Diceritakan seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya bernama Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil bernama Gobed. Keluarga itu sudah bertahun-tahun hidup miskin dan menderita, mereka ingin hidup bahagia dengan memiliki uang banyak dan menjadi orang kaya serta seolah-olah dunia ini ingin mereka miliki, dengan apapun caranya yang penting bisa mereka wujudkan.
Yuk simak ceritanya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gengsi Bu Lurah Selangit
Setelah menyantap rendang yang lezat di warung Pak Jengkok, Bu Lurah dan Pak Lurah pulang ke rumah dengan perasaan puas dan penuh komentar positif tentang masakan Bu Slumbat. Namun, di dalam hati, Bu Lurah merasakan sebuah tantangan—yang entah bagaimana mendorongnya untuk membuktikan bahwa masakannya juga tak kalah enak.
Malam itu, saat langit gelap dan lampu-lampu rumah mulai menyala, Bu Lurah mulai beraksi di dapur. Dengan semangat berapi-api, dia membuka buku resep rendang yang sudah lama tak tersentuh dan mulai mempersiapkan bahan-bahan. Pak Lurah yang baru saja duduk santai di ruang tamu terkejut melihat istrinya yang biasanya malas berlama-lama di dapur kini dengan penuh tenaga.
“Aduh, Bu. Lagi ngapain sih?” tanya Pak Lurah, sambil mengusap matanya yang sudah mengantuk.
“Pak, aku mau bikin rendang! Aku nggak mau kalah dengan Bu Slumbat. Kita harus buktikan bahwa rendang ala Bu Lurah juga top!” jawab Bu Lurah dengan penuh semangat.
Pak Lurah menghela napas dan berusaha mendukung. “Yaudah deh, Bu. Tapi jangan terlalu malam, ya. Besok pagi harus pergi kerja.”
Bu Lurah mulai dengan penuh dedikasi, mencuci daging dengan teliti, memotong-motong bumbu, dan menumis semuanya dengan kecepatan yang mengesankan. Suara tumbukan bumbu di ulekan seolah menyanyikan lagu perjuangan kuliner Bu Lurah. Sesekali, dia berhenti sejenak untuk mencicipi kuah rendangnya dan mengeluh karena rasanya kurang sesuai harapan.
“Kenapa ya, rasanya kok beda dari rendang Bu Slumbat?” gumam Bu Lurah sambil mengaduk rendangnya yang masih belum memuaskan.
Pak Lurah yang penasaran akhirnya ikut membantu. “Coba saya lihat. Mungkin bumbunya kurang?”
Saat Pak Lurah mencicipi rendang, ia berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya yang menunjukkan betapa masakan itu kurang enak. “Hmm, Bu, ini sih... lumayan, tapi ada yang kurang. Mungkin harus lebih lama dimasak supaya bumbunya meresap.”
Bu Lurah tak patah semangat. Dia terus mengaduk dan memasak hingga larut malam. Setelah beberapa jam, rendang akhirnya siap disajikan. Dengan penuh harapan, Bu Lurah menyiapkan hidangan dan menyajikannya dengan bangga kepada Pak Lurah.
“Nah, ini dia rendang Bu Lurah yang istimewa! Coba deh, Pak, cicipi!”
Pak Lurah, dengan raut wajah penuh pengertian, mencicipi rendang tersebut. Rasanya memang jauh berbeda dengan rendang Bu Slumbat. Kuahnya agak kemanisan dan dagingnya masih agak keras. Namun, Pak Lurah berusaha memberikan pujian. “Wah, Bu, rendangnya... unik banget!”
Sementara itu, di warung Pak Jengkok, Bu Slumbat mendengar kabar dari beberapa tetangga tentang kompetisi rendang yang sedang berlangsung. Dengan penuh rasa ingin tahu, Bu Slumbat menyuruh Jengkok untuk mengecek dapur Bu Lurah malam itu.
“Eh, Jengkok, aku penasaran juga. Ayo kita intip, gimana sih hasil rendang Bu Lurah?” kata Bu Slumbat dengan senyum penuh arti.
Jengkok yang sudah tahu apa yang akan terjadi mengangguk. Mereka berjalan menuju rumah Pak Lurah, berusaha tidak menimbulkan kecurigaan. Sesampainya di depan rumah, mereka mendengar suara Bu Lurah yang penuh semangat dan Pak Lurah yang mencoba menahan tawa.
Bu Slumbat dan Jengkok mengintip dari jendela dan melihat Bu Lurah dengan wajah puas, sementara Pak Lurah terlihat agak kesulitan menelan rendang. Bu Slumbat dan Jengkok tertahan tawa melihat pemandangan itu.
“Wah, rendang Bu Lurah ini kayaknya butuh resep rahasia yang belum ditemukan,” bisik Jengkok sambil tersenyum.
Di dalam rumah, Pak Lurah mencoba menghibur Bu Lurah. “Bu, rendangnya emang enak, tapi mungkin kita butuh lebih banyak latihan lagi. Lagipula, Bu Slumbat kan sudah berpengalaman bertahun-tahun.”
Bu Lurah, yang merasa agak tertekan, akhirnya menyerah. “Ya sudah, Pak. Mungkin memang butuh waktu dan pengalaman. Besok kita coba lagi.”
Pagi berikutnya, Pak Lurah berangkat kerja dengan perut kenyang—karena dia sudah makan banyak rendang malam itu. Bu Lurah, meski agak kecewa, memutuskan untuk tidak menyerah. Dia bertekad untuk belajar dan terus memperbaiki masakannya.
Sementara itu, di warung Pak Jengkok, suasana pagi hari sangat ceria. Bu Slumbat dan Jengkok tertawa ketika mereka mendengar cerita tentang rendang Bu Lurah. “Wah, ternyata mengalahkan rendang Bu Slumbat itu memang susah ya,” kata Bu Slumbat sambil tersenyum.
Jengkok ikut menambahkan, “Ya, tapi kita harus hargai usaha Bu Lurah. Lagipula, semua orang butuh waktu untuk belajar.”
Dan begitulah, meskipun rendang Bu Lurah belum bisa menyaingi rendang Bu Slumbat, usaha dan semangatnya patut diacungi jempol. Keluarga Pak Lurah belajar bahwa setiap usaha ada hasilnya, dan kadang, kelezatan juga butuh waktu dan latihan. Di sisi lain, keluarga Pak Jengkok semakin menikmati kejadian lucu dan menghibur ini sebagai bagian dari perjalanan kuliner mereka yang penuh warna.
Dengan semangat juang yang tak pernah padam, Bu Lurah memutuskan untuk mencoba lagi membuat rendang, meskipun hasilnya masih jauh dari rendang Bu Slumbat yang legendaris. Dia menghabiskan waktu berjam-jam di dapur, mencoba berbagai trik dan teknik baru dari buku resep dan video kuliner yang dia temukan online. Namun, walaupun dia berusaha keras, rendangnya masih kalah jauh dari cita rasa rendang Bu Slumbat yang sudah teruji.
Suatu malam, setelah menghabiskan waktu berjam-jam untuk memasak rendang, Bu Lurah duduk di meja makan dengan ekspresi letih dan sedikit kecewa. Pak Lurah, yang sudah siap dengan sendok dan piring, mencicipi rendang dengan hati-hati. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan reaksi campur aduk antara terkesan dan bingung.
“Hmm, Bu, rendangnya memang... istimewa,” kata Pak Lurah, berusaha tidak mengecewakan istrinya.
Bu Lurah, yang sangat menyadari ketidaksempurnaan rendangnya, akhirnya tidak bisa lagi menahan rasa frustasinya. “Pak, aku sudah mencoba semua resep dan trik, tapi tetap saja rasanya tidak sebagus rendangnya Bu Slumbat. Aku benar-benar tidak tahu apa yang kurang.”
Pak Lurah menatap istrinya dengan penuh pengertian. “Ya, Bu, mungkin memang ada sesuatu yang spesial dalam masakan Bu Slumbat. Mungkin butuh lebih banyak latihan atau mungkin ada rahasia tersendiri.”
Bu Lurah menunduk dengan pasrah. “Iya, Pak. Aku akui kalau rendang Bu Slumbat memang luar biasa. Kadang memang harus menerima kenyataan kalau ada yang lebih hebat.”
Keesokan harinya, ketika Bu Lurah dan Pak Lurah berjalan ke warung Pak Jengkok untuk mengembalikan piring dan memuji masakan Bu Slumbat, suasana di warung semakin ramai dari hari ke hari. Keluarga Pak Jengkok dan Slumbat tak henti-hentinya tersenyum melihat betapa larisnya warung mereka. Makanan yang disajikan selalu habis dalam waktu singkat, dan pelanggan yang datang terus berdatangan.
Bu Lurah, yang sudah berusaha keras untuk menyaingi kelezatan rendang Bu Slumbat, akhirnya mengunjungi warung Pak Jengkok dan Slumbat untuk berbagi pujian dan meminta saran. Begitu dia masuk ke warung, dia disambut dengan ramah oleh Bu Slumbat dan Jengkok.
“Selamat datang, Bu Lurah! Apa kabar?” tanya Bu Slumbat dengan senyum tulus.
Bu Lurah menyunggingkan senyum canggung. “Halo, Bu Slumbat. Aku datang untuk mengakui bahwa rendangmu memang luar biasa. Aku sudah coba membuat rendang lagi, tapi masih kalah jauh dibandingkan milikmu. Aku ingin belajar dari kamu.”
Bu Slumbat, yang merasa terhormat, mengangguk dengan penuh rasa hormat. “Tentu saja, Bu Lurah. Aku senang sekali bisa berbagi resep dan tips. Tidak ada salahnya belajar dari satu sama lain.”
Sementara itu, di warung, pelanggan-pelanggan yang datang merasa heran melihat kedatangan Bu Lurah. Ada yang bisik-bisik sambil menunggu makanan, “Eh, Bu Lurah ke sini, ya? Apa dia mau beli rendang juga?”
Pak Lurah, yang juga ada di warung, mengangguk sambil tersenyum. “Iya, kami memang sangat menghargai keahlian Bu Slumbat dalam memasak. Kadang memang ada hal-hal yang perlu kita akui dan belajar dari orang lain.”
Setelah percakapan yang penuh kehangatan dan saling menghargai, Bu Lurah meninggalkan warung dengan harapan baru. Dia merasa lega dan bahagia karena sudah bisa menerima kenyataan dan siap untuk belajar lebih banyak.
Sementara itu, warung Pak Jengkok semakin sukses, tidak hanya karena kelezatan masakan Bu Slumbat, tetapi juga karena keramahan dan kehangatan yang mereka tawarkan kepada pelanggan. Suasana di warung semakin ceria, dan setiap hari terasa seperti perayaan kecil dengan gelak tawa dan kebahagiaan.
Suatu hari, Pak Jengkok memutuskan untuk memasukkan item baru ke menu mereka—kue khas yang dia buat sendiri. Setelah mengundang beberapa tetangga dan pelanggan setia, mereka merayakan peluncuran menu baru dengan kue yang luar biasa enak.
Bu Lurah dan Pak Lurah juga diundang untuk merayakan peluncuran ini. Bu Lurah yang awalnya merasa agak canggung, akhirnya ikut merayakan dengan penuh semangat. Sambil menikmati kue yang lezat, Bu Lurah dan Pak Lurah tidak bisa menahan tawa ketika melihat Pak Jengkok yang mencoba-coba memasarkan kue dengan aksen promosi yang lucu dan khas.
“Jangan lewatkan, kue khas warung Pak Jengkok! Rasanya lebih enak dari kue buatan siapa pun di desa ini!” teriak Pak Jengkok dengan penuh semangat.
Semua orang tertawa, dan suasana menjadi semakin hangat dan meriah. Keluarga Pak Jengkok dan Bu Slumbat merasa bangga dengan pencapaian mereka, sementara Bu Lurah merasa bersyukur atas kesempatan untuk belajar dan saling berbagi.
Kehidupan mereka menjadi lebih berwarna dengan persahabatan dan kolaborasi. Dan meski tidak ada yang bisa menyaingi rendang Bu Slumbat, mereka semua setuju bahwa berbagi pengetahuan dan menghargai keahlian masing-masing adalah hal yang sangat berharga.