidak bisa menahan senyuman kecil yang muncul di bibirnya.
"Sama-sama, mas," jawab Rachel dengan suara lirih. "Aku senang bisa merawat kamu."
Eliza dan William menyaksikan momen itu dengan senyum lebar di wajah mereka.
"Kalian benar-benar pasangan yang luar biasa," kata john dengan bangga.
Rachel berdiri Menatap Reagan sejenak. "Kita harus melanjutkan sarapan bersama orang tua kamu, mas," katanya, mencoba mengalihkan perasaannya yang campur aduk.
Reagan mengangguk, dan dengan bantuan Rachel, dia kembali ke meja makan. Meskipun mereka berdua tahu bahwa banyak hal diantaranya mereka hanyalah kepura-pura