Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.
Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.
Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RUMAH
Setelah hari sial tersebut, aku berupaya menghindari pertemuan dengan Raga. Kebetulan sekolah sedang libur panjang, jadi aku memutuskan pergi ke rumah Bibi di Ponorogo. Di kampung halaman, aku memiliki banyak teman yang bisa dikunjungi. Liburan adalah waktu untuk melepas rindu bersama mereka.
Tapi ternyata, kesepian tak selamanya berhubungan dengan suasana sekitar. Kesepian menghuni relung hati yang terdalam. Sekalipun ramai orang di sekeliling kita, jika hati merasa sunyi dan seperti ada yang kurang, itulah yang dinamakan kesepian. Aku merasakannya, meski setiap hari bertemu banyak teman dan saudara.
Seminggu kemudian, aku kembali ke Madiun, menghabiskan sisa libur panjang yang biasa aku isi dengan menulis atau membaca majalah. Menulis memang sudah lama menjadi hobiku. Dulu, aku biasa mengisi mading sekolah atau sekadar menulis untuk dibaca teman-teman.
Tiba di Madiun, aku disambut oleh kabar mengenai Raga. Bapak yang menyampaikan.
“Berkali-kali dia ke sini. Mau nyusulin ke Ponorogo juga.”
“Hah?” Aku terperanjat kaget mendengar ucapan Bapak. “Terus Pak?”
“Bapak bilang nggak usah, soalnya jauh.”
Tanpa menanggapi ucapan Bapak lagi, kulempar ransel ke sofa, lalu segera melesat keluar rumah. Teriakan Bapak kujawab dengan teriakan juga.
“Ke wartel sebentar!”
Wartel atau warung telepon menjadi tujuanku. Aku harus menelepon Raga. Jujur aku rindu pada pemuda itu. Setelah peristiwa di Kampus pada hari ulang tahunku, keesokannya aku langsung kabur ke Ponorogo. Rasa kecewa terhadap Kevin membuatku ingin menghilang dari bumi.
“Assalaamu ‘alaikum?” sapa suara perempuan dari seberang, yang aku tidak tahu itu siapa. Mungkin Bulek yang kata Raga biasa menemani Mamanya.
“Wa ‘alaikum salam. Mas Raga ada, Bu?”
“Ini siapa?”
“Saya Nada, temannya Mas Raga.”
“Mas Raga ndak di rumah. Ada pesan?”
“Mmm... nggak. Minta tolong sampaikan saja, saya yang menelepon!”
“Maaf, dengan siapa tadi?”
“Nada, Bu.”
“Baik, nanti saya sampaikan.”
“Terima kasih.”
🍁🍁
Rupanya tidak perlu menunggu lama untuk menahan rasa rindu. Setelah siang aku menelepon, sorenya Raga datang ke rumah. Dia sendirian, tanpa kawan-kawannya. Dengan gagah, pemuda itu mengetuk pintu seraya mengucap salam beberapa kali sebelum akhirnya aku keluar dan membukakan pintu untuknya.
Hari itu Raga ulang tahun. Hal yang bahkan tidak aku ketahui sebelumnya, bahwa tanggal lahir dia adalah 10 Agustus. Sungguh aku ini sahabat yang sangat buruk. Senang diperhatikan, tapi tak mau memperhatikan. Ingin dipedulikan, tapi tak pernah peduli. Padahal, kurang baik apa dia kepadaku?
Jahatnya lagi, ketika Raga datang, pertanyaan pertama yang aku cetuskan justru hal yang berkaitan dengan sang rival.
“Gimana dengan Koko?”
Entah kenapa aku tidak bisa berhenti memedulikan Kevin, sehingga kerap mengabaikan perasaan seorang Raga.
“Mas Raga sudah baikan belum dengan dia?”
“Emang Kevin kenapa? Kami baik-baik saja.”
Aku bingung bagaimana harus menjelaskan. Rasanya seperti terjebak dalam situasi yang aku ciptakan sendiri.
“Kayak gitu tuh biasa lho, Dek. Nggak perlu khawatir berlebihan.”
“Biasa dari mana? Memangnya kalian tiap hari berantem?”
“Cowok mah wajar.” Raga terlihat santai, membuat emosiku naik. “Besoknya juga kami sudah main bareng lagi.”
“Berantem kok dibilang biasa,” rutukku sebal.
“Cowok berteman dengan cowok, belum afdol pertemanannya kalau belum baku hantam.”
“Hadeeeh, prinsip dari mana kek gitu?”
“Itu tuh cara kami mengingatkan kalau ada kawan melakukan kesalahan.”
“Cara yang aneh.” Aku bersungut kesal.
“Itu menandakan kalau kami ini sahabat.”
“Terus sekarang bagaimana?”
“Sudah baikan.”
“Nggak percaya!” ketusku.
Apabila ingat sorot mata Kevin hari itu, aku tidak yakin mereka bisa cepat berdamai. Kevin terlihat sangat marah, sekaligus kecewa.
“Lalu aku harus bagaimana supaya kamu percaya?” Raga tetap kalem dan sabar menghadapi aku dengan segala kebrutalanku.
“Mas Raga harus ajak Koko ke sini. Kalau sudah melihat kalian duduk bersampingan, baru aku percaya.”
“Ayo ke rumahnya. Tanya sendiri sama dia.”
“Ngapain?”
“Dengar sendiri penjelasan dari dia.”
“Koko saja yang suruh ke sini!”
“Kamu yang ke sana. Sekalian main ke rumahku. Mama pengen ketemu.”
“Hah!?”
Ujung kalimat Raga membuatku melongo beberapa saat. Mama pengen ketemu? Alamak! Aku harus bagaimana ini? Harus berbuat apa? Rasanya belum siap ketemu beliau.
“Hari ini kan aku ulang tahun. Ada acara kecil-kecilan di rumah.”
“Acara?” Lagi-lagi aku terperanjat.
Yang terbayang dalam benakku saat itu, namanya acara pasti dihadiri orang banyak, pasti ramai. Aku tidak siap untuk berada dalam situasi tersebut.
Aku yang hanya masyarakat jelata, merasa tidak pantas berada di antara keluarga Raga. Saat itu, yang aku bayangkan adalah seluruh keluarga besarnya berkumpul. Mulai dari Om, Tante, dan juga sepupu-sepupunya yang rata-rata pejabat.
Jika aku datang, terlebih Raga yang membawaku, pasti perhatian orang-orang akan terpusat kepadaku. Lalu, aku akan ditanya-tanya mengenai siapa diriku, kenapa tampak istimewa bagi Raga, ada hubungan apa di antara kami. Pertanyaan akan berlanjut ke siapa orang tuaku, apa pekerjaan mereka, dan di situlah titik rendah diriku berada.
Bukan maksudku merendahkan profesi orang tua. Apa pun adanya Ibu dan Bapak, apa pun pekerjaan mereka, aku tetap bangga dan bahagia terlahir sebagai anaknya. Bagiku, mereka adalah orang tua terbaik dan terhebat di dunia.
Masalahnya justru ada pada Raga. Dia yang saat itu membawaku, tampak sangat dekat denganku, adalah putra dari seseorang yang kondisi kehidupannya berbalik drastis dengan kehidupan keluargaku. Intinya, aku minder berteman dengan pemuda itu. Merasa tidak pantas, dan tak seharusnya.
Wah, pokoknya overthinking sekali.
Namun, pada akhirnya permintaan tersebut aku sanggupi sebab Raga memohon-mohon. Aku tidak mau menjadi jahat untuk ke sekian kali, seperti hari itu yang kabur dari kampus Unmer tanpa berpamitan kepada dia, sehingga membuat heboh dia dan kawan-kawannya.
🍁🍁
Sore itu, 10 Agustus 2001.
Pertama kali dibonceng motor oleh Raga, yang aku rasakan adalah nyaman. Raga tidak menuntut aku untuk berpegangan kepadanya, tidak pula kebanyakan tingkah dengan lepas-lepas setir seperti yang Kevin lakukan tempo hari. Ketika berada di atas motor yang tengah melaju, Raga jauh lebih dingin. Fokusnya adalah jalanan di hadapannya.
Selain Raga disiplin dalam mengendarai motor, secara postur tubuh dirinya dan Kevin juga jauh berbeda. Perawakan Raga tinggi, tegap, tampak kokoh. Meski tidak sekekar Amar, dia tidak juga cungkring macam Kevin. Aku merasa aman berada di belakang tubuhnya.
Setelah melewati perempatan kecil yang membelah Jalan Mayjend Sungkono, kami masuk ke Jalan Cendrawasih. Beberapa meter kemudian—seingatku tidak terlalu jauh, Raga mengerem motor tepat di depan sebuah gang kecil.
Cowok itu menoleh kepadaku, membuka kaca helm, lalu berujar lirih, “sudah sampai.”
“Turun nih?”
“Iya, turun. Motornya parkir sini.”
Aku turun dari boncengan, lantas berdiri tertegun sembari menunggu Raga menepikan kendaraannya. Otakku penuh jejal dengan berbagai pertanyaan. Gang yang akan kami lewati cukup sempit. Rasanya seperti tidak mungkin ada rumah di dalamnya. Sebelah kiri lahan kosong yang dipagar keliling menggunakan seng setinggi satu meter, sebelah kanan rumah warga yang awalnya kupikir itu rumah Kevin. Namun, Raga mengatakan rumah sahabatnya masih harus masuk gang lagi.
Raga meraih pergelangan tanganku, membuatku tergelagap dari lamunan. Dia menuntunku memasuki gang kecil yang hanya muat satu badan saking sempitnya. Raga menghentikan langkah saat tiba di depan rumah kayu yang sangat sederhana, hanya berbentuk kotak tanpa teras maupun bangunan tambahan lain. Rumah tersebut tepat di belakang rumah berpagar yang awalnya aku sangka rumah Kevin.
Raga mengetuk pintu berbahan tripleks warna biru sambil tangannya masih menggenggam pergelangan tangan kiriku. “Assalaamu alaikum,” ucapnya agak lantang.
Terdengar jawaban salam seorang perempuan disusul suara orang berjalan. Tak lama kemudian, pintu terbuka.
“Eh, Mas Raga....”
Perempuan berusia sekitar 50 tahun menyambut kami dengan senyum lebar. Dia menatapku cukup lama, hingga akhirnya aku sadar apa yang harus kulakukan. Bergegas kuulurkan tangan untuk menyalami perempuan berhijab tersebut, mencium punggung tangannya penuh takzim.
“Ini siapa?” tanya beliau seraya menatap aku dan Raga bergantian.
“Kawan Raga dan Kevin, Umi.” Raga buru-buru menyahut sebelum aku sempat memberi jawaban. Akhirnya aku paham bahwa perempuan di hadapanku adalah perempuan yang sering Raga ceritakan. Raga sering berkata bahwa dia mengagumi Ibu angkat Kevin yang sabar dan keibuan. “Kevin ada, Mi?”
“Avin?”
Avin itu nama panggilan Kevin sejak bayi, sejak masih diasuh oleh genduk-nya. Genduk merupakan panggilan kesayangan Kevin untuk sang pengasuh.
“Avin nggak di rumah Mas Raga, tah? Tadi dia pamit mau ke sana.”
“O, iyakah?”
“Kok Mas Raga nggak tahu?” Perempuan tersebut bertanya keheranan. “Tadi Satria menjemput Avin. Disuruh ke rumah Mas Raga, katanya. Itu bener ke sana atau nggak?”
“Bener kok, Mi. Raga nggak tahu soalnya sejak tadi siang di rumah Nada.”
Si Umi berganti menatapku dengan tatapan yang—aku rasa—agak aneh.
“Jadi ini yang namanya Nada?” tanyanya kemudian seraya tersenyum dan mengusap lenganku lembut. Melalui sentuhan saja, aku bisa merasakan betapa wanita yang biasa disapa Umi oleh Raga cs tersebut memiliki ketulusan hati yang luar biasa. “Nada yang rumahnya di Srindit, ‘kan?”
Aku tersenyum mengangguk, walau dalam hati bertanya-tanya juga. Dari mana beliau tahu rumahku?
“O iya, singgah dulu Mas Raga?” Tiba-tiba si Umi mengalihkan pembicaraan.
“Ng ... nggak usah, Umi. Mau langsung ke rumah Raga saja. Sudah ditunggu kawan-kawan.”
“Langsung ke rumah Mas Raga?”
“Iya, Mi.”
“Ya sudah, hati-hati.”
“Pamit dulu, Umi.” Aku mengulang hal yang tadi kulakukan, yakni menyalami dan mencium tangan beliau penuh rasa hormat. Hal yang terlintas dalam otakku saat itu, tangan ini yang merawat Kevin sejak kecil. Adalah suatu kebahagiaan tersendiri ketika bisa mencium punggung tangannya.
Yang tidak pernah aku sangka-sangka sebelumnya, tiba-tiba Umi meraih kepalaku dengan kedua tangan, lalu mencium keningku dengan lembut. Sumpah, pengen nangis banget, tapi kutahan sekuat tenaga. Bahagia sekaligus terharu, orang tua Kevin bersikap demikian terhadapku.
“Hati-hati ya, Nak!” Umi mengucapkan pesan yang sama sembari mengusap bahuku. Beliau mengiringi kami dan mengantar hingga mulut gang, ke tepi jalan raya. Ketika aku hendak melangkah menuju motor, tiba-tiba beliau membisikkan sebuah kalimat yang spontan membuat mataku berkaca-kaca. “Terima kasih ya sudah mau datang ke gubuk Avin.”
“Sama-sama Umi,” jawabku. Setelah itu, aku bergegas menuju motor dan menaiki jok-nya. “Assalaamu alaikum!”
“Wa alaikumussalam warohmatullahi wa barokatuh.”
Motorpun melaju, diiringi setetes air mataku yang menitik pelan. Buru-buru kuseka sebelum ada yang melihatnya.
Haru yang menyergap perasaanku bukan tanpa alasan. Aku merasa iba kepada Kevin. Melihat keadaan rumah yang menjadi tempat dia tumbuh, rasanya tidak heran jika cowok itu memiliki kepribadian aneh.
Dia tahu seharusnya dirinya tinggal dalam rumah yang lebih nyaman dengan segala fasilitas mewah. Meski definisi nyaman tak selalu tentang kemewahan, setidaknya Kevin tak harus merasa dibuang. Pasti batinnya sangat terluka, terlebih jika melihat saudara perempuannya hidup dalam segala kemewahan tersebut. Kemewahan yang semestinya turut dia nikmati. Untung Allah Maha adil. Dia memberi Kevin seorang ibu asuh yang sangat luar biasa menyayangi dirinya.
Motor gede Raga berderum meninggalkan tempat tersebut, melaju ke arah utara. Jarak sekitar 100 meter kemudian, kami berbelok ke halaman rumah besar berpagar putih. Pagar tembok setinggi dua meter mengelilingi halaman luasnya. Di samping pagar terdapat bangunan kecil yang merupakan pos satpam. Saat itu, posnya tampak lengang. Bahkan pagar depan pun sudah terbuka lebar sejak sebelum kami tiba.
Di halaman depan, aku melihat beberapa motor terparkir. Di antaranya adalah motor milik Satria dan Ronald. Raga tidak menghentikanku di sana. Dia memacu kendaraan menuju halaman samping, lantas masuk ke sebuah ruangan terbuka yang hanya beratap tanpa dinding. Ternyata itu garasi. Kami berhenti di situ, di antara dua mobil mewah yang entah milik siapa.
Sambil turun dari boncengan, aku menatap sekeliling. Yang namanya kali pertama melihat rumah sebagus itu, aku hanya bisa melongo terkagum-kagum. Aku pikir rumah Bos Ibuku tuh sudah paling megah. Ternyata ada yang jauh lebih megah.
Masya Allah!
Di situ, saat itu, detik itu, rasa rendah diri kembali menguasaiku. Aku seakan disentakkan oleh kenyataan agar tidak bermimpi terlalu tinggi. Kupandangi diriku sendiri, penampilanku hari itu yang bagai upik abu.
Celana jeans belel dan kaos lengan panjang berbahan polyester warna merah tua, dipadukan dengan tas selempang yang selalu kupakai dalam segala kesempatan—sekolah ataupun main. Secara keseluruhan, caraku berpakaian menunjukkan satu kasta, yakni missqueen.
Aku tak henti-hentinya mengoreksi diri sendiri. Secara fisik, materi, mental, personal, semua hasilnya sama saja. Aku memang tidak pantas berada di sebelah Raga. Meski tahu bahwa kenyamanan dalam pergaulan tak selamanya ditentukan oleh sebuah alasan.
Kenyataannya Raga memiliki segala yang tidak ada padaku; ketampanan, penampilan, kekayaan, dan juga kehidupan sosial yang bagus. Sementara aku?
“Dek?” Sebuah tangan menggamit pundak, membuatku tersentak dari lamunan. “Ayo masuk!” ajaknya seraya menatapku lembut.
Ketika melihat aku hanya bergeming di tempat, cowok itu dengan santai meraih pergelangan tanganku. Dia menggandengku masuk ke ruang tamu melalui pintu dalam garasi.
Tiba di ruang tamu, aku semakin terpinga-pinga. Baru sekali itu masuk ke rumah sedemikian bagus. Ornamen bangunannya mahal semua, mengkilap semua, mewah semua. Mendadak aku ingat rumahku di kampung. Sebuah rumah sederhana yang terletak di depan hamparan sawah memanjang. Rumah reot dengan lantai ambles di sana-sini akibat pergerakan tanah yang terkena guncangan truk lewat setiap hari. Belum lagi kondisi kamar yang amburadul karena nyaris tidak pernah ditempati.
Ya Tuhan! Ini bagaikan langit dan bumi, siang dan malam, utara dan selatan, timur dan barat. Dua kondisi yang sangat jauh berlawanan. Bukan hanya berbeda, tapi berlawanan.
“Kok sepi, Mas? Katanya ada acara?” tanyaku dengan muka polos. Memang saat itu ruang tamu terlihat lengang. Tidak tampak satu manusia pun di situ. Padahal, di halaman ada motor Satria dan Ronald. Ke mana mereka? Batinku bertanya-tanya.
“Acaranya nggak di sini.”
“Jadi?”
“Kami tidak pernah mengadakan acara di ruang tamu, Dek. Halaman belakang yang lebih luas, jadi kalau ada acara-acara biasanya di sana.”
“Oalah,”
Ya, maaf. Sebelum itu aku tidak pernah tahu bagaimana jika orang kaya mengadakan acara. Keluargaku kalau mengadakan acara, ya di ruang tamu. Karena ruang tamu yang paling luas. Sementara rumah Raga, ruang tamunya justru relatif sempit.
Cowok itu kemudian mengajakku duduk di sofa. Sebuah sofa berwarna biru langit polos. Sofa tersebut terletak di salah satu sudut ruang tamu. Pada sudut lainnya, terdapat guci keramik bercorak bunga sakura yang tingginya setara dengan dada orang dewasa. Dapat kupastikan itu guci harganya pasti setara dengan uang sanguku selama satu tahun.
Raga tersenyum sembari menatapku lekat, membuatku salah tingkah dan duduk dengan sikap kikuk.
“Akhirnya aku bisa mengajak Adek ke sini, ke gubuk orang tuaku,” ujarnya kemudian dengan nada riang.
Aku menelan ludah penuh susah payah. Mendadak tenggorokan terasa kering.
Gubuk?
Yang begini dikata gubuk.
Lalu, apa kabar rumahku?
🍁🍁
gabung yu gc bcm
caranya wajib follow akun saya ya
spaya bs sy undang mksh.