Aira harus memilih di antara dua pilihan yang sangat berat. Di mana dia harus menikah dengan pria yang menjadi musuhnya, tapi sudah memiliki dirinya seutuhnya saat malam tidak dia sangka itu.
Atau dia harus menunggu sang calon suami yang terbaring koma saat akan menuju tempat pernikahan mereka. Kekasih yang sangat dia cintai, tapi ternyata memiliki masa lalu yang tidak dia sangka. Sang calon suami yang sudah memiliki anak dari hubungan terlarang dengan mantannya dulu.
"Kamu adalah milikku, Aira, kamu mau ataupun tidak mau. Walaupun kamu sangat membenciku, aku akan tetap menjadikan kamu milikku," ucap Addriano Pramana Smith dengan tegas.
Bagaimana kehidupan Aira jika Addriano bisa menjadikan Aira miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Perang Dingin
Wajah Addrian tampak datar. Niana malah memperhatikan wajah Addrian dan kemudian Aira.
'Kenapa aku merasa wajah dua orang ini mirip ya?' ucap Niana dalam hati.
"Kenapa kamu tidak mau dijemput oleh Mas Dewa saja, Ai?"
"Aku kan sudah bilang alasannya sama kamu, Na. Kita pulang saja naik mobil online." Aira mencoba turun dari ranjang rumah sakit.
"Hati-hati." Addrian mendekat pada Aira.
Tangan Aira menahan dada Addrian. "Kamu tidak perlu menolongku, aku bisa sendiri."
"Apa kamu yakin?"
"Iya, aku yakin. Lagian di sini ada sahabatku yang bisa menolongku berjalan. Sebaiknya kita jangan terlalu dekat karena aku tidak mau ada yang melihat dan jadi salah paham. Aku mau menikah, Devil."
"Aku tau, dan aku tidak peduli. Aku hanya ingin membantu kamu, tapi kalau kamu sudah tidak membutuhkan bantuanku, aku akan pergi." Addrian berjalan beberapa langkah dan dia kembali menoleh. "Oh ya! Satu lagi, aku suka saat kamu memanggilku devil. Kamu seolah memberikan panggilan sayang untukku." Addrian mengedipkan salah satu matanya.
"Menyebalkan!" Aira terlihat kesal.
"Kak Addrian!" Niana tiba-tiba mengejar Addrian.
"Ada apa? Aku mau pulang."
"Kak Addrian, terima kasih sudah menolong Aira tadi. Oh ya! Kak Addrian tidak mau datang ke acara pernikahan Aira?"
"Bundaku akan datang, tapi maaf aku tidak bisa karena aku ada pertandingan basket di luar kota."
"Oh begitu! Tidak mau datang bukan karena alasan lain, kan?" celetuk Niana.
"Apa maksud kamu?" Kedua alis Addrian mengkerut.
"Tidak apa-apa! Lupakan saja." Niana berjalan mendekat pada Aira.
Aira mengkerutkan kedua alisnya melihat pada Niana. "Kamu ada apa berbicara berdua dengan dia? Kamu mau mengkhianati aku, Ya?"
"Iya, aku mau menjadi teman si devil yang sudah baik menolong sahabatku yang malah tidak mengucapkan terima kasih."
Aira baru sadar jika dia belum mengucapkan terima kasih pada Addrian. "Untuk apa mengucapkan terima kasih pada orang seperti dia? Dia sudah sangat berbuat tidak padaku."
"Soal dia yang mencuri ciuman pertama kamu? Aku tau dia salah, tapi kita juga harus bisa memilah sesuatu. Coba kalau hari ini kamu tidak ditolong kak Addrian, bisa-bisa kaki kamu kenapa-napa dan bagaimana dengan acara pernikahan kamu?"
"Kenapa kamu malah membela dia?"
"Bukan membela Aira, tapi lebih memberitahu kamu akan hal yang patut kamu pilah. Sudahlah! Sekarang kita pulang supaya kamu dapat istirahat dan minum obat. Semoga kaki kamu sembuh sebelum acara pernikahan kamu."
Aira melihat kakinya. "Hari ini aku sudah banyak berbohong pada Mas Dewa, Na."
"Tidak apa-apa. Kamu berbohong untuk kebaikan. Kalau kamu tadi jujur dan mengatakan hal sebenarnya yang ada malah akan menjadi masalah yang besar."
"Benar juga apa kata kamu. Nanti saja saat aku sudah menikah, dan aku berjanji tidak akan berbohong lagi pada suamiku."
"Itu baru istri yang baik."
Niana menolong Aira berjalan menuju tempat untuk menebus obat dan saat menunggu obat, Niana memesankan mobil online.
Setelah selesai, mereka pulang ke rumah. Aira dan Niana tidak tau jika Addrian dari tadi masih di sana untuk memastikan jika Aira kembali ke rumah dengan selamat.
"Addrian ... Addrian. Kamu ini kenapa? Kenapa kamu begitu tertarik pada Aira? Dia itu mau menikah dan akan menjadi istri Dewa. Kenapa kamu malah mengejarnya?" Addrian merutuki dirinya sendiri.
***
Seorang gadis sedang berjongkok berbicara dengan seorang pengamen kecil di dekat toko swalayan.
"Kamu tidak sekolah?"
"Tidak, Kak."
"Kenapa? Apa karena biaya?" Bocah itu menggeleng pelan. "Lalu karena apa?"
"Aku tidak punya ibu. Ibuku pergi entah ke mana karena bapakku tidak punya banyak uang. Bapakku sendiri sekarang sibuk bekerja. Aku pernah sekolah, tapi sering diejek karena tidak pernah diantar oleh ibu atau bapakku. Oleh karena itu aku tidak mau sekolah, mending aku bekerja saja bersama teman-teman jalananku."
Aira agak kaget mendengar apa yang dikatakan oleh anak itu. "Apa bapak kamu tau kalau kamu mengamen dan tidak sekolah?"
Bocah laki-laki itu menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Bapakku tau dan dia tidak peduli katanya."
Aira langsung memeluk anak itu. "Kenapa harus ada orang tua yang seperti itu di dunia ini," ucapnya dengan bibir bergetar.
"Kakak kenapa menangis?"
Aira melepaskan pelukannya. "Kamu harus tetap sekolah supaya menjadi orang yang berguna. Bukan untuk orang lain atau kedua orang tua kamu, tapi untuk diri kamu sendiri."
"Tapi aku sedih jika mendengar ejekan mereka."
"Biarkan saja. Ejekan mereka akan berhenti sendiri jika kamu tidak memperdulikannya. Kamu harus tetap sekolah agar menjadi orang sukses, dan nanti kalau kamu menjadi seorang ayah, jangan meniru apa yang dilakukan oleh ayah dan ibu kamu. Jadilah orang tua yang baik untuk anak kamu kelak. Kamu tidak mau, kan, anak kamu seperti kamu?"
Bocah yang usianya sekitar sembilan tahun itu menggeleng. Dia paham apa yang Aira katakan.
"Aku juga sebenarnya ingin bekerja dan punya uang agar ibuku mau pulang kalau aku punya uang banyak."
"Ibu kamu suatu saat pasti akan merindukan kamu. Jangan membencinya jika dia kembali karena bagaimanapun juga ibumu yang melahirkan kamu."
"Aku tidak pernah membenci ibuku. Malahan aku sangat merindukannya," Anak itu seketika menangis.
Aira yang tidak tega melihat kerinduan anak itu pada ibunya memeluknya dengan erat. "Kamu harus kuat. Kamu seorang laki-laki."
Aira dan bocah laki-laki itu tidak tau jika ada seseorang yang tidak sengaja berdiri di dekat mereka mendengar kejadian mengharu biru itu.Ya! Inilah awal Addrian melihat siapa sosok Aira setelah itu mereka bertemu di tempat makan dengan kejadian yang tidak menyenangkan.
Mama Aira kaget melihat kaki putrinya yang dibalut perban dan Aira berjalan agak susah.
Niana menceritakan apa yang terjadi pada Aira. "Kamu itu kenapa tidak hati-hati? Lalu, apa kata dokter?"
"Tidak apa-apa, Ma. Kaki aku akan segera sembuh, dan dia hari pernikahan aku nanti. Aku akan bisa berjalan dengan baik."
"Hem ...! Kenapa malah memikirkan itu terus. Fokus pada kaki kamu dulu."
Niana pun tau jika mama Aira sebenarnya tidak terlaku setuju saat Aira dekat dengan mas Dewa.
"Tante, Niana izin pamit pulang dulu. Ini tas dan ada obat Aira di dalamnya."
"Terima kasih, Niana."
"Na, jangan lupa berikan kado pemberianku untuk ibu kamu."
"Iya, Ai. Kamu fokus sembuh dulu buat kaki kamu." Aira mengangguk.
"Belum menikah saja kamu sudah mendapat musibah seperti ini. Mungkin memang si Dewa itu tidak jodoh sama kamu," gerutu mamanya.
"Mama! Jangan bilang begitu. Kaki aku ini masih sakit. Kenapa mama malah bicara yang tidak enak begitu?" Aira mengerucutkan bibirnya kesal.