Akibat kesalahannya di masa lalu, Freya harus mendekam di balik jeruji besi. Bukan hanya terkurung dari dunia luar, Freya pun harus menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dari para sesama tahanan lainnya.
Hingga suatu hari teman sekaligus musuhnya di masa lalu datang menemuinya dan menawarkan kebebasan untuk dirinya dengan satu syarat. Syarat yang sebenarnya cukup sederhana tapi entah bisakah ia melakukannya.
"Lahirkan anak suamiku untuk kami. Setelah bayi itu lahir, kau bebas pergi kemanapun yang kau mau."
Belum lagi suami teman sekaligus musuhnya itu selalu menatapnya penuh kebencian, berhasilkah ia mengandung anak suami temannya tersebut?
Spin of Ternyata Aku yang Kedua.
(Yang penasaran siapa itu Freya, bisa baca novel Ternyata Aku yang Kedua dulu ya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbakar
Sepanjang hari, Abidzar bekerja dengan perasaan campur aduk. Entah apa yang menggangu pikirannya kini, yang pasti otaknya seakan penuh. Abidzar sampai kehilangan konsentrasinya saat bekerja.
Srettt ...
Lagi-lagi ia salah meletakkan tanda tangan. Entah sudah lembar ke berapa kertas yang dirobeknya. Abidzar merasa benar-benar kacau hari itu.
"Tirta, print lagi lembar kerja sama dengan pihak Maju Jaya. Sekarang!" Titahnya melalui sambungan interkom.
Jelas saja Tirta mengerutkan keningnya, entah sudah lembar berkas ke berapa yang lagi-lagi harus ia cetak karena kesalahan peletakan tanda tangan. Tirta sampai bingung sendiri, sebenarnya apa yang Abidzar pikirkan sampai kehilangan konsentrasinya seperti ini.
"Kamu sebenarnya kenapa sih, Bi? Sampai nggak bisa konsentrasi kayak gini. Nggak biasanya. Jangan bilang ini ada hubungannya dengan Freya?" terka Tirta seraya meletakkan lembaran kerja sama yang baru saja dicetak ulang.
Abidzar mendengkus membuat Tirta berdecak kesal.
"Kalau kamu emang tertekan dengan keberadaan Freya, lebih baik kamu lepaskan dia. Mumpung Erin sedang tidak berada di sini. Aku yakin, dia takkan mungkin bisa berbuat apa-apa lagi kalau Freya sudah tidak ada di rumah kalian. Memang saat pulang nanti dia pasti akan marah, tapi selama apa sih dia bisa marah? Lama-lama dia juga bakal nyerah kalau kamu kekeh menolak ide gilanya itu." Ucapnya memberikannya solusi.
Satu sudut bibirnya melengkung sinis, "lalu kau berniat menikahinya setelah lepas dariku, begitu maksudmu?"
Tirta terkekeh pelan, "kalau iya, kenapa? Tak masalah, bukan."
"Ya, tak masalah." Abidzar masih menyunggingkan senyum sinis. "Silahkan saja. Dalam mimpimu." Ucap Abidzar dengan kalimat terakhir ia lanjutkan hanya dalam hati.
Terang saja Tirta tersenyum makin sumringah. Ia merasa Abidzar sedang memberikannya celah untuk mendapatkan Freya. Tanpa ia ketahui, Abidzar tidaklah serius dengan perkataannya.
Untuk kali pertama setelah pernikahan keduanya, Abidzar hari ini pulang tepat waktu. Setelah masuk ke dalam kamar, ia tak langsung pergi mandi. Ia justru menuju ke balkon kamarnya dengan kemeja yang kancingnya terbuka semua. Abidzar mengeluarkan bungkusan rokok dan mengambilnya sebatang kemudian membakar ujungnya. Ia hisap batangan tembakau itu lalu menghembuskan asapnya ke udara.
Abidzar bukanlah seorang perokok. Tapi sesekali ia akan menghisapnya bila pikirannya sedang kacau. Ini lebih baik daripada meminum minuman beralkohol, pikirnya.
Saat sedang menghembuskan asap ke udara, mata Abidzar menangkap keberadaan Freya yang sedang khusyuk membaca novel yang Tirta pinjamkan. Ada perasaan tak biasa saat ia melihat perempuan itu. Entah apa itu, Abidzar masih sulit mengartikannya.
Tak lama kemudian, Bi Asih datang tergopoh-gopoh membuat dahi Abidzar berkerut penasaran, apakah gerangan yang membuat Bi Asih tampak tergopoh seperti itu.
"Non, non Freya," panggil bi Asih membuat Freya menoleh ke arahnya.
"Iya, bi. Ada apa?"
"Ini non, den Tirta telepon. Katanya mau bicara dengan Non Freya."
"Kak Tirta? Emang kak Tirta mau bicara apa?" tanya Freya penasaran.
"Bibik juga nggak tau, non. Kangen kali." Seloroh Bi Asih membuat Freya terkekeh.
"Mana ada. Bi Asih aneh-aneh aja sih. Mana mungkin lah kak Tirta kayak gitu. Apalagi aku ini istri tuan Abi, sahabat sekaligus sepupunya sendiri. Pasti mikirlah dia bi."
"Lah, ka- aduh, jadi lupa kan. Nih non, pasti den Tirta heran, kok lama banget." Bi Asih lantas menyerahkan ponselnya pada Freya seraya terkekeh. Freya pun menerimanya dan menempelkannya di telinga. Mereka pun mengobrol. Sesekali Freya terkekeh. Suara tawanya terdengar begitu indah di telinga. Namun, hal itu justru membuat Abidzar mengepalkan tangannya.
Malam hari tiba, Freya tampak membantu bi Asih menyiapkan makan malam. Di saat bersamaan, Abidzar muncul di area dapur. Tampak sesekali Freya berbincang sambil terus bergerak lincah membantu menyiapkan berbagai macam bahan. Baik Freya maupun bi Asih tidak ada yang menyadari keberadaan Abidzar. Ana dan Mina tidak ikut membantu sebab urusan masak-memasak merupakan tanggung jawab bi Asih.
"Hai bro, lagi ngapain?" sapa Tirta yang entah kapan datangnya sebab ia tiba-tiba saja sudah berada di samping Abidzar.
Abidzar tersentak, kemudian mengerutkan keningnya, "ngapain lagi loe datang ke sini? Jangan bilang mau numpang makan lagi? Alasan." Cibir Abidzar membuat Tirta nyengir kuda.
Bi Asih dan Freya yang mendengar suara kedua orang itu lantas menoleh. Namun mereka tak ingin ikut campur perbincangan keduanya. Mereka pun melanjutkan pekerjaan mereka.
"Hehehe ... ketauan deh." Jawabnya sambil garuk-garuk kepala.
Entah harus marah atau tersinggung, yang jelas Abidzar makin terusik dengan kelakuan sepupunya itu. Tapi ia bingung, harus melakukan apa. Ia tak mungkin melarang. Apa kata Tirta kalau ia melarang sepupu sekaligus sahabatnya itu mendatangi rumahnya terus-terusan. Bisa-bisa Tirta mengira dirinya cemburu.
"Tuan Abi, kak Tirta, makan malamnya sudah siap. Silahkan dimakan " Ucap Freya membuat dua orang yang sedang terpaku itu tersentak.
Mereka lantas segera menarik kursi masing-masing dan duduk. Freya ingin sekali mengambilkan nasi untuk Abidzar seperti yang sering Nanda lakukan pada Gathan dahulu, tapi ia ragu. Apakah Abidzar mengizinkannya? Apalagi ia sangat tahu kalau suami sirinya itu begitu membenci dan jijik pada dirinya.
"Fre, kamu nggak ikut makan?" tanya Tirta saat melihat Freya hendak segera pergi dari sana.
"Eh, itu, Freya makan sama bik Asih aja kak." Jawab Freya seraya mengulas senyum.
"Kenapa nggak bareng-bareng aja? Aku sengaja makan di sini biar bisa makan bareng-bareng kalian. Kalau cuma berdua sama patung itu, ngapain aku jauh-jauh ke sini. Makan disini, ya! Please." Pinta Tirta seraya memelas.
"Aku ... " Freya melirik Abidzar yang tampak acuh tak acuh. Ia ingin kembali menolak, tapi Tirta dengan cepat menarik lengan Freya agar duduk di sampingnya. Tirta juga tanpa canggung mengambilkan nasi berikut lauk pauk dan sayurnya untuk Freya. Freya menggigit bibir bawahnya. Ia merasa canggung sendiri dengan perlakuan Tirta. Namun ia tak berani menolak apa yang Tirta lakukan. Ia khawatir, Abidzar menilainya tak sopan bila menolaknya. Bukankah laki-laki itu saja membiarkannya. Freya pun hanya bisa menerima saja perlakuan Tirta yang memang sarat akan perhatian. Begitu pula Tirta, ia merasa senang Freya tidak menolak perlakuan dan perhatiannya.
Di sisi lain, Abidzar masih tampak makan dengan santai, tanpa ada yang menyadari, ia sedang susah payah memadamkan gemuruh di dadanya. Entah mengapa ia rasa kian terbakar melihat perlakuan pada Freya.
'Cih, dasar jalaaang. Sepertinya ia pun tengah mengincar Tirta untuk dijadikannya cadangan setelah berpisah denganku. Dasar, sekali jalaaang tetap jalaaang. Apanya yang berubah. Wajahnya boleh terlihat polos, tapi hatinya ... Kau ingin menjerat Tirta dengan sikap sok polos mu itu, hah? Takkan aku biarkan niat busuk mu itu berhasil. Aku pastikan itu.'
Selesai makan malam, Freya dibantu Ana membereskan piring-piring kotor dan mencucinya. Setelah selesai, Freya ingin kembali ke kamarnya. Tapi saat melewati taman samping tiba-tiba Tirta memanggilnya dan mengajaknya mengobrol bersama di taman itu. Sebenarnya Freya ingin menolak karena ia tak enak hati dengan Abidzar, tapi ia bingung bagaimana cara menyampaikannya. Mereka pun akhirnya mengobrol di sana. Saat jarum jam menunjukkan hampir pukul 9, barulah Tirta pamit pulang.
Setelah kepergian Tirta, akhirnya Freya bisa bernafas lega. Sebenarnya ia merasa kurang nyaman berbincang berdua saja dengan Tirta. Apalagi hari sudah agak larut seperti ini.
Freya pun dengan segera membuka pintu paviliun dan masuk ke dalamnya. Baru saja Freya hendak menutup pintu, tiba-tiba ada sepasang tangan mendorong pintu dengan kasar hingga Freya terhuyung dan nyaris jatuh.
Mata Freya terbelalak saat melihat siapa pelakunya, "tu-tuan." Lirih Freya gugup.
...***...
Maaf ya kak, belum bisa double up soalnya Othor masih belum fit. Mana si bocil bungsu othor sedang demam jadi rewelnya minta ampun. Sampai tengah malam pun bangun dan nangis minta gendong mulu. Semoga aja besok udah bisa double up seperti biasanya.
Makasih juga untuk yang selalu setia menanti kelanjutan cerita ini. Sarangheyo. 😘😘😘
...HAPPY READING 😍😍😍...
syediiih Thor