“Jadi kapan internet saya aktif kembali? Saya tidak akan menutup teleponnya jika internet saya belum aktif!” hardik Peter.
“Mohon maaf Pak, belum ada kepastian jaringan normal kembali. Namun, sedang diusahakan secepatnya,” tutur Disra.
“Saya tidak mau tahu, harus sekarang aktifnya!” ucap Peter masih dengan nada tinggi.
Disra berniat menekan tombol AUX karena ingin memaki Peter. Namun, jarinya tidak sepenuhnya menekan tombol tersebut. “Terserah loe! Sampe bulu hidung loe memanjang, gue ladenin!” tantang Disra.
“Apa kamu bilang? Bisa-bisanya memaki pelanggan! Siapa nama kamu?” tanya Peter emosi.
Disra panik, wajahnya langsung pucat, dia melihat ke PABX-nya, benar saja tombol AUX tidak tertanam kebawah. Sehingga, pelanggan bisa mendengar umpatannya.
Gawat, pelanggan denger makian gue!
***
Novel pengembangan dari cerpen Call Center Cinta 🥰
Ikuti kisah seru Disra, yang terlibat dengan beberapa pria 😁
Happy Reading All 😍
IG : Age_Nairie
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon age nairie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 Mimpi
...Mimpi hanya bunga tidur. Tak perlu takut, hal buruk tak akan terjadi!...
~Disra Auriestella~
Disra datang ke kantor dengan wajah yang lesu. Dia sangat tidak bersemangat karena mimpi buruk yang dialaminya. Hari ini, Raska tidak masuk kerja. Di ganti dengan Juli sebagai mentor Disra.
“Kita ada proyek dengan klien di Thailand. Kemungkinan besar akan mempresentasikan project kita di sana,” terang Juli.
“Siapa saja yang akan ke sana?” tanya Disra.
“Bisa semua dari tim kita atau hanya perwakilan.”
“Oh gitu.”
“Kamu udah punya passport?”
“Belum. Kenapa, Kak?”
“Cepat bikin, siapa tahu kamu juga dibutuhkan untuk datang.”
“Aku ‘kan anak baru, Kak. Kayanya nggak mungkin aku ikut, yang ada nambah-nambah budget perusahaan saja,” keluh Disra.
Ingin sekali dia ke luar negri. Paling jauh hanya ke Bali tempat wisata yang pernah ia kunjungi. Itu pun karena study tour dari sekolah.
“Jadi, maksud loe. Loe enak-enakan aja di sini sedangkan kita kerja sampe ke negri orang?” tanya Juli meninggikan suaranya.
Disra hanya menampakan wajah bersalah. “Bukan gitu maksudku, Kak,” terangnya. “Aku ‘kan anak baru, takutnya jadi beban perusahaan. Kalau dinas begitu, biasanya ‘kan pake budget perusahaan dan ada uang sakunya gitu.”
“Kita itu keluar negri bukan buat jalan-jalan! Kita itu kerja, nggak usah mikirin budget!” terang Juli. “Kalau mau jalan-jalan mah mending ajak keluarga saja,” tambahnya.
“Iya, iya,” gumam Disra.
“Ya udah, besok kamu urus paspor.”
Disra mengerutkan dahinya. Dirinya belum pernah gajian tetapi sudah diminta untuk membuat passport. “Kira-kira, berapa harga urus paspor?”
“Duh, gua lupa. Kayanya nggak sampe satu juta deh,” jelas Juli.
“Perlu visa nggak?”
“Nggak perlu, kita hanya ke Thailand.”
Disra berpikir sejenak. Belum tentu dirinya ikut ke Thailand. Percuma buat paspor jika tak jadi ke luar negri, terlebih lagi keuangannya mulai menipis, khawatir tidak sanggup membayar biaya pembuatan passport. “Kak, aku buatnya kalau udah pasti ikut saja ya.”
“Ya elah, pake nanti-nanti. Tinggal buat saja,” dengus Juli.
“Bukan gitu, aku ‘kan belum tentu ikut,” ujar Disra.
“Udah jangan banyak alasan. Besok bikin passport. Ini perintah Pak Bagas. Lagian, loe pasti mikir biaya pembuatan passport ya? Gratis, semua ditanggung kantor!” seru Juli.
“Gratis? Nanti pas ke kantor imigrasi tinggal bilang ke petugasnya gitu, sebutin nama perusahaan kita?” tanya Disra antusias.
“Dodol! Maksudnya loe minta ke Ila, surat pengajuan pembuatan passport, abis itu tinggal minta tanda tangan Pak Bagas. Kalau udah, kirim ke HRD, tinggal nunggu HRD krim dana ke rek loe! Jadi, bukan tiba-tiba loe dateng ke imigrasi terus minta gratisan!" Seru Juli.
“Oh gitu,” gumam Disra menganggukan kepalanya.
Dia menjalankan perintah dari Juli. Meminta surat pengajuan pada Ila dan kini mengetuk pintu ruang Bagas. “Selamat Siang, Pak Bagas,” sapa Disra.
“Ada apa, Dis?” tanya Bagas.
“Ini, kata Kak Juli, saya diminta untuk pembuatan passport? Saya bawa pengajuan pembuatan passport,” jelas Disra.
“Iya, setiap karyawan wajib punya passport. Meskipun tak berdinas, itu dibutuhkan jika suatu waktu rekan yang harus dinas ke luar negri mengalami kendala yang tidak memungkinkan untuk pergi. Jadi, bisa digantikan dengan rekan yang lain,” jelas Bagas.
“Baik, Pak.” Diasa menyodorkan surat pengajuan pada Bagas.
Bagas menerima surat tersebut, membacanya sekilas lalu menandatangani surat pengajuan tersebut, “Nanti bawa surat ini ke HRD, biasanya paling lama dua hari dana cair. Setelah itu bisa melakukan pembuatan passport. Biar nggak makan waktu bolak-balik ke kantor imigrasi. Kamu daftar online saja dulu. Kalau sudah daftar online, kamu akan dapat jadwal ke kantor imigrasi. Lebih menghemat waktu daripada kalau kamu datang langsung, nggak akan langsung di proses juga, biasanya ada quota perhari-nya,” papar Bagas.
“Baik Pak, terima kasih informasinya,” ucap Disra.
“Bagaimana kerja di sini? Apa betah?” tanya Bagas seraya menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dia melihat wajah Disra yang cantik. Namun, bukan cantik paripurna bak model ataupun artis. Bukan juga cantik sosialita, terlebih dengan hidung minimalis, tetapi sedap dipandang.
Bagas mengerutkan dahinya. Berpikir sejenak, apa yang membuat Melvin tergila-gila pada gadis di depannya ini. Pria tampan seperti Melvin ditambah dengan kekayaan yang dimiliki oleh pria itu. Seharusnya bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik dari Disra.
“Betah Pak, semua karyawan di sini baik semua,” jelas Disra.
“Bagus kalau begitu, semangat bekerjanya.”
“Terima kasih, Pak. Saya undur diri.”
“Ya, silakan.”
Setelah dari ruangan Bagas, Disra menuju ke HRD dan memberikan surat pengajuan tersebut. pekerjaannya sangat lancar terlebih Juli mengajarinya dengan baik. Meskipun, terkadang Juli mengeluh seperti sedang memiliki seorang murid dan bukan memiliki rekan kerja.
Jarum jam berputar, waktunya ke kampus untuk menjalankan hari sebagai mahasiswa. Beruntung hari ini tak ada mata kuliah keamanan jaringan yang mengharuskan bertemu dengan Melvin.
“Dis, semalem loe baik-baik saja?” tanya Suci.
“Iya, hanya nyeri haid.” Disra melihat sekeliling.
“Pak Melvin ngaterin loe sampe rumah?” tanya Suci.
“Dosennya belum dateng?” tanya Disra mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin membahas Melvin yang akan membuatnya teringat akan kelakuan kurang ajar dosen muda tersebut.
“Belum. Gimana? Loe belum cerita sama gua? Pak Melvin gentle banget ya sampe langsung ngerti keadaan. Sweet banget deh pas dia ngasih blazer ke pinggang loe! Nggak kaya Felix, udah gua jelasin loe lagi mengalami masalah perempuan, dia nggak ngerti-ngerti!” keluh Suci.
“Felix emang gitu,” kekeh Disra. Lebih baik dia membahas Felix dibanding harus membahas Melvin.
“Iya tuh sobat loe lelet banget. Terus gimana sama Pak Melvin, dia ….”
“Dosen udah dateng! Hari ini sistem pakar bukan?” Disra memotong ucapan Suci agar tak membahas tentang Melvin.
Disra memperhatikan dengan serius saat dosen menerangkan materi. Dia jarang belajar di rumah, baginya cukup menyimak baik-baik saat dosen menerangkan.
"Ci, loe mau ke mana? Masih ada satu Matkul (mata kuliah) lagi 'kan?" tanya Disra melihat Suci yang memasukan semua buku ke tasnya.
"Gua mau pulang, nggak ikut matkul kedua. Mau packing, besok gua diajak orang kantor outing."
"Emang mau ke mana?"
"Lombok."
"Wih mantab!"
Disra duduk sendiri saat mata kuliah kedua. Hari ini Felix tidak ada jadwal kuliah. Dalam setiap minggunya, ada satu hari tanpa jadwal kuliah. Begitupun dengan Disra. Namun, jadwalnya berbeda dengan Felix.
Seperti biasa, Disra pulang dengan angkutan umum. Sebuah mobil berhenti di depannya. Disra hanya melirik sekilas pada mobil itu, dia fokus pada jalan, memperhatikan bus yang akan lewat. Sang pengemudi mobil keluar dari dalam mobil dan menghampiri Disra.
"Biar aku antar pulang," ujar Melvin.
Disra hanya menatap malas pada Melvin, beruntung tidak banyak mahasiswa di halte sehingga dirinya tak perlu khawatir dirinya menjadi bahan perbincangan mahasiswa lain.
"Terima kasih, saya bisa pulang sendiri, Pak." Disra menekankan kata 'Pak' sebagai batasan dirinya dengan sang dosen muda.
Melvin menghembuskan napasnya pelan. Dia meraih lengan Disra. "Ikut denganku, kita harus menyelesaikan kesalahan pahaman kemarin."
Disra menepis tangan Melvin. "Tidak ada yang perlu diluruskan. Anggap saja hari kemarin tak pernah terjadi."
"Aku tidak bisa seperti itu," sanggah Melvin.
"Tinggal dilupakan, apa susahnya?"
"Aku tak akan pernah bisa melupakan dan tak akan mau melupakan!" hardik Melvin.
"Terserah Bapak saja! Asalkan berhenti mengganggu saya!"
"Saya tidak pernah mengganggu kamu!"
"Ya, lebih tepatnya melakukan tindakan tidak menyenangkan!"
"Bisakah kita bicara baik-baik? Aku sangat serius denganmu."
"Maksud Bapak apa?"
"Kita bicarakan masalah kita baik-baik."
Disra menghembuskan napas kasar. "Begini saja, bagaimana jika kita saling memaafkan. Saya sudah tidak mempermasalahkan diri saya yang dipecat karena laporan Anda ke surat pembaca dan saya juga akan memaafkan Anda tentang ... yang semalam. Jadi, saya minta tolong pada Bapak untuk tidak menemui saya."
"Tidak mungkin tak bertemu, karena saya yakin kita itu berjodoh!"
Disra membelalakkan matanya mendengar ucapan Melvin. "Apa Bapak waras?" tanyanya tak percaya.
"Ya, aku sangat yakin. Bahkan semalam aku bermimpi menikah denganmu."
Disra semakin membulatkan matanya. "Bagaimana mungkin ki–ta memiliki mimpi yang sama," gumam Disra terbata.
dandan yg cantik, pake baju kosidahan buat Dateng kondangan Marvin /Facepalm/