Siapa sangka niatnya merantau ke kota besar akan membuatnya bertemu dengan tunangan saudara kembarnya sendiri.
Dalam pandangan Adam, Emilia yang berdiri mematung seolah sedang merentangkan tangan memintanya untuk segera memeluknya.
"Aku datang untukmu, Adam."
Begitulah pendengaran Adam di saat Emilia berkata, "Tuan, apa Tuan baik-baik saja?".
Adam segera berdiri lalu mendekat ke arah Emilia. Bukan hanya berdiri bahkan ia sekarang malah memeluk Emilia dengan erat seolah melepas rasa rindu yang sangat menyiksanya.
Lalu bagaimana reaksi tunangan kembaran nya itu saat tau yang ia peluk adalah Emilia?
Bagaimana pula reaksi Emilia diperlakukan seperti itu oleh pria asing yang baru ia temui?
Ikuti terus kisah nya dalam novel "My Name is Emilia".
***
Hai semua 🤗
ini karya pertamaku di NT, dukung aku dengan baca terus kisah nya ya.
Thank you 🤗
ig : @tulisan.jiwaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hary As Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Menjaganya di Rumah Sakit
Begitu sampai di rumah sakit, Emilia segera dibawa ke ruang UGD. Adam yang tidak diijinkan untuk masuk ke dalam terpaksa menunggu sendirian di luar dengan penuh kecemasan. Dirinya hanya mondar mandir tak tentu arah di depan pintu ruang UGD.
Sekilas ingatan nya saat Emelda meninggal dunia beberapa bulan yang lalu mulai menghantuinya. Entah mengapa ada rasa takut untuk kehilangan seseorang lagi, padahal dirinya sendiri juga baru berkenalan dengan Emilia. Ada juga rasa menyesal yang timbul dari dalam dirinya. Kalau saja tadi dia lebih cepat turun dari mobil dan menolong Emilia mungkin tidak begini kejadiannya.
Sekarang dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa merutuki kebodohannya. Tak seharusnya dia berlaku impulsif terhadap Emilia hingga menyebabkan Emilia keluar dari kantor nya, lalu dia malah mempersulit Emilia mencari pekerjaan hingga Emilia harus berjualan roti keliling dan akhirnya mengalami peristiwa buruk seperti ini. Itu semua karena kesalahannya.
Selang beberapa waktu kemudian pintu ruang UGD terbuka. Terlihat dokter Harris keluar dari ruangan itu diikuti beberapa perawat yang mendorong Emilia yang terbaring tak sadarkan diri di atas brankar.
Bagaikan dejavu Adam tersentak melihat itu. Kejadian ini persis seperti yang pernah dialaminya beberapa bulan lalu. Adam terdiam sejenak hingga dokter Harris menyapanya.
“Tuan, anda baik-baik saja?” tanya dokter Harris.
“I-iya dokter. Aku baik-baik saja. Bagaimana keadaan nya dokter? Apa lukanya parah?” tanya Adam dengan sangat khawatir.
“Tuan tidak perlu khawatir. Masa kritis nya sudah lewat. Tusukan nya tidak begitu dalam, tidak sampai merusak organ bagian dalam. Hanya saja dia memang mengeluarkan banyak darah sehingga kondisinya cukup lemah.” Jelas dokter Harris.
“Syukurlah dokter. Lalu bagaimana sekarang? Apa dia masih akan dirawat dulu di rumah sakit?” tanya Adam lagi.
“Iya, Tuan. Sekarang kami akan memindahkan nya ke ruang rawat inap dan....”
“Pindahkan ke ruang VVIP. Berikan perawatan terbaik untuknya. Aku mau dia segera sembuh.” Adam langsung memotong penjelasan dokter Harris.
Dokter Harris tersenyum lalu membenarkan kacamata nya yang agak turun, “Baiklah Tuan Adam, anda tidak perlu khawatir. Kami akan berikan perawatan terbaik untuk Nona...Nona...bukan Nona Emelda kan?”
“Namanya Emilia. Saudara kembar Emelda.” Jawab Adam yang membuat dokter Harris sedikit terkejut.
Dokter Harris tak lagi berkomentar meskipun setaunya Emelda hanya seorang diri dan tidak memiliki keluarga lagi. Ia tak mau ikut campur terlalu banyak urusan pribadi orang lain.
Kemudian ia memerintahkan para perawat membawa Emilia ke ruang VVIP sesuai permintaan Adam. Adam kali ini ikut mengantarnya hingga kesana.
Ruang VVIP yang dimaksud sangat luas untuk ukuran kamar pasien. Terdapat sebuah ranjang pasien yang cukup besar. Disampingnya ada lemari kecil yang dihiasi bunga segar di dalam vas kaca di atasnya. Ada juga sofa yang empuk dan cukup luas berwarna coklat muda. Tak ketinggalan meja kayu sebagai pendamping nya. Tidak sampai disitu, selain menggunakan AC sebagai pendingin ruangan, ada juga televisi yang cukup besar disana. Rasa-rasa nya pasien yang dirawat disana akan betah berada di kamar seperti itu, apalagi ada kamar mandi juga di dalamnya lengkap dengan segala peralatannya.
Tinggal lah Adam dan Emilia berdua disana. Adam menarik sebuah kursi lalu duduk disamping Emilia yang sedang berbaring tak sadarkan diri. Diperhatikannya selang infus yang menancap di pergelangan tangan Emilia lalu beralih ke wajah yang pucat itu.
Adam mengulurkan tangan nya menyentuh pipi Emilia dengan sangat hati-hati. Lalu diusapnya pipi itu dengan lembut.
“Maafkan aku karena terlambat menyelamatkanmu. Tapi ini semua juga karna kau benar-benar keras kepala Emilia.” Ucap Adam pelan dengan menyunggingkan senyuman. Tangan nya tetap mengusap pipi Emilia.
“Ciuman pertama dan kedua? Aku tidak menyangka kau masih sepolos itu.” Imbuhnya lagi sambil terkekeh mengingat ucapan Emilia beberapa hari yang lalu saat ia menciumnya.
“Kau tau, aku rasa kau sangat menggemaskan.” Lalu tiba-tiba Adam mendekatkan bibir nya ke bibir Emilia dan mengecup nya tiga kali.
Cup. Cup. Cup.
“Aku ingin tau bagaimana reaksimu saat tau aku juga mengambil ciuman ketiga, keempat dan kelima mu.” Kata Adam sambil terkekeh pelan.
“Ekkkhheeemmm.”
Sebuah deheman yang cukup keras berhasil mengejutkan Adam. Adam menjauhkan wajah nya dari Emilia dengan cepat. Rupanya Ian sudah berdiri tepat di depan pintu kamar.
Adam jadi salah tingkah. Wajahnya mendadak memerah. Siapa sangka asisten nya itu sudah ada di sana. Kapan dia masuknya. Kenapa Adam tidak sadar saat dia masuk.
Adam pun segera menghampiri Ian.
“Apa yang kau lakukan disini? Kapan kau masuk?”
“Saya hanya ingin melihat kondisi Nona Emilia, Tuan. Tadi saya mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban. Jadi saya langsung masuk saja.”
“Sejak kapan kau ada disini?”
“Sejak.....sejak itu, Tuan.”
“Itu apa?”
Ian tidak menjawab, dia hanya menjawab melalui tangan nya yang ia kerucutkan. Adam pun menepis tangan Ian dengan kasar. Sementara Ian hanya tertawa pelan melihat reaksi Adam. Sejujurnya Adam malu ketahuan mencium Emilia seperti itu. Dimana wibawa nya sebagai seorang atasan jika ketahuan melakukan hal yang tidak-tidak itu di depan bawahannya.
“Sudah. Kau pulang saja. Tugas mu memastikan dua preman tadi masuk ke penjara.” Kata Adam mengalihkan pembicaraan.
“Mereka sudah dibawa ke kantor polisi, Tuan. Saya juga sudah membuat laporan nya.”
“Bagus. Sekarang pulang lah.”
“Bagaimana dengan Nona Emilia? Apa Tuan akan menjaga nya?” tanya Ian mulai menggoda atasannya.
“Ya, aku akan menjaga nya karena aku hanya merasa bersalah, seharusnya aku bisa lebih cepat menolongnya tadi.” Jawab Adam.
“Baiklah Tuan, saya percaya. Kalau begitu saya ijin pulang dulu.”
“Eh tunggu. Tolong bawakan pakaian ganti untuk ku dan Emilia. Dan sepertinya besok aku juga tidak ke kantor dulu karna masih menjaga nya. Kau tolong atur urusan kantor dulu ya.”
“Baik, Tuan. Lalu bagaimana dengan Nyonya Anita? Beliau pasti menanyakan Tuan.”
“Ah iya, aku sampai lupa. Bilang saja pada ibuku, aku menginap di apartemenku. Bilang padanya aku masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Terserah lah kau mau menambah alasan apalagi, yang penting rahasiakan ini dari ibuku.”
“Baik, Tuan. Saya akan urus semuanya.”
Ian pun keluar dari kamar itu. Adam menghela nafas lega saat Ian sudah keluar.
Sial. Ketahuan Ian. Awas saja kalau dia berani ngadu macam-macam ke Emilia.
Adam pun kembali duduk di samping Emilia. Ia terus duduk disitu sampai ketiduran.
nana naannananaa