Bayangan indahnya hidup setelah sah menjadi seorang istri, tidak dirasakan oleh Mutia Rahma Ayunda, ternyata ia hanya dijadikan alat untuk mencapai ambisi suaminya , Rangga Dipa .
Setelah menikah, Rangga yang berasal dari keluarga kaya,berusaha mewujudkan semua mimpinya untuk memiliki fasilitas mewah dengan mengandalkan istrinya. Rangga hanya menafkahi Mutia dengan seenaknya, sebagian besar uangnya ia pegang sendiri dan hanya ia gunakan untuk kepentingannya saja, Rangga tidak peduli dengan kebutuhan istrinya. Sampai mereka dikaruniai anakpun, sikap Rangga tidak berubah, apalagi ia masih belum bisa move on dari mantan pacarnya, Rangga jadi lebih mengutamakan mantan pacarnya dari pada istrinya.
Kehidupan Mutia sering kali diwarnai derai air mata. Mampukah Mutia bertahan, dan akankah Rangga berubah?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cicih Sutiasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Keterlaluan
"Mutia...?, kamu kenapa ada disini?, terus mana....", Rangga melirik ke arah kiri dan kanan.
"Siapa?, Sinta Mas?, ", tatap Mutia, ia berusaha tegar, walau hatinya kembali terasa sakit.
"Di sini hanya ada kita berdua",
"Jadi..., jadi..., benar yang semalam itu kamu?",
"Iya...", Mutia menunduk.
"Aakhhh....", Rangga mengaruk kasar rambutnya .
Rupanya alkohol masih mempengaruhinya, pikirannya belum sepenuhnya stabil.
Rangga segera menuju kamar ganti, ia tidak ingin terlalu lama berhadapan dengan Mutia, aroma tubuhnya membuat hasrat yang semalam kembali datang, ia ingin mengulangi sensasi semalam. Namun Rangga tampak ingin menghempaskan semua yang sedang memenuhi pikirannya saat ini .
"Ayo cepat turun, kamu sarapan dulu sana, nanti aku menyusul", perintah Rangga saat masih berada di dalam kamar ganti.
"Apa tidak sebaiknya kita turun bersama?",
"Nggak usah... , aku masih lama", ucap Rangga datar.
"Ya sudah, aku turun duluan", ucap Mutia.
"Ya sudah sana... ", gumam Rangga.
Ia beberapa kali mengusap wajahnya kasar, hasrat itu kembali menyerangnya, entah kenapa rasanya ia ketagihan ingin kembali merasakan sensasi semalam.
Sementara Mutia, ia segera menuju meja makan.
"Wah..., Mutia..., maba Rangga?", sapa Bu Anggi sambil tersenyum.
"Masih di atas, katanya masih lama, jadi menyuruh Mutia turun lebih dulu", aku mutia.
"Ya sudah, ayo makan!", tawari Bu Anggi lagi.
"Nanti saja Bu, menunggu Mas Rangga",
Tak lama Rangga terlihat turun, ia sudah rapi dengan setelan kerjanya.
"Apa tidak salah kamu?, kemarin baru nikah, masa hari ini sudah mau kerja lagi?", tatap Pak Dwi.
"Iya Pi, ada masalah urgent yang harus segera dibereskan, tidak akan lama kok", aku Rangga.
"Tidak..., kamu jangan pergi!, nanti biar Papi minta ijin sama atasan kamu, ini hari liburmu, seharusnya pihak kantor mencari orang lain untuk menggantimu sementara",
"Kamu itu seharusnya temani istrimu, ajak dia jalan-jalan, bukannya mau kerja, sekarang sarapan, lalu bawa istrimu jalan-jalan!", imbuh Pak Dwi lagi.
"Ini tiket dan reserpasi Hotel, kalian tinggal berangkat saja, sana senang-senang!", tanpa fi duga Pak Dwi memberikan amplop bersampul putih kepada Rangga dan Mutia.
"Nah..., kalau begini, aku tidak bisa nolak P6i", Rangga langsung menyambar amplop putih di depannya.
"Cckk...cckk...ccckkk...., kamu itu ya", Pak Dwi menggelengkan kepalanya melihat tingkat Rangga.
"Itu bukan untuk kamu , tapi untuk Mutia", tegas Pak Dwi lagi.
"Papi ingin kamu jaga Mutia , jangan sakiti dia!",
"Iya...baik Pi, gampang itu", Rangga kembali tersenyum.
Ia tampak mempercepat makannya, "Aku siap-siap dulu", Rangga tampak menyambar gelas yang berisi air minum, dan setelah meneguknya, ia langsung menuju ke atas.
"Kamu harus sabar menghadapi Rangga , Mutia", Pak Dwi melirik ke arah Mutia.
"Iya Pak...", Mutia mengangguk.
"Panggil Papi dan Mami saja", imbuh Pak Dwi.
"Iya...", Mutia tersenyum.
Mutia yang sudah selesai makan, berniat membereskan piring dan gelas bekas makan dia dan Rangga.
Namun Bu Anggi cepat-cepat melarangnya.
"Tidak usah, biar Bibi saja, kamu cepat susul Rangga sana!", imbuh Bu Anggi",
"Oh..., baik kalau begitu, Mutia ke atas dulu", senyum Mutia.
"Aahh..., tampaknya Rangga benar tuh Pi", Bu Anggi nampak tersenyum.
"Benar apanya...",
"Bu Anggi sekilas melirik ke arah Rani yang baru selesai makan.
"Papi lihat lehernya Mutia tadi, ada tanda merahnya kan?, itu pasti bekas isapan Rangga, jadi semalam mereka sudah..., tinggal menunggu hasilnya", bisik Bu Anggi.
"Aduh...Mami ini, sampai perhatian begitu",
"Iya dong Pi, takutnya kan Rangga anggurin Mutia", kekeh Bu Anggi.
"Bicara apa sih Mi, Pi, pake bisik-bisik segala", ucap Rani .
"Ini masalah orang besar Ran, Mami kamu saja yang kepo", senyum Pak Dwi.
"Ya sudah..., kalau urusan orang besar, Rani tidak mau ikutan , Rani duluan ya Pi, tunggu di depan", Rani pun pamit, ia nencium lengan maminya.
"Iya... , Papi juga sudah selesai", ucap Pak Dwi lagi.
"Pi..., Rani biar Mami yang antar, sekalian ada yang harus dibeli",
"Ya sudah, kalau begitu Papi duluan, jangan lama-lama, nanti Rani bisa kesiangan",
"Ini tinggal ngambil tas saja", Bu Anggi tampak melangkah menuju kamar, sedangkan Pak Dwi menuju garasi.
Mutia yang menyusul Rangga ke kanar, kembali mendengar suara orang bicara, tampaknya itu suara Rangga.
"Ngapain lagi?", gumam Mutia.
"Ya, sudah..., nanti aku share loc , biar kamu bisa datang ke sana", hanya itu kalimat terakhir yang masih bisa Mutia dengar, entah dengan siapa Rangga bicara, Mutia tidak tahu.
Rangga tampak terkejut saat melihat Mutia sudah berada di dalam kamar.
"Biasakan ketuk pintu dulu kalau masuk", ucap Rangga, terdengar ketus.
"Maaf...", ucap Mutia singkat.
"Ya sudah siap-siap, bukannya mau pergi?, atau kamu tidak mau ikut?", kekeh Rangga.
"Kasihan Papi kalau aku tidak ikut, Papi kan membelikan tiket itu untuk aku", ucap Mutia datar, ia mulai berani .
Rangga pun menatapnya lekat, ia tidak menyangka Mutia bisa bicara seperti itu padanya.
Mutia tampak mengambil tas dan mengisinya dengan barang-barang miliknya, setelah itu ia kembali duduk di sofa menunggu Rangga yang kini sedang di kamar mandi.
Setelah mengirim beberapa pesan kepada Sinta, Rangga baru keluar dari kamar mandi dan segera mengajak Mutia pergi.
Sepanjang jalan, Rangga sibuk mengemudi sambil membalas pesan masuk dari Sinta, hal itu membuat ia beberapa kali harus menginjak rem mendadak.
"Bisa berhenti dulu sebentar Mas, bahaya mengemudi sambil memainkan ponsel", usul Mutia.
Rangga hanya meliriknya sinis, kali ini pikirannya hanya dipenuhi oleh bayangan Sinta.
Mutia kembali diam, ia tahu kalau hanya melirik saja, itu artinya Rangga sedang marah, dan Mutia tidak mau membuat Rangga tambah kesal padanya, setidaknya Mutia sudah mengingatkan.
Suasana kembali hening, dan tanpa di duga, mobil Rangga menepi ke sebuah taman, mutia pikir mereka akan rehat sejenak di sana, tapi ternyata bukan.
Sudah ada seorang wanita yang sedang menunggu di sana. "Sinta...?", gumam Mutia, hatinya kembali terasa teriris, ia sudah bisa menduga kalau Sinta pasti akan ikut dengan mobil mereka .
'Oh..., jadi sedari tadi itu Mas Rangga menghubungi Sinta?', batin Mutia bicara.
Benar saja, Rangga langsung keluar dan memburu Sinta, tanpa malu mereka saling cipika cipiki di hadapan Mutia.
"Mas Rangga...", geram Mutia, ia mengepalkan tangannya.
"Kamu pindah ke jok belakang, Sinta mau ikut", ucap Rangga.
"Ikut dengan kita Mas?", tatap Mutia, ia kira Sinta hanya menumpang saja sampai tempat tujuannya.
"Iya..., Sinta mau ikut dengan kita", ucap Rangga datar.
"Tapi...",
"Sudah..., cepat pindah, nanti kelamaan, kita bisa telat", ucap Rangga lagi.
Mutia tidak bicara lagi, ia langsung turun dan pibdah ke jok belakang, sementara Sinta dengan senyuman sinisnya langsung masuk dan duduk di jok samping Rangga.
"Mau apalagi kamu Mas...", gumam Mutia.
Baru beberapa meter saja mobil mereka melaju, tampak sebuah mobil mengejar dan menyalip mobil Rangga.
Dan pengemudinya langsung turun menghampiri mobil Rangga.
"Papi....?", ucap Mutia spontan.