"Aku akan membantumu!"
"Aku akan mengeluarkan mu dari kehidupanmu yang menyedihkan itu! Aku akan membantumu melunasi semua hutang-hutang mu!"
"Pegang tanganku, ok?"
Pada saat itu aku masih tidak tahu, jika pertemuan ku dengan pria yang mengulurkan tangan padaku akan membuatku menyesalinya berkali-kali untuk kedepannya nanti.
Aku seharusnya tidak terpengaruh, seharusnya aku tidak mengandalkan orang lain untuk melunasi hutangku.
Dia membuat ku bergantung padanya, dan secara bersamaan juga membuat ku merasa berhutang untuk setiap bantuan yang dia berikan. Sehingga aku tidak bisa pergi dari genggamannya.
Aku tahu, di dunia ini tidak ada yang gratis. Ketika kamu menerima, maka kamu harus memberi. Tapi bodohnya, aku malah memberikan hatiku. Meskipun aku tahu dia hanya bermaksud untuk menyiksa dan membalas dendam. Seharusnya aku membencinya. Bukan sebaliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon little turtle 13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Pegang Tanganku..
'Berapa lama aku harus hidup seperti ini?' batinnya.
'Tidak ada satu orangpun yang bisa menentukan takdir nya sendiri..'
'Tapi kenapa aku harus memiliki nasib hidup seperti ini?' dia terus bergumam dalam hatinya.
Entah apa yang orang-orang pikirkan tentangnya. Baju yang berantakan, langkah yang terlimbung seperti orang mabuk. Dia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana penampakan wajahnya saat ini.
Sesak. Perasaan sesak itu mencekiknya. Dia pikir itu akan hilang secara perlahan. Namun tidak, perasaan sesak itu tidak hilang sama sekali.
Mengingat apa yang telah terjadi selama beberapa bulan terakhir ini membuatnya menderita.
Tubuhnya terasa kotor memikirkan apa yang tadi pagi terjadi. Apa yang Alex ucapkan juga masih terngiang di kepalanya. Entah apa yang sudah Haidar katakan pada semua orang tentang dirinya.
"Semua itu pasti tidak benar, itu hanya dalam pikiranku saja.."
"Sesak, aku butuh udara.." gumam Luna.
Bahkan angin sepoi-sepoi yang berhembus siang itupun tidak dapat membantu.
Dengan tatapan kosongnya dia menatap kendaraan yang berlalu lalang di sampingnya.
"Rasanya aku ingin sekali melompat ke jalanan. Ditabrak oleh mobil yang melaju kencang dan akhirnya mati," gumamnya.
3 tahun dia berurusan dengan penagih hutang. Dipukuli, diteriaki, dicaci-maki. Tapi tidak sekalipun dia berpikiran untuk mati. Karena dalam hati dan pikirannya dia terus membayangkan pertemuan dengan Ayahnya.
"Tapi bagaimana jika Ayah mencari ku?"
"Ayah berjanji akan segera kembali, tapi apa itu semua hanya ucapan omong kosong belaka?"
Dia sudah semakin jauh, tanpa sadar langkahnya telah membawanya ke jalan raya besar. Namun dia tak peduli akan hal itu. Dia tidak ingin berhenti. Dia hanya mengikuti kemana langkah kakinya membawa dirinya pergi.
"Dimana ini?" gumamnya.
Luna menatap jembatan yang dia lalui saat ini. Perairan di bawah sana menyita perhatiannya.
Dia menghentikan langkahnya, lalu berpegang pada pembatas jembatan. Menatap pantulan sinar matahari di atas air, dan memejamkan matanya merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya.
"Aku ingin lebih.." gumamnya.
Luna melepas sepatunya. Kemudian meraih tiang di sampingnya untuk berpegang, lalu memanjat naik ke atas jembatan.
Bajunya yang basah itu terlihat langsung mengering seketika. Namun rasa lengket ditubuhnya terasa sangat menjijikkan.
"Mungkin rasa menjijikkan nya akan hilang jika terkena air.." gumamnya.
Luna kembali memejamkan matanya. Merasakan kebebasan yang seolah berada digenggaman nya. Semua beban dalam pikirannya seolah terbang terbawa angin.
"Semuanya masih terasa menyesakkan.."
Luna mengayunkan sebelah kakinya ke depan. Dibawah sana beberapa orang berteriak untuk menyuruhnya turun. Mungkin sudah sejak beberapa menit yang lalu.
Namun Luna berada dalam dunianya sendiri. Suara-suara yang sedari tadi bersahutan itu tidak bisa mencapai otaknya.
"Jika aku melompat, apakah perasaan menyesakkan ini akan hilang? Apa rasa menjijikkan ini juga ikut hilang?" gumamnya.
Beberapa ingatan mulai berjalan didalam kepalanya seperti sebuah film. Ingatan masa kecilnya yang membahagiakan. Saat-saat bersama Ayahnya. Juga masa-masa sulitnya beberapa tahun terakhir.
"Sejak kapan ingatan ku jadi sebagus ini? Apakah memang sudah saatnya?" dia terus bergumam dengan matanya yang masih terpejam.
Beberapa orang di bawah sana juga tidak bisa melakukan apapun. Menariknya secara paksa mungkin akan semakin beresiko tinggi untuk dia terjatuh.
tinn~
tinn~
Sedangkan...
"Sialan! Kenapa harus macet disaat seperti ini?!" seru Elio dalam mobilnya.
Membunyikan klaksonnya terus-menerus tidak bisa mengubah keadaan. Dia semakin frustasi.
'Urus mobilku di jalan Horizon!'
Dia menghubungi Big hanya untuk mengucapkan satu kalimat itu. Kemudian keluar dari mobilnya dan berlari.
"Hanya 1 kilometer. Tapi apa kau sudah gila, Elio? Kau berlari untuknya?" gerutunya.
Dia terus berlari melewati kendaraan yang berjajar memenuhi jalanan itu. Dia tidak tahu dimana tepatnya, namun dia terus berlari.
Hanya satu yang dia harapkan, dia berharap dia belum terlambat.
"Tetap awasi dia, jika dia bertindak lebih jauh lagi tarik saja rok nya!"
Luna membuka matanya. Telinganya semakin berdengung. Entah karena hembusan angin, sisa dari tamparan Ibunya tadi, atau mungkin kemasukan jus yang Alex siram. Tapi sepertinya tidak salah satunya.
Luna melihat kebawah, perairan dibawah sana seperti sudah menunggu dirinya untuk datang.
Rintik demi rintik yang jatuh seperti mengisyaratkan bahwa tidak sulit untuk melompat turun sepertinya.
Hujan deras yang tiba-tiba mengguyur itu membuat orang-orang berlarian menyelamatkan diri mereka masing-masing.
"Mungkin dengan begini semua orang akan merasa nyaman. Mama khususnya.."
Namun ketika dia mencoba untuk melepaskan kakinya, dia berpikir, "Aku takut, aku tidak ingin mati.."
"EVE LUNA WILLIAM!"
Suara teriakan yang begitu jelas meskipun di tengah derasnya hujan. Suara yang mampu menembus pikiran kosong Luna.
Siapa, suara siapa? pikir Luna. Itu suara seseorang yang beberapa hari ini sering dia dengar. Suara yang selalu terdengar menjengkelkan.
Dia tidak ingin menangis, tapi dirinya sendiri bahkan tidak bisa menghentikan hal itu.
Seperti hujan deras yang turun, Luna menangis. Dari banyak orang yang dia kenal di dunia ini, mengapa harus pria asing itu yang muncul di saat seperti ini.
Dia sama sekali tidak mengenalnya. Bahkan kesialan selalu menghampirinya saat bertemu dengannya. Tapi beberapa kali dia datang, seolah mendapat Wahyu dari Tuhan untuk menolong ku.
"Apa kau sudah gila?!" teriak Elio.
"Jika ingin mati, jangan di tempat dimana aku bisa menemukan mu!"
Luna tidak mengerti apa yang dia maksud. Memang apa hubungan hidup dan matinya dengan dirinya. Luna tidak mengerti itu.
"Apa kau mendengar ku?!"
Luna mendengar semuanya. Tapi dia tidak ingin menoleh sedikitpun. Dia tidak ingin pria asing itu melihat seberapa kacau dirinya. Sudah cukup dengan dia melihatnya kacau beberapa kali saja. Tidak untuk kali ini.
"Aku akan membantumu!"
"Aku akan mengeluarkan mu dari kehidupanmu yang menyedihkan itu! Aku akan membantumu melunasi semua hutang-hutang mu!"
Kenapa dia rela melakukan hal itu untuk gadis asing seperti ku? Kita bahkan tidak saling mengenal. Banyak pikiran yang berkecamuk di dalam kepala Luna.
"Pegang tanganku, ok?"
Suaranya melembut. Seperti seseorang yang membujuk anak kecil yang sedang merajuk.
Luna menoleh, uluran tangan dibawah sana membuat air matanya semakin deras.
Melihat tatapan matanya membuat Luna ingin percaya. Pria basah kuyup di bawah sana membuat hatinya tergerak. Dia ingin meraih uluran tangan itu.
Namun..
"Aarrghh!!"
Suara petir mengagetkannya, kaki telanjangnya yang menginjak besi pembatas jembatan pun tergelincir.
Syukurlah Elio dengan sigap menangkap tubuhnya, lalu menariknya untuk turun.
"Aku tidak ingin mati~"
Luna sangat ketakutan, hampir saja hal mengerikan itu terjadi padanya. Elio melepas jas nya dan memakaikannya pada Luna.
"Kau selalu melakukan hal sembrono tanpa berpikir! Mana keberanian mu saat naik tadi? Dan sekarang kau takut mati?!" bentak Elio.
"Semuanya terasa menyesakkan, dan dari atas sana aku bisa mendapatkan banyak udara untuk bernapas!" teriak Luna.
"Mengapa tidak ada yang mengerti diriku?" dia mencengkeram erat kemeja Elio.
"Itu terasa menyesakkan ketik kau hidup didalam keramaian namun kau merasa sendiri! Bukankah lebih baik mati?"
"Dunia ini begitu mengerikan. Semua orang mengerikan!"
"Tapi mati pun juga terlihat mengerikan.."
Elio menatap gadis dihadapannya yang terlihat sangat kacau itu. Dia tidak tahu apa yang sudah dia lalui selama ini. Benar dia membenci Harley, namun bayangan anak kecil yang selalu memanggilnya 'Kakak' itu selalu terngiang di kepalanya.
"Kau hanya perlu bertahan.." ucap Elio.
Sebuah kalimat sederhana yang terdengar menghibur daripada semua bahasa indah yang ada di dunia.
"Jika aku bertahan lebih lama lagi, apakah pertahanan ku akan terbayarkan dengan adil? Akankah aku memiliki akhir yang bahagia?"
Tatapan kosong itu menatap Elio. Membuat Elio semakin frustasi dibuatnya.
Dia tidak menjawab pertanyaan yang rumit itu. Elio meraih tubuh Luna dan membopongnya untuk pergi.
"Apakah kau benar-benar akan membantuku?"
"Entah mengapa aku harus mempercayai pria brengsek sepert~"
Kekuatannya telah habis. Dia tidak bisa melanjutkan ucapannya dan pingsan.
mampir juga dong ke karya terbaruku. judulnya "Under The Sky".
ditunggu review nya kaka baik... 🤗