Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Office War: Natasha vs Wanita Spreadsheet (Bagian 2)
KANTOR FELIX JAM 17.20
LANTAI 7. RUANG SERBA GUNA.
Aku datang berangkat langsung dari kantor. Aku udah nagabari Felix sebelumnya. Jadi saat aku sampai dia sudah menungguku di lobby.
Ruang tempat aku hendak melakukan beta testing cukup luas. Ada layar besar di dinding dengan cat ruangan berwarna cerah. Tapi hanya ada Felix dan aku di sana.
“Oke. Gue udah siap,” ucapku padanya dengan gaya atlit lari yang hendak mulai bergerak.
Dia menyerahkan headset dan satu laptop.
“Ngobrol sama AI-nya. Bikin dia bingung. Kalau AI-nya bilang ‘HAH?’ tiga kali, lo menang.”
Dan aku—melakukannya.
Sepenuh hati.
Beberapa jam kemudian. NPC AI-nya udah stress. Laptopnya mulai panas. Felix—tersenyum samar. YA, SENYUM, BENERAN!
Aku? Aku puas. Aku berhasil bikin AI ngomong: “Aku tidak bisa memproses ini, apakah ini dunia nyata?”
Dia menatapku dengan mata seperti baru saja menemukan spesies langka.
“Lo… hebat juga, ya.”
Gue pengen tersenyum lebar. Tapi masih ingat untuk mempertahankan citra gak gampang terbuai pujian. Jadi hanya senyum minimalis.
“Udah biasa, gue pernah bikin guru matematika nanya ke dirinya sendiri apakah dia salah jurusan.”
Lalu dia—nginput kontakku sebagai “Tainer NPC- Meisya” di laptopnya.
“Nanti gue kontak lo lagi ya. Kita butuh lo buat sesi berikutnya.”
Aku ngangguk, tapi dalam hati bertanya-tanya.
‘Apakah tidak apa- apa orang luar sepertiku keluar masuk perusahaan dia seperti ini?’
Seperti biasa. Felix mengantarku pulang dengan alasan yang tanpa dia bicara sudah terekam jelas di kepalaku.
Sesampai di rumah aku langsung menghubungi Rahma. Harus curhat dulu ke diary hidupku itu.
Telpon berdering. Disambungkan.
“Halo Mbak AI yang sekarang sibuk melatih NPC berbicara?” ujar Rahma di seberang.
Sebelum ke kantor Felix, aku udah spill dulu ke Rahma soal Felix yang minta tolong buat ngelatih NPC.
“RAHMA. GUE. BARU. AJA. BIKIN. AI. NANYA. ‘KENAPA ADA ORANG MAKAN BAKSO PAKE SEMANGKA’ DAN FELIX NGANGGUK BANGGA. APA INI NORMAL?”
“Hahaha. Maaf. Maaf. Tapi sumpah, ini kayak mimpi absurd yang kita obrolin waktu kuliah. Lo masih inget gak dulu lo pernah bilang pengen kerja yang bisa nyalurin absurditas tanpa dipecat?”
“YES, DAN KINI MIMPI ITU JADI NYATA. Tapi masalahnya adalah—”
Aku diam sejenak.
“Felix?” sambung Rahma dari seberang.
“IYAAA RAHMA. GIMANA BISA COWOK YANG PERNAH NYALAHIN GUE CABUL, BILANG GUE PUNYA ‘RESPON KOMPLEKS’, TERUS BILANG GUE BERBAKAT DALAM ABSURDITAS, SEKARANG KERJA SAMA GUE KAYAK KITA DUA ORANG YANG MAU BIKIN STUDIO ANIME?!”
Suaraku naik satu oktaf saking semangatnya bercerita. Tapi di sambut oleh tawa renyah Rahma dari seberang.
“Sya, please. Lo bukan jatuh cinta. Lo cuma seneng ada cowok yang ngangep ngomong ‘kucing itu alien’ adalah kontribusi ke masyarakat.”
“GUE UDAH MENCOBA UNTUK TIDAK SALAH TAFSIR. Tapi dia kasih gue headset special, ada sticker kura-kuranya. ITU PERSONAL. GAK SEMUA ORANG DAPET KURA-KURA, RAHMA!”
Rahma teriak sambil ketawa,
“TUHAN, INI TERLALU KOMEDI UNTUK NAFAS GUE!”
Malam itu dihiasi dengan teori-teori absurd Rahma soal mengapa Felix memilihku buat melatih NPC-nya sampai jam hampir menunjukan pukul 00.01.
Akhirnya telpon absurd itu selesai. Kami lanjut berlayar ke pulau kapuk di kamar masing-masing.
Pagi hari berikutnya, aku lagi buru-buru keluar rumah buat berangkat kerja. Saat melewati coffee shop Mas Johan, aku melihatnya baru saja buka rolling door sambil nyapu pelan. Dia pakai hoodie tipis dan senyum manis yang khas banget.
Aku lagi lari-lari kecil sambil nyoba masang earphone satu, dan kayaknya nasi di perutku masih memberontak karena di suruh buru-buru cerna. Sumpah, jam segini tuh krusial—telat satu menit, bisa-bisa lift kantor penuh aroma pegkhianatan Indomie rebus dari lantai atas.
“Eh Meisya…” suara berat itu nyelip di antara deru motor tetangga yang lagi panasin knalpotnya kayak pengen terbang.
Aku noleh sekilas sambil lambaikan tangan, “Pagi, Mas Johan! Maaf ya, buru-buru banget!”
Tapi Mas Johan malah jalan pelan ke arahku, masih nyapu, padahal sapunya udah jauh dari tumpukan daun. Sapuan formalitas. Aku curiga yang dia sapu itu udah tiga hari nggak masuk tempat sampah.
“Kopi buat semangat udah masuk belum, Mei?” tanyanya dengan suara bak rayuan pulau kelapa.
“Belom—tapi kayaknya telat dua menit lagi gue nggak butuh kopi, tapi butuh surat pernyataan permintaan maaf ke HRD.” Jawabku nyengir absurd, jelas banget nggak focus.
Dia mengangguk sambil tersenyum tipis.
“Kalau gitu, nanti gue simpenin satu. Yang kayak kemaren—yang lo bilang, manis tapi nggak bikin enek.”
“Aaah iya, yang latte vanilla low sugar itu ya? Wah, boleh banget. Tapi ntar gue bayar, Mas. Jangan seenaknya ngasih gratisan terus. Bisa-bisa gue nggak tau diri trus merasa hutang budi lalu mulai nyapu depan coffee shop buat bayar.”
Dia ketawa kecil.
“Nggak apa-apa, Mei. Gue nggak nyari balasan. Kadang, bikin orang yang kita suka pagi harinya sedikit lebih ringan—itu udah cukup.”
Aku berhenti sejenak, tapi nggak mencerna kalimat Mas Johan sepenuhnya.
“Wah—bijak banget, Mas. Serius deh, kadang gue bingung, Mas Jo ini barista atau motivator.”
Aku tertawa sendiri, lalu kembali lari-lari kecil menuju ojek online yang udah nunggu diujung gang.
Aku nggak sadar bahwa Mas Johan masih ngeliatin kepergianku sambil nyender ke sapunya.
Dimataku, dia cuma tetangga cakep, si paling ramah yang suka ngasih kopi gratisan dengan dalih test rasa plus ngasih senyuman maut yang hadir jadi marketing coffee shopnya tanpa perlu mengandalkan selebgram buat promosi.
Tapi mungkin—dimatanya, aku adalah seseorang yang bikin pagi harinya worth it buat nyapu halaman lebih awal.
Sayangnya, aku terlalu sibuk bertahan di drama kantor yang tidak ada habisnya. Di tambah lagi mikirin cara membalas email Pak Darwis yang tone-nya ambigu—lebih ambigu dari perasaan gue ke Mas Johan yang aku kira cuma Friendly neighbor vibes tapi sukses bikin aku kepikiran seharian dan bikin aku bimbang.
Rahma sering menyuruhku untuk segera menggoda Mas Johan biar langsung profil WA bareng dia, sehingga tidak ada lagi drama cemburu buta atau drama perjodohan yang memeras otak.
Tapi bagiku tertarik saja tidak cukup untuk membangun sebuah hubungan. Aku harus memastikan bahwa orang yang bersangkutan memiliki ketertarikan yang sama denganku. Bukan hanya ramah kepada semua orang seperti Mas Johan.
‘But overall Mas Johan adalah kandidat yang kuat sih. Dia juga gentle. Dan tau cara menolak gadis-gadis tanpa menyakiti hati mereka. Tapi kembali lagi. Terlalu sempurna juga mencurigakan.’ Pikirku menarik nafas pelan.
Siap melangkah menuju Office War season 2. Dan kali ini aku datang dengan Tank yang kuat dan tangguh. Natasha nggak bakal bisa berkutik.
**