Soraya adalah gadis paling cantik di sekolah, tapi malah terkenal karena nilainya yang jelek.
Frustasi dengan itu, dia tidak sengaja bertemu peramal dan memeriksa takdirnya.
•
Siapa sangka, selain nilainya, takdirnya jauh lebih jelek lagi. Dikatakan keluarganya akan bangkrut. Walaupun ada Kakaknya yang masih menjadi sandaran terahkir, tapi Kakaknya akan ditumbangkan oleh mantan sahabatnya sendiri, akibat seteru oleh wanita. Sementara Soraya yang tidak memiliki keahlian, akan berahkir tragis.
•
Soraya jelas tidak percaya! Hingga suatu tanda mengenai kedatangan wanita yang menjadi sumber perselisihan Kakaknya dan sang sahabat, tiba-tiba muncul.
•
•
•
Semenjak saat itu, Soraya bertekad mengejar sahabat Kakaknya. Pria dingin yang terlanjur membencinya. ~~ Bahkan jika itu berarti, dia harus memaksakan hubungan diantara mereka melalui jebakan ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Selasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Tangan kanan Rafael memegang kemudi, di saat tangan kirinya di genggam kedua tangan Soraya, yang sedang geregetan dengan dirinya sendiri.
“Ah! Malas, bikin dongkol aja.” Keluh Soraya, yang membuatnya kembali mencubit-cubit kecil tangan Rafael, melampiaskan kekesalannya.
Sementara Rafael, dia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Antara lucu dan miris. Ingatannya kembali kepada kejadian canggung di rumah sakit tadi. Dia tidak pernah melihat Soraya begitu ingin memperbaiki ucapannya, sampai-sampai memeluk Lusi dengan mata menahan tangis, saking merasa bersalahnya.
Padahal sebenarnya tidak seperti itu. Soraya yang cepat sadar betapa mencengkam situasi tadi, sempat merasakan aura jahat Sean. Jadi menyadari kesalahannya, dia dengan cepat meminta maaf, dan benar hampir menangis. Tapi itu bukan tangis oleh rasa bersalah, melainkan karena takut. Takut, kalau ucapannya terhadap Lusi menjadi boomerang di masa depan. Persis seperti ramalan itu.
Soraya bersumpah, kalau dia lebih pintar sedikit saja, dia tidak akan menggunakan penyakit sebagai candaan, meski tidak sengaja.
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Tante Lusi saja malah tertawa.”
“Hell yeah, … memang Tante Lusi tertawa. Dia tertawa dan begitu juga dengan Taira. Taira tertawa, dia tertawa dalam masalahku!” Frustasi Soraya.
Sebenarnya inilah yang paling menggerogotinya, yakni keberadaan Taira di momen canggungnya. Soraya sudah menandai Taira dalam silang merah, jadi semua tentang Taira membuatnya kesal sekali.
Mendengar ini, dahi Rafael berkerut dalam. Memang dia sedikit tidak senang dengan Taira, tapi bukan berarti dia akan setuju pada praduga sembarangan, apalagi posisinya tepat di dekat gadis itu. Dia memang melihat Taira tersenyum kecil, tapi tidak terlihat seperti tertawa yang dipermasalahkan Soraya.
Bahkan Rafael ragu kalau itu tadi bisa disebut masalah. Karena Sean tidak berkomentar, dan Lusi bahkan tertawa dalam ucapan adiknya itu.
Hal ini membuat Rafael sadar, bahwa Soraya benar-benar tidak menyukai Taira.
“Sudah santai aja, nanti cantik adiknya kakak luntur lagi.”
“Dih nggak mungkin lah! aku selalu cantik, and even prettier than Taira.”
Rafael langsung melongo mendengar ini, sebelum berakhir menatap Soraya dengan terkikik. “Sora, … kamu yakin kesal sama Taira hanya karena dia sepupu mantan kamu? Kok Kakak rasa kamu tuh, ….”
Rafael kesulitan memilih kata yang tepat, sedikit takut jika mengekspos perasaan Soraya, akan membuat adiknya itu merajuk. Benar saja, belum juga selesai dia bicara Soraya sudah bereaksi.
“Aduh Kakak sudah deh. Apapun itu, sekarang sudah jelas kan. Kakak jangan dekat-dekat dengan dia, apalagi suka sama dia. Mengerti?”
“Oh, jadi ciri-ciri yang kamu sebutkan waktu itu ternyata mengacu dari—”
“Enough Kak, enough.” Soraya mengangkat tangannya tanda stop. Dia tidak ingin membahas Taira lebih lanjut. Tapi disatu sisi merasa lega, karena telah memperjelas tentang siapa wanita yang sangat dia hindarkan dari Rafael.
Menghadapi kekesalan Soraya, Rafael segera mengangguk dengan senyuman. Harus dia akui bahwa Taira cukup cantik dan baik. Bahkan kecerdasan gadis itu diatas rata-rata, benar-benar suatu nilai tambah. Tapi itu semua tidak sebanding dengan permintaan Soraya. Yang bahkan termasuk permintaan konyol sekalipun.
Hubungan mereka yang baru saja membaik setelah sekian lama, tidak akan dibiarkan rusak dengan menyukai orang yang tidak disukai adiknya. Ya walaupun cukup konyol juga pikir Rafael, karena tidak mungkin Taira menyukainya juga. Secara mereka masih termasuk baru kenal.
•••
Kembali ke ruang perawatan Lusi, ada kecanggungan yang ditinggalkan Rafael dan Soraya bagi mereka.
Taira masih tidak mengerti kenapa dia berbalik arah begitu cepat untuk kemari, tapi kini sudah memikirkan untuk keluar. Kini duduk disamping ranjang Lusi, dia tidak tahu harus bicara apa.
Sementara Sean sendiri, dia memilih duduk di sofa sambil menatap grafik-grafik saham di layar ponselnya. Sebenarnya dia ingin merebahkan tubuhnya sedikit, namun keberadaan Taira jelas tidak memungkinkan. Begitu juga jika berbincang dengan Taira, Sean merasa sedang tidak memiliki energi saat ini. Apalagi, mereka baru saja berbincang lama tadi.
“Nak Taira, apa benar kamu punya sepupu yang satu sekolahan dengan Nak Sora?”
Mengerti bahwa yang dimaksud Lusi adalah Rex, Taira mengangguk saja. “Iya Bu. Tapi, kenapa yah?”
Lusi mengangguk-angguk pelan mendengar ini. Dia masih sedikit iba untuk Soraya dan gemas pada Rex yang bahkan tidak dikenalnya. Jadi meskipun Soraya sudah meminta untuk tidak membahas hal ini, Lusi masih gatal untuk memberi nasehat.
“Kamu cantik sekali, pasti sepupu kamu juga tidak kalah tampan. Tapi, Nak Taira … semisal kita memiliki kelebihan seperti ini, kita tidak boleh sampai salah mempergunakannya yah. Masa muda memang baik, tapi bukan untuk bermain-main dengan sengaja, apalagi memainkan hati anak orang. Benar tidak?”
Bukan hanya Taira yang mengangkat kepalanya karena terkejut, Sean pun langsung melepas ponselnya. Merasa canggung, untuk ucapan tiba-tiba sang Ibu.
Menghadapi hal ini, Taira menyengir kecil.
“Ah iya Bu, itu benar sekali.”
Lusi kembali mengembangkan senyum lembut. Dia menatap Taira dengan harapan, agar ucapannya bisa diterima. “Nah, makanya kamu harus berbagi hal ini kepada sepupumu. Banyak wanita diluar sana, adalah korban dari kebiasaan buruk yang kita anggap sepele di masa muda.”
“Ibu!” Sean akhirnya tidak tahan untuk mendekat. Itu tadi adalah hal yang paling aneh yang didengarnya dari sang Ibu. Dia bahkan tidak tahu siapa yang ibunya bicarakan, terhadap Taira.
Tapi sekali lagi, kecerdasan Taira tidak hanya sampai pada intelektual, tapi juga emosi. Dia dengan segera mengerti, siapa, apa dan kenapa, sampai Ibu Sean berbicara hal ini dengannya.
Memang tidak terlalu spesifik, tapi dia menduga Soraya telah bicara kepada Ibu Sean, mengenai Rex. Mungkin sebuah kisah patah hati remaja, akibat sang sepupu memang terkenal terlalu mengumbar pesona.
Dan jika memang begitu, entah kenapa Taira merasa tidak senang. Bukan tentang Soraya ataupun Rex, tapi pikirannya terbawa pada Rafael. Dia merasa, jika Rafael mendengar hal buruk mengenai Rex dari adiknya, maka pria itu pasti tidak akan senang. Bahkan ada kemungkinan, …?
Taira menggeleng kepalanya. Dia menolak pemikiran yang terlalu jauh, yang sebenarnya mengganggu dia sedari tadi. Sebuah pemikiran, bahwa Rafael tampak menghindarinya dengan sengaja. Mengingat pria itu, bahkan tidak meluang untuk menatapnya.
“Taira, apa kau baik-baik saja?”
“Aa, iya, iya, maaf.” Kaget Taira dengan tepukan di bahunya. Dia benar-benar tenggelam dalam pemikirannya untuk sesaat.
“Aku bicara tapi kau diam, sepertinya kau tidak fokus dan butuh istirahat.” Simpul Sean begitu cepat. Dia merasa situasi sedang sangat aneh, jadi lebih baik bagi Taira untuk kembali.
Beruntung hal ini ditanggapi baik oleh Taira, dia dengan cepat membenarkan perkataan Sean. “Ah, mungkin benar. Semalam aku begadang untuk laporan, mungkin aku masih kecapekan.” Ujarnya, sambil meremas punggung leher.
Langsung saja Lusi menjadi iba juga. “Aduh, kasihan sekali kamu Nak. Kamu pasti lelah sekali, harus bolak-balik kampus dan Rumah sakit. Kalau begitu kamu kembali dulu. Ambil waktu untuk istirahat selagi teman kamu tidak ada, jangan pikirkan Ibu dulu.”
Seolah mengerti, Sean dan Lusi saling mengangguk dalam tatapan mereka.
“Baiklah, Ibu juga istirahat dulu. Aku akan mengantar Taira keluar.” Izin Sean, yang berakhir dengan lambaian Lusi pada Taira.
~~
Sesampainya di luar, Sean jelas harus minta maaf. Untuk nasihat instan yang diberikan Ibunya pada Taira.
“Tidak, lupakan saja. Aku pikir itu tadi hanya kesalahpahaman. Mungkin Soraya, sedikit berbagi cerita dengan Ibumu, tentang sepupuku Rex.”
“Rex?”
“Iya, itu loh, yang tadi pagi. Ingat?”
Sean mengangguk mengingat pria muda yang secara tidak sadar membuatnya jengkel, akibat Soraya.
“Dia memang tukang tebar pesona. Jadi mungkin, … entahlah.” Sambung Taira dengan kedua bahu terangkat.
Hanya sampai disitu saja, Taira pun segera pamit untuk pergi. Sementara Sean, dia masih terdiam di tempat, memikirkan semua keanehan Ibunya.
Tapi apapun itu, satu hal yang sudah disimpulkannya secara pasti, yakni kedatangan Soraya pada Ibunya yang meski cuma sebentar, telah menularkan bibit-bibit tidak baik.
Sekarang Sean makin waspada pada Soraya, dan tidak ingin adik sahabatnya itu, bertemu dengan sang Ibu lagi. Tapi itu bahkan baru dalam pemikirannya, ketika Sean kembali masuk ke dalam, dia sudah mendapati Ibunya sedang tertawa kecil.
“Hari ini Ibu senang, ada banyak kunjungan. Teman kamu, Nak Taira baik sekali. Begitu juga adiknya Rafael. Masa anak secantik dan selucu itu, kamu bilang sumber masalah. Ada-ada aja kamu Seander.”