“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sembilan Belas
Hubungan Heru dengan papanya memang sedikit renggang. Padahal papanya termasuk pengusaha sukses juga, namun papanya malah melepaskan Heru untuk bekerja di tempat lain, tidak memintanya untuk bersama mengurus perusahaan besar milik papanya. Padahal Heru anak semata wayang, sudah pasti Heru adalah pewaris sekaligus penerus perusahaan milik papanya. Heru saja sampai tidak mengerti jalan pikiran papanya yang seperti itu, dari Heru kuliah pun papanya membebaskannya mau bagaimana, ternyata setelah lulus dengan nilai memuaskan juga, Heru masih dipandang sebelah mata oleh papanya.
Selesai dengan pekerjaannya, Heru berkemas dan ingin segera pulang. Ia ingin menemui Arini, tapi rasanya tidak pantas dia menemuinya setelah apa yang semalam ia perbuat. Heru mengambil ponselnya yang sejak tadi siang ia sengaja menggunakan mode senyap, supaya tidak terganggu pekerjaannya. Dia melihat ratusan panggilan tak terjawab dan pesan dari Nuri. Ia memang melupakannya, padahal sebelum dia mengaktifkan mode senyap, dia sudah memberitahukan Nuri, kalau dia akan sibuk hari ini, bahkan bisa sampai malam dia bekerja.
Nuri menelefon Heru, dia sudah marah besar pada Heru, padahal Heru sudah meminta mamanya menemani Nuri, tapi tetap saja Nuri berpikiran tidak baik pada Heru, menyangka dia sedang bersama Arini.
“Kamu ke mana saja sih, Mas?!” ucap Nuri kesal.
“Aku di kantor, lihat aku masih di kantor, masih ada karyawan yang lembur juga tuh? Aku sibuk sekali, Sayang?” Heru mengubah mode panggilannya menjadi panggilan Video.
“Kamu ini tumben sekali begini, Her? Kamu gak biasanya begini? Kamu menemui Arini, kan?”
“Astaga, Nuri .... pikiranmu kok gitu sih? Kalau aku nemuin dia bagaimana pekerjaanku? Kamu tahu, aku ini sedang dicalonkan menjadi direktur, Sayang? Rapat tadi pagi bahas ini, Pak Raka begitu puas dengan kinerjaku, kamu harusnya senang dong? Jangan bikin aku tambah pusing!” ucap Heru dengan meninggikan suaranya.
“Huh ... terserah kamu!”
“Mama masih di situ, kan?”
“Masih, lagi keluar, katanya cari makan untuk kamu juga nanti.”
“Ya sudah aku segera pulang, kamu gak usah banyak pikiran, kamu itu tahu aku ini bagaimana kalau di kantor, kita itu satu kantor bareng lho? Kamu sudah tahu kebiaasaan aku, jadi apa sih yang kamu khawatirkan? Kita saja sering lembur bareng?” ucap Heru.
“Iya deh percaya!”
Heru menyudahi panggilannya. Dia memijit keningnya, Nuri begitu posesif sekali, padahal Nuri tahu kalau dirinya sudah bekerja tidak bisa diganggu oleh apa pun. Kali ini Heru tidak mau mengecewakan kepercayaan yang sudah Raka berikan padannya. Raka juga tidak bisa memungkiri, Heru memang karyawan yang rajin dan bertanggung jawab. Itu sebabnya Raka mencalonkan Heru menjadi direktur. Padahal kelakukan Heru pada istrinya begitu, akan tetapi dia sangat bertanggung jawab pada pekerjaannya. Itu yang kadang membuat Raka bingung, kenapa seorang Heru bisa sekejam itu pada Arini.
Heru langsung ke rumah sakit untuk menemui Nuri, dia ingin membawa kabar baik juga, karena dia akan dicalonkan menjadi direktur. Heru yakin mamanya pasti akan bangga mendengarnya, entah dengan papanya, toh selama ini papanya jarang pulang, karena sedang ada urusan bisnis katanya.
“Sudah di sini, Her?” tanya Laras yang baru keluar dari kamar mandi.
“Iya, Ma. Baru saja sampai. Ma, Heru punya kabar baik, Ma,” ucap Heru.
“Apa nih? Apa Arini sudah setuju kamu menikahi Nuri secepatnya?” tanya Laras.
“Kalau itu, jelas dia sudah mengizinkan, apalagi dia minta cerai dariku. Ya meski aku gak mau lepasin dia, tapi kalau dianya yang mau? Mau bagaimana? Ini lebih penting dari itu, Ma. Pak Raka memberikan aku kesempatan untuk dicalonkan menjadi direktur, aku yakin papa pun akan bangga mendengar ini,” ucap Heru.
“Iya, itu pasti,” ucap Laras, namun ekspresi wajahnya biasa saja, karena dia tahu tabiat suaminya bagaimana.
“Kok ekspresi mama begitu?”
“Gitu gimana, Her?” tanya Laras.
“Ya gitu, kayak gak senang?”
“Mama senang, mama bangga sekali, papamu juga pasti akan bangga juga. Sudah yuk, kita makan, mama sudah beli makanan tadi,” ucap Laras mengalihkan pembicaraan.
Laras tahu suaminya sangat dingin terhadap Heru. Sejak dulu Heru memang kurang dari perhatian papanya. Itu kenapa Laras yang selalu memberikan perhatian penuh pada Heru, selalu mendukung apa yang Heru lakukan.
^^^
Arini berusaha menjelaskan pada ayahnya apa yang sedang dia alami sekarang. Sejak kejadian malam itu, di mana Heru memukulinya hingga babak belur, Heru tidak menghubunginya lagi. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah Arini, dan terhitung dari malam itu, sudah dua minggu Heru tidak menemui Arini. Ini membuat Arini semakin yakin kalau perceraiannya akan berjalan dengan lancar. Namun, Arini sedikit tidak percaya saja, katanya Heru mencintainya dan tidak ingin pisah darinya, tapi setelah malam itu, Heru benar-benar meninggalkannya, sama sekali tidak melihat keadaannya lagi, bahkan dia pun jarang ke kantornya. Padahal satu bulan lagi, ada jadwal seminar yang diharuskan Heru turut hadir di sana. Namun, itu tidak masalah bagi Arini, karena sebentar lagi ia akan menyelesaikan semua masalahnya dengan Heru, dan tidak akan memikirkan kariernya.
Arini sudah berada di kediaman ayahnya. Rumah yang sederhana dan sangat asri, membuat Arini betah lama-lama bila di sana. Farid mengajak putrinya untuk duduk di gazebo, sambil melihat perkebunan miliknya.
“Kamu ada masalah dengan Heru? Kok ke sini sendirian?” tanya Farid.
“Yah, aku mau cerita sama ayah, tapi ayah janji ayah harus sehat, ayah harus dengarkan aku baik-baik, kalau aku ini sangat bahagia, dengan keadaan aku sekarang,” ucap Arini.
“Kamu kenapa? Ada masalah dengan Heru?”
“Yah, Heru selingkuh, dia sampai menghamili selingkuhannya,” ucap Arini.
“Di—dia ....”
“Yah, aku mohon ayah yang tenang, ya? Maaf aku baru cerita, karena aku menunggu waktu yang tepat, Yah.”
“Hah ... ayah sudah menduga pasti begitu, dia akan melakuka hal seperti itu padamu, itu kenapa dulu ayah melarang kamu dengan dia, tapi mau bagaimana lagi, kamu ini sudah terlanjur cinta?”
“Yah ... ayah baik-baik saja?”
“Ayah akan baik-baik saja kalau kamu bahagia, Arin,” jawabnya.
“Yah, aku sudah mengajukan gugatan cerai, sejak dua minggu yang lalu. Awalnya Heru tidak terima aku mengajuka gugatan cerai, tapi setelah kejadian menyakitkan itu, Heru sama sekali tidak pulang, sampai sekarang, Yah,” ucap Arini.
“Menyakitkan? Apa Heru kasar?”
“Heru memukul aku, Yah. Aku sudah melaporkan semua perbuatan Heru, aku sudah melakukan visum, itu semua untuk bukti saat di persidangan, bukti lainnya soal perselingkuhan dia juga ada, bahkan banyak sekali.”
“Kamu sudah siap, jika memang kamu harus melepaskan Heru?”
“Yah, aku sebenarnya ingin memberikan kesempatan kedua saat itu, karena Heru bilang setelah anak itu lahir, Heru akan meninggalkan perempuan itu. Tapi aku rasa, itu semua tidak mungkin, karena dia terlalu berpihak pada perempuan itu, apalagi dia kan ingin sekali punya anak, Yah? Dan, aku sudah kadung dituduh mandul oleh Heru, padahal sebetulnya dia yang bermasalah, Yah.”
“Ayah tidak menyangka Heru akan begitu kejam memperlakukan kamu. Jika keputusan kamu berpisah dengan Heru adalah keputusan yang tepat, ayah mendukung kamu, ayah tidak ingin kamu menderita, kamu berhak bahagia, Nak.”
“Terima kasih, Yah. Mulai lusa aku tinggal sama ayah, ya?”
“Lalu pekerjaanmu?”
“Itu urusan nanti, Yah. Aku sudah tidak ingin tinggal di rumah pemberian Heru itu.”
“Tinggallah di sini, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu.”
Arini memeluk ayahnya, beruntung sekali ayahnya baik-baik saja saat dirinya menceritakan semua masalahnya.
“Ayah sudah tahu semua, ayah tidak diam di sini saja sebetulnya, Nak. Ayah selalu mengawasimu, sama seperti Raka yang juga selalu melindungimu,” batin Farid.
Farid tidak mau diam saja, sejak Arini menikah dengan Heru, dan memutuskan untuk tinggal dengan Heru, Farid mengutus orang untuk selalu memantau keadaan putri semata wayangnya. Ia tidak ingin putrinya tersakiti oleh siapa pun, ia harus tahu keadaan putrinya setiap waktu. Meski Arini tak berkabar pada Ayahnya, Ayahnya sudah tahu tentang keadaan Arini, dan masalah yang menimpa Arini saat ini.
“Sebentar lagi kamu akan hancur, Heru! Hancur karena perbuatanmu sendiri!” geram Farid dalam hati.