Karenina, gadis cantik yang periang dan supel. Dia hidup sebatang kara setelah kehilangan seluruh keluarganya saat musibah tsunami Aceh. Setelah berpindah dari satu rumah singgah ke rumah singgah lainnya. Karenina diboyong ke Bandung dan kemudian tinggal di panti asuhan.
Setelah dewasa, dia memutuskan keluar dan hidup mandiri, bekerja sebagai perawat khusus home care. Dia membantu pasien yang mengalami kelumpuhan atau penderita stroke dengan kemampuan terapinya.
Abimanyu, pria berusia 28 tahun yang memiliki temperamen keras. Dia memiliki masa lalu kelam, dikhianati oleh orang yang begitu dicintainya.
Demi membangkitkan semangat Abimanyu yang terpuruk akibat kecelakaan dan kelumpuhan yang dialaminya. Keluarganya menyewa tenaga Karenina sebagai perawat sekaligus therapist Abimanyu.
Sanggupkah Karenina menjalankan tugasnya di tengah perangai Abimanyu yang menyebalkan? Apakah akan ada kisah cinta perawat dengan pasien?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perintah Beno
Di sebuah klub malam, Dika dan beberapa temannya sedang merayakan pesta bujang. Menjelang pernikahannya yang hanya menyisakan waktu kurang dari dua belas jam, Dika justru menghabiskan malam dengan minum-minum dan bercumbu dengan wanita bayaran.
Seorang wanita berpakaian seksi yang menemaninya minum menyambar bibir Dika lalu me**matnya dengan ganas. Terdengar tepukan dan sorakan dari teman-temannya, membuat pria itu semakin bernafsu. Hampir saja Dika menerkam wanita itu di tempat kalau temannya tak menepuk lengannya.
Dika mengakhiri cumbuannya lalu melihat ke arah temannya. Dia melihat ke seorang pria yang ditunjukkan temannya. Kerongkongan Dika tercekat, mendadak suasana hatinya tak enak. Pria bertubuh tegap dengan tato memenuhi kedua lengannya menggerakkan telunjuk ke arah Dika. Meminta lelaki itu mendekat padanya.
Dengan dada berdebar Dika menghampiri pria tersebut. Dia menepuk kursi kosong di sebelahnya. Dika menurut saja lalu duduk di samping pria itu. Belum ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Lelaki itu memilih menghabiskan minumannya lebih dulu. Sambil menunduk, Dika melirik ke arah pria di sebelahnya.
Siapa yang tak mengenal Beno. Dia adalah kepala preman yang menjaga keamanan klub malam yang ada di jalan Braga. Siapa pun yang berurusan dengannya akan berakhir di rumah sakit atau kuburan.
“Kamu.... Dika, benar?” terdengar suara berat Beno.
“I... iya bang.”
“Kamu juga yang telah memperk**a adikku, benar?”
Wajah Dika langsung memucat. Telapak tangannya mulai mengeluarkan keringat dingin. Kecemasan sekaligus ketakutan langsung melandanya. Tiga bulan lalu dalam keadaan mabuk dia menyeret seorang gadis yang baru pulang bekerja dan membawanya ke hotel. Di sana dia memper**sa gadis itu lalu meninggalkannya begitu saja pagi harinya.
Beberapa hari setelahnya dia baru tahu kalau gadis yang diper**sanya adalah adik dari Beno, kepala preman yang sangat ditakuti. Dengan uang dan kekuasaan sang ayah, Dika menutup mulut semua orang yang tahu tentang kejadian itu. Dia terkejut Beno dapat mengetahuinya.
“Apa kamu tahu kalau adikku sekarang sedang hamil? Dia hamil anakmu brengsek!!”
BRAK!!
Beno meletakkan gelas di meja dengan keras membuat Dika terjengit. Dika melihat ke arah teman-temannya dengan maksud meminta bantuan, namun mereka semua malah memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Ma.. ma.. maaf bang. Sa.. saya a.. akan bertanggung jawab.”
“Cih.. saya tidak menginginkan tanggung jawabmu. Kamu harus melakukan sesuatu sebagai balasannya.”
“A.. aapp..a bang?”
“Kamu kenal Abimanyu?”
“Si.. siapa bang? Sa.. saya ngga kenal.”
“Arjuna.. kamu mengenalnya?”
“Kenal bang.”
“Abimanyu itu adik dari Arjuna. Aku mau kamu melakukan sesuatu yang berhubungan dengan Abimanyu.”
“A..aapa bang?”
Pria itu merangkul leher Dika agar mendekat padanya. Lalu dia mulai mengatakan apa yang diinginkannya. Dika menggeleng keras tapi saat rangkulan tangan Beno berubah menjadi cekikan di lehernya Dika pun mengangguk. Beno melepaskan rangkulannya lalu mengambil sebuah amplop yang ada di dekatnya.
“Buka itu!!”
Dengan tangan bergetar Dika membuka amplop tersebut. Matanya membelalak melihat isi di dalamnya. Dia melihat ke arah Beno yang tengah menyeringai ke arahnya.
“Aku bisa menjebloskanmu ke penjara dengan semua bukti itu. Pilihannya hanya dua, kerjakan apa yang kuperintahkan tadi atau masuk penjara dan mati di sana oleh anak buahku,” ancam Beno.
Dika tercenung, dia seperti sedang makan buah simalakama. Maju mati, mundur pun tetap mati. Tangan besar Beno menepuk kencang bahu Dika, mengejutkan pria itu.
“Waktumu hanya sampai besok. Kalau kamu menolak, maka...”
Beno menggerakkan telunjuk di depan lehernya lalu bangun dari duduknya, meninggalkan Dika dengan segala kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikirannya.
☘️☘️☘️
Pagi hari di kediaman Teddy dibuat gaduh oleh Rahma yang memanggil anak-anaknya untuk segera bersiap. Sebentar lagi mereka akan menghadiri akad nikah Nadia dengan Dika.
“Sekar!! Abi!! Nina!! Juna!!”
Teriakan Rahma terdengar ke seantero rumah. Teddy sampai harus menutup kedua telinganya demi menghindari polusi suara yang dikeluarkan sang istri. Sekar menuruni anak tangga dengan cepat, Nina juga sudah sampai di dekat Rahma disusul Abi di belakangnya.
Rahma memperhatikan penampilan anak bungsunya dari atas sampai bawah. Setelah dirasakan tak ada yang kurang, dia mengangkat ibu jari dan telunjuknya membentuk huruf O. Lalu perhatiannya beralih pada Nina juga Abi. Keduanya nampak serasi mengenakan gaun dan tuxedo dengan warna senada. Rahma tersenyum puas.
Lalu terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Senyum Rahma bertambah lebar melihat anak sulungnya terlihat tampan dalam balutan tuxedo berwarna putih tulang. Juna menghampiri sang mama.
“Wih.. kak Juna ganteng banget. Si kampreto Dika bakalan minder lihat kakak. Secara tamunya lebih ganteng dari pengantinnya,” goda sekar.
“Ma.. ini pakaianku apa ngga berlebihan?”
“No.. no.. no... my dear, you look so perfect. Mama mau membuat bapaknya Nadia menyesal karena sudah menolak anak mama yang ganteng ini. Dari segala hal kamu lebih unggul dibanding Dika. Beraninya dia menolakmu. Lihat saja, mama akan membuatnya menyesal tidak memilihmu sebagai menantunya.”
“Ma...”
“Sudah-sudah ayo berangkat. Sebentar lagi acara akadnya dimulai.”
Teddy segera menggiring istri dan anak-anaknya keluar rumah seperti pengangon yang menggiring bebek-bebeknya. Mereka berangkat ke kediaman Nadia menggunakan tiga kendaraan. Teddy bersama Rahma, Juna bersama Sekar dan Abi bersama Nina. Iring-iringan mobil itu melaju membelah jalan Raya yang masih lengang di Sabtu pagi ini.
Sementara itu di sebuah kamar hotel. Dika masih terlelap dengan seorang wanita di sampingnya. Setelah berbicara dengan Beno, Dika memilih melampiaskan kecemasannya dengan minum sampai mabuk. Dia juga membawa wanita yang menemaninya minum ke kamar hotel. Mereka bercinta sampai lewat tengah malam.
Terdengar suara bel beberapa kali, disusul dengan ketukan yang berubah menjadi gedoran. Dika yang terusik dengan bunyi bel yang tak ada hentinya membuka matanya. Dengan malas dia bangun dari tidurnya lalu berjalan menuju pintu.
Doni terkejut melihat Dika muncul dari balik pintu dengan muka bantal, rambut acak-acakkan dan tanpa benang sehelai pun.
“Dika! Gila lo! Belum siap juga.”
“Apaan sih.. berisik lo gangguin tidur gue aja,” gerutu Dika seraya menjauh dari pintu.
“Ini kan hari pernikahan lo PEA!” Doni mengeplak kepala temannya itu.
“Shit!!!”
Dika melesat ke kamar mandi setelah kesadarannya kembali. Doni membuka lemari lalu mengambil tuxedo hitam yang akan dikenakan temannya itu. Sepuluh menit kemudian Dika selesai dengan mandinya. Dia mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa dan menyisir rambutnya seadanya. Wanita yang menghabiskan malam bersamanya terbangun dari tidurnya saat mendengar suara gaduh Dika dan Doni.
“Jam berapa sekarang?” tanya Dika.
“Jam sembilan.”
“Shit.. telat gue.”
Dika menyambar kunci mobil dan dompet dari atas meja. Saat akan pergi, terdengar suara menahannya.
“Mas.. mana bayaranku?’
Dika membuka dompetnya lalu mengeluarkan semua uang di dompetnya. Dilemparkannya uang tersebut ke atas kasur kemudian bergegas meninggalkan kamar bersama Doni. Wanita itu bangun lalu memunguti uang yang berserakan di kasur dan juga lantai.
“Huh... untung lo kaya. Kalau ngga, mana mau gue ngelayanin orang brengsek macem elo.”
☘️☘️☘️
Ratih nampak mondar-mandir tak sabaran di teras rumahnya. Calon menantu kesayangannya masih belum menampakkan batang hidungnya. Wira berusaha tetap tenang dengan mengajak bicara penghulu yang sudah lima belas menit lalu datang. Begitu pula dengan orang tua Dika yang sedari tadi tak henti menghubungi anaknya.
Nadia keluar dari kamar ketika salah satu bibinya mengatakan kalau calon mempelai pria belum juga datang. Ada rasa bahagia di hati Nadia mendengarnya. Dia sangat berharap pernikahan ini batal.
Nadia memperhatikan para tetangga dekat yang sudah datang. Mereka sengaja datang lebih awal demi melihat acara ijab kabul Nadia dengan Dika. Terdengar suara bisik-bisik mereka membicarakan Dika yang belum juga datang. Sungguh Nadia tak peduli dengan gunjingan mereka kalau sampai lelaki mesum itu tak kunjung datang.
Tiga buah mobil berhenti di depan kediaman Nadia. Semua tetangga yang duduk menunggu langsung menolehkan kepalanya. Kembali terdengar bisikan mereka saat melihat Juna dan Abi. Mereka menerka-nerka yang mana di antara keduanya yang calon mempelai.
Firman, ayah Dika dan Wira bergegas keluar, menyangka Dika yang datang. Firman terkejut saat melihat Teddy dan Rahma berjalan memasuki rumah. Dia segera menyambut pasangan suami istri yang masuk dalam jajaran lima orang terkaya di Asia.
“Selamat datang pak Teddy, bu Rahma. Sebuah kehormatan bisa bertemu langsung dengan kalian.”
Firman menggenggam erat tangan Teddy. Wira hanya diam menatap Teddy dan Rahma. Di belakang keduanya nampak Juna, Abi, Sekar dan Nina. Pandangan Juna tertuju pada Nadia yang berdiri di dekat pintu. Mata Nadia nampak merah, sepertinya gadis itu menangis semalaman.
“Apa kami datang terlambat?” tanya Teddy.
“Oh tidak pak. Acaranya belum dimulai. Mari silahkan duduk.”
Firman mempersilahkan Teddy dan Rahma beserta anak-anak mereka untuk duduk. Dia meminta istrinya untuk menghubungi kembali Dika. Penghulu yang akan menikahkan pengantin menghampiri Wira dan Firman.
“Bagaimana pak? Kapan mempelai prianya akan datang? Saya masih ada janji di tempat lain.”
“Tolong tunggu sebentar lagi pak.”
CIIIIT
BRAK!!
Sebuah mobil berhenti di depan rumah disusul dengan bunyi pintu yang terbanting. Dika bergegas masuk ke dalam rumah. Firman menatap kesal ke arah anaknya.
“Dari mana saja kamu,” geram Firman di telinga anaknya.
Dika hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Firman menggiring anaknya menuju meja akad. Begitu pula dengan Ratih, dia menarik Nadia sambil melemparkan senyuman sinis ke arah Juna. Rahma menatap tajam pada wanita itu. Kalau tak ingat sedang berada di acara pernikahan sahabat anaknya, mungkin sudah dibuat rontok semua rambut Ratih.
Dika dan Nadia sudah duduk bersisian di hadapan penghulu juga Wira. Ratih menutupi kepala kedua mempelai dengan kain putih tipis. Wira menjabat tangan Dika dengan erat. Sang penghulu memberi aba-aba pada Wira untuk memulai ijab kabul.
“Ananda Alam Mahardika, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya yang bernama Nadia Jasmine Kusuma binti Wirahadi Kusuma dengan mas kawin emas seberat 20 gram dibayar tunai!”
"Saya..."
☘️☘️☘️
Saya si putri.. si putri sinden panggung🤣
Ngarep batal ya eaa.. eaa..
Kabooooorrrr🏃🏃🚲🚲🛵🛵🚗🚗🚝🚝🚤🚤✈️✈️