NovelToon NovelToon
Suami Hyper Anak SMA

Suami Hyper Anak SMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Bad Boy / Teen Angst / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Raey Luma

"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pelukan

Setelah percakapan singkat dengan Bi Marni, Leora akhirnya bangkit dari kasur.

Tubuhnya masih terasa sedikit berat, tapi kepalanya sudah jauh lebih ringan dari malam tadi. Ia membawa pakaian ganti, masuk ke kamar mandi, membiarkan air hangat mengguyur tubuhnya.

Lima belas menit kemudian, Leora kembali ke kamar itu.

Sarapan sudah tertata rapi. Nasi hangat, telur dadar, dan semangkuk sup bening yang aromanya menenangkan. Ia duduk pelan, menarik kursi, lalu mulai makan.

Namun begitu garpu menyentuh piring—

Pikirannya melayang.

Davin.

Hari ini dia masih bertanding.

Leora berhenti mengunyah, menatap kosong ke depan.

Kemarin terlalu kacau. Terlalu banyak hal aneh.

“Harusnya hari ini normal…” gumamnya pelan.

Ia menghela napas.

“Tapi… Davin bukan tipe orang yang cari perhatian. Dia juga nggak pernah pamer. Pasti ada sesuatu di balik semua itu.”

Entah kenapa, Leora justru merasa yakin pada satu hal, jika Davin tahu apa yang ia lakukan.

Dan keyakinan itu membuat dadanya sedikit lebih tenang.

---

Di sisi lain kota, Davin berdiri di depan aula sekolah lain, tas olahraga disampirkan di bahu. Udara pagi terasa berbeda.

Begitu kakinya menginjak lantai aula, sorakan langsung menyambut.

Teriakan supporter menggema. Beberapa guru berdiri di sisi lapangan. Suasana ramai, tapi tertib.

Tidak ada tatapan menusuk. Tidak ada bisik-bisik mencurigakan. Tidak ada Rey.

Davin menoleh sekilas ke sekeliling.

Kosong.

“Kayaknya dia nyerah,” pikir Davin, rahangnya mengendur.

Tim lawan sudah bersiap di sisi seberang. Wajah mereka fokus, serius, tapi tidak licik.

Coach mereka datang agak terlambat, wajahnya sedikit terburu-buru.

“Maaf telat,” katanya singkat. “Main seperti biasa. Jangan terpancing apa pun.”

Davin mengangguk.

Tanpa gangguan, tanpa tekanan berlebihan, permainan berjalan mulus.

Davin bergerak cepat. Langkahnya presisi. Keputusannya tenang.

Tanpa kecurangan, tanpa provokasi, ia dengan mudah membaca pergerakan lawan.

Satu poin. Dua poin. Tiga poin.

Tim lawan mulai kewalahan.

Sorak sorai semakin keras saat Davin mencetak angka penentu. Peluit panjang berbunyi menandakan akhir dari pertandingan.

Menang.

Beberapa siswa berteriak kegirangan. Tepuk tangan memenuhi aula.

Davin menghela napas panjang, keringat menetes dari pelipisnya, tapi kali ini senyum yang muncul di wajahnya bukan karena euforia… melainkan kelegaan.

Hari ini bersih.

Tidak ada yang mengganggu. Tidak ada yang mengacaukan.

Ia meraih botol minum, meneguk isinya, lalu tanpa sadar tangannya bergerak ke saku celana.

Ponselnya.

Tidak ada pesan baru.

Namun entah kenapa, nama Leora terlintas begitu saja di kepalanya.

“Lo lagi ngapain ya sekarang…” gumamnya pelan.

Lamunannya terhenti, ketika tim mulai berlalu lalang untuk pulang. Tim Davin tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Sesuai arahan coach, mereka diminta kembali ke sekolah asal untuk evaluasi singkat dan pengumuman jadwal berikutnya.

Beberapa anak berboncengan. Beberapa tertawa keras, masih terbawa euforia kemenangan. Motor-motor melaju beriringan, membelah jalan yang mulai lengang.

Davin menyalakan motornya terakhir.

Seperti biasa, ia memilih berada di paling belakang. Karena ia lebih merasa nyaman jika menjaga jarak.

Angin siang itu menyapu wajahnya. Jalanan menurun ringan, lalu berbelok panjang. Davin memutar gas pelan, menjaga kecepatan tetap stabil.

Sampai tiba-tiba—

Davin menekan rem depan.

Tidak ada respon.

Ia menekan rem belakang.

Kosong.

Alisnya langsung mengerut. Tangannya refleks mencoba lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

Tetap tidak ada.

“Kenapa—” napasnya tersendat.

Motor justru melaju lebih cepat mengikuti turunan jalan. Davin mencoba menurunkan gigi, berharap mesin menahan laju. Tapi reaksinya terlambat karena kecepatan sudah terlanjur naik.

Ia melirik ke depan.

Kosong.

Rombongan sudah jauh. Suara motor mereka hanya tinggal gema samar.

“Tenang… tenang,” gumam Davin, berusaha berpikir jernih.

Ia memiringkan setang sedikit, mencoba menggeser arah. Tangannya gemetar, tapi otaknya bekerja keras. Ia tahu motor ini. Ia mengendarainya setiap hari. Tidak pernah ada masalah.

Dan ia yakin—

Tadi pagi, motornya baik-baik saja.

“Rem nggak mungkin rusak sendiri…” pikirnya, dada mulai terasa sesak.

Jalanan di depannya semakin menurun, lalu berbelok tajam ke kanan. Di sisi kiri, ada pembatas. Di kanan—jurang kecil yang ditutup semak.

Pilihan Davin menipis.

Ia ingin berteriak. Tapi tenggorokannya terkunci. Tidak ada siapa-siapa yang bisa mendengar.

Tangannya kembali menekan rem, seolah berharap keajaiban terjadi.

Tidak.

Kecepatan makin gila.

“Kalau gue terus lurus…” pikirannya berputar, “…habis.”

Saat putus asa mulai menyelinap—

Dua motor tiba-tiba muncul dari sisi kiri.

Mereka melaju sejajar dengannya.

“BRO! JANGAN REM!” teriak salah satu dari mereka, suaranya terpecah angin.

Davin menoleh cepat, matanya membelalak.

“BIARIN! TURUNIN GAS! IKUTIN ARAH KITA!” teriak yang satunya sambil memberi isyarat tangan.

Davin tidak sempat bertanya siapa mereka. Tidak sempat berpikir panjang.

Naluri mengambil alih.

Ia mengikuti gerakan tangan itu, melepas gas perlahan. Dua motor itu mengapitnya—satu di kiri, satu di kanan—menjaga jarak, memaksanya tetap lurus.

“DI BELokan DEPAN—LEPAS KE KANAN!” teriak mereka.

Belokan itu mendekat dengan cepat.

Davin melihatnya.

Dan tepat setelah belokan—

Lapangan hijau terbentang luas.

Tanah. Rumput. Kosong.

“SEKARANG!”

Davin memiringkan setang sekuat tenaga.

Motor itu menghantam rumput, bannya selip, tubuhnya terlempar sedikit—tapi tanah lunak menahan laju. Motor terguling beberapa meter sebelum akhirnya berhenti.

Sunyi.

Davin terbaring telentang, napasnya terengah, dadanya naik turun tidak karuan. Dunia terasa berputar, tapi… ia masih bernapas.

Masih hidup.

Dua motor itu berhenti tak jauh darinya. Kedua pengendara turun dan berlari menghampiri.

“Lo nggak apa-apa?!” tanya salah satu dari mereka.

Davin menelan ludah, tenggorokannya kering.

“…Rem gue blong,” ucapnya parau.

Salah satu dari mereka menatap motornya, lalu menghela napas panjang. “Gila… lo beruntung banget.”

Davin memejamkan mata sejenak.

Salah satu dari mereka membantu Davin duduk di tepi lapangan. Tangannya masih sedikit gemetar, tapi kesadarannya sudah utuh.

“Lo yakin nggak ada yang patah?” tanya pria itu lagi, jongkok di depannya.

Davin menggeleng pelan. “Enggak… cuma kaget.”

Pria satunya sudah berdiri di dekat motor Davin yang terguling, menegakkannya perlahan. Ia menekan tuas rem, lalu langsung mendecak kesal.

“Rem depan sama belakang kosong. Ini bukan aus biasa,” katanya serius. “Gue cari bengkel terdekat dulu. Motor lo nggak bisa dipaksa jalan.”

Davin menatap motornya lama. Ada rasa tidak enak yang kembali merayap di dadanya.

“Thanks… serius,” ucapnya lirih.

Pria yang pertama menepuk bahunya. “Santai. Yang penting lo gak kenapa napa.”

Ia menoleh ke temannya. “Gue anterin dia pulang dulu. Lo kabarin gue kalau motor udah aman.”

“Siap.”

Davin terdiam sejenak, lalu berkata, “Sebenernya… gue harusnya balik ke sekolah.”

Pria itu menatap wajah Davin yang masih pucat, “Dengan kondisi begini? Jangan maksa. Muka lo aja masih kayak habis liat maut.”

Davin menghela napas pelan.

Ia tahu itu benar.

Kalau ia muncul di hadapan tim dan coach dengan tangan gemetar, baju kotor, dan pikiran kacau, pertanyaan akan datang bertubi-tubi. Dan ia… belum siap menjelaskan apa pun.

“Gue pulang dulu aja,” ucap Davin akhirnya. “Nanti gue jelasin ke tim.”

Pria itu mengangguk. “Naik motor gue.”

Davin menurut.

Ia naik sebagai penumpang, memegang jaket pria itu ringan tidak terlalu erat, dan lepas.

“Lo anak sekolah mana?” tanya pria itu di tengah jalan.

“SMA Bima,” jawab Davin singkat.

“Oh… yang lagi ikut turnamen itu?”

Davin mengangguk.

“Pantesan tadi rame.”

Davin menatap jalanan yang bergerak mundur di bawah mereka.

Tangannya mengepal pelan.

Ini bukan sekadar kecelakaan.

Dan entah kenapa, nalurinya berbisik pelan.

Hari ini memang tidak ada kekacauan di lapangan.

Tapi itu tidak berarti semuanya aman.

Beberapa saat kemudian, motor berhenti di depan rumah Davin.

“Udah sampai,” kata Davin.

Motor berhenti, “Istirahat yang bener. Jangan mikir yang aneh-aneh dulu.”

Davin turun, menatap rumahnya sebentar sebelum menoleh lagi.

“Makasih. Kalau tadi nggak ada lo… gue nggak tau jadinya.”

Pria itu tersenyum tipis. “Hati-hati lain kali.”

Motor itu melaju pergi, meninggalkan Davin sendirian di depan pagar.

Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pagar dan melangkah masuk.

"Davin?"

Langkahnya terhenti.

Leora ternyata ada di luar rumah. Sedang membantu Bi Marni mengangkat jemuran.

"Lo–"

Ucapa Leora terputus, lalu dengan refleks Davin memeluknya erat.

Bi Marni yang melihat itu sontak menutup mulutnya sendiri.

"Davin?"

"Jangan lepasin"

1
Shifa Burhan
author tolong jawaban donk dengan jujur

*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri

*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain

tolong Thor tanggapan dan jawaban?
Raey Luma: Sementara contoh yang kakak sebutkan mungkin lebih menonjolkan karakter pria yang arogan, sehingga apa pun yang dia lakukan selalu tampak salah di mata pembaca. Apalagi di banyak novel, perempuan yang dinikahkan secara paksa biasanya digambarkan berasal dari tekanan ekonomi atau tanggung jawab keluarga, sehingga karakternya cenderung lebih lemah dan rapuh. Dan itu yang akhirnya membuat tokoh pria terlihat seperti pihak yang “dibenci”.


Beda dengan alur ceritaku di sini, di mana pernikahan mereka justru terjadi karena hal konyol dua orang ayah yang sama-sama sudah kaya sejak lama, jadi dinamika emosinya memang terasa berbeda.

Kurang lebih seperti itu sudut pandangku. Mohon maaf kalau masih ada bagian yang kurang, dan terima kasih sudah berbagi opini 🤍
total 2 replies
Felina Qwix
kalo aja tau Rey si Davin suaminya Leora haduh🤣🤣🤣
Raey Luma: beuuh apa ga meledak tuh sekolah🤣
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!