NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 34 INSPIRASI

Pagi datang dengan cahaya lembut yang merayap melewati tirai kamar. Ava sudah bangun jauh lebih awal, rambutnya diikat sebagian sehingga sisa helainya jatuh lembut di bahu. Geraknya rapi, tenang, namun terasa tergesa di ujung-ujungnya—seolah ada sesuatu yang ia hindari, bukan sesuatu yang ia kejar.

Ia membuka lemari, mengambil kemeja Arash, celana kerja, dasi, jam tangan, hingga sepatu. Semuanya ia letakkan dengan tertata di atas kasur, seperti rutinitas yang sudah terlatih, tapi kali ini tanpa jeda, tanpa pikir. Hanya tangan yang bekerja, sementara pikirannya terasa hampa. Setelah meraih tasnya sendiri, Ava melangkah menuju pintu.

“Nona tidak mau sarapan dulu?” tanya Bi Ana sambil mengatur sendok di meja makan.

“Tidak, Bi. Ava buru-buru,” jawabnya singkat sebelum menarik pintu rumah. Suara langkahnya terdengar cepat, seperti ingin menjauh dari sesuatu.

Beberapa menit kemudian, Arash keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Ia mengenakan kemejanya sambil berjalan, sedikit terburu-buru karena mengira Ava masih di rumah.

“Dimana Ava?” tanyanya ketika dapur terlihat kosong.

“Nona Ava sudah berangkat setengah jam lalu,” jawab Bi Ana pelan.

Arash mengernyit. Ia menatap jam tangannya—baru pukul 7.30. Terlalu pagi. Terlalu tidak biasanya.

Ia menarik kursi, mengambil cangkir kopi yang masih mengepulkan aroma pahit hangat, lalu membuka laptop di meja makan. Suasana rumah terasa jauh lebih hening tanpa Ava, seperti ada satu suara yang hilang dari latar. Dering ponsel memotong keheningan itu. Arash segera mengangkatnya.

“Arash, aku akan terlambat. Mobilku tiba-tiba mogok,” suara Celine terdengar dari seberang, agak terburu-buru.

“Kau di mana? Aku akan menjemputmu,” balas Arash tanpa ragu.

“Akan kukirim lokasinya.”

“Baik.” Sambungan terputus. Arash menutup laptop, mengambil tasnya, dan berjalan cepat menuju pintu. Jejak kepergiannya terdengar jelas di ruangan yang sunyi itu. Bi Ana hanya bisa mengikuti dengan pandangan penuh tanda tanya.

“Siapa yang Tuan Arash jemput? Apa wanita yang datang semalam?” gumam Bi Ana dalam hati, sementara hawa pagi yang semula hangat mendadak terasa dingin dan penuh tanya.

Sementara itu, Ava belum benar-benar berangkat bekerja. Alih-alih memanggil taksi atau menapaki trotoar seperti biasa, ia justru menyimpang menuju taman kecil di dekat rumah—taman yang masih dibasahi embun pagi dan diselimuti kesunyian yang belum diganggu hiruk-pikuk kota.

Bangku kayu tempat ia duduk masih dingin, lembap, membuat tubuhnya sedikit tersentak. Namun dingin itu entah mengapa terasa menenangkan, seolah membantu meredakan sesak yang sedari tadi hinggap di dadanya.

Ava mengangkat wajahnya pada hamparan bunga-bunga yang baru saja tersentuh cahaya matahari. Warna merah, oranye, dan pink menonjol di antara dedaunan yang masih basah. Lalu matanya tertahan pada satu titik—sebatang bunga putih kecil yang tumbuh sendirian di antara barisan bunga merah cerah.

“Kenapa kau tumbuh di sini, hm?” bisiknya lembut, hampir seperti berbicara pada seorang anak kecil. Ia tahu bunga itu tak akan menjawab, namun ia tetap menunggu, seolah keheningan pagi bisa mengembalikan ketenangan yang hilang.

Ava menatap bunga itu cukup lama, mencari sesuatu—arah, inspirasi, atau sekadar alasan untuk bernapas lebih pelan. Ia akhirnya meraih tablet dari dalam tas. Dengan sapuan jari yang halus, ia membuka aplikasi desain gaun favoritnya. Tampilan layar memantulkan cahaya lembut ke wajahnya, membuatnya tampak lebih fokus, lebih tenang.

Di layar, sudah ada kerangka gaun yang ia buat beberapa hari sebelumnya. Gaun itu terlihat indah, namun belum lengkap—seperti ada bagian yang menunggu disempurnakan.

Dan pagi ini, Ava menemukannya. Perlahan, ia memilih warna merah gelap sebagai dasar. Warna itu mencuri sebagian atmosfer taman: tenang, elegan, namun menyimpan sesuatu di kedalamannya. Lalu ia mulai menambahkan sentuhan bunga putih kecil sebagai aksen, bentuknya ia buat semirip mungkin dengan bunga yang ia tatap tadi. Detail demi detail ia tambahkan—kelopak lembut, gradasi tipis, lengkung kecil di tepi—hingga akhirnya bunga itu seolah hidup kembali di atas kain yang belum ada.

Waktu terasa bergerak lambat ketika ia menunduk mencurahkan pikirannya ke layar. Embun mulai mengering, sinar matahari naik semakin tinggi, dan suara burung yang tadinya samar kini terdengar jelas.

Akhirnya, Ava mengangkat wajah. Desain gaun itu selesai—lembut namun kuat, sederhana namun memiliki sorotan sendiri. Ia menyimpannya dalam daftar koleksi gaun yang akan ia pamerkan suatu hari nanti, kelak di bawah brand yang memajang namanya sendiri.

Dengan hati yang sedikit lebih ringan, Ava memasukkan kembali tablet itu ke dalam tas. Ia berdiri dari bangku yang dinginnya mulai hilang. Setelah sekali lagi melirik bunga putih di antara hamparan merah, ia melangkah pergi—menuju butik Miella dan hari yang harus ia jalani, entah seberapa berat.

...----------------...

Langit sudah menguning, matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung, memandikan butik Miella dengan cahaya jingga yang lembut. Ava baru saja merapikan alat-alat desainnya, bersiap pulang setelah hari yang panjang, namun aktivitasnya terhenti ketika salah satu staf menghampirinya.

“Ava, ada yang mencarimu,” katanya sambil menunjuk ke arah depan.

Ava mengerutkan kening. “Siapa?”

“Klien yang ingin mengambil gaun. Tapi… mereka memintamu keluar sebentar.”

Dengan sedikit ragu, Ava meletakkan kembali tasnya dan berjalan ke area depan butik. Suasana butik terasa hangat—aroma kain baru, lampu-lampu yang mulai diredupkan, dan bayangan panjang dari manekin bergaun membuat ruang itu tampak lebih tenang dari biasanya.

Saat ia tiba, Ava mendapati Daniel berdiri bersama seorang wanita muda yang belum pernah ia lihat. Rambutnya hitam, curly, mengembang cantik di bahunya; matanya bulat, cerah, dan penuh rasa ingin tahu. Dari usia terlihat tidak jauh dari Esther, pikir Ava sekilas.

“Ada apa mencariku?” tanya Ava dengan senyum sopan.

Daniel tersenyum kaku, seolah ada sedikit canggung yang ia coba sembunyikan. “Oh… adikku, Jasi, ingin bertemu denganmu.”

Ava menoleh pada gadis itu yang kini tersenyum lebar seperti anak kecil menemukan hal baru. “Hallo, Jasi. Apa kau ingin bertemu denganku?”

Jasi mengangguk cepat. “Iya! Aku ingin melihat langsung orang yang membuat gaun spesial untuk mami. Kak Daniel bilang pembuatnya sangat cantik.” Ucapnya polos, tanpa ragu.

Daniel refleks terlihat gelagapan. Ava justru terkekeh pelan, merasa suasana yang tadinya formal berubah lebih hangat.

“Kau juga cantik,” ucap Ava, lembut. “Dan menggemaskan seperti adikku.”

Jasi memonyongkan bibir, setengah protes. “Harusnya aku seksi, bukan lucu lagi. Aku sudah mau dua puluh satu tahun.”

Ava tertawa kecil sedangkan Daniel mendecak kesal. “Berhenti sok dewasa,” tegur Daniel.

“Aku memang dewasa!” Jasi memutar matanya dramatis, membuat Ava semakin geli. “Kakak saja yang memperlakukanku kayak bocah!”

Daniel menghela napas panjang, hampir pasrah. “Ava, maaf. Dia memang begitu. Terlalu ingin terlihat dewasa.”

“Tidak apa.” Ava tersenyum lembut, tatapannya hangat. “Aku juga dulu seperti itu. Dan sekarang, aku justru ingin kembali jadi anak kecil.”

“Dengar itu, kak!” seru Jasi penuh kemenangan.

Tawa ringan pun tercipta antara mereka bertiga, menghapus kepenatan sore itu.

“Kak Ava,” Jasi tiba-tiba mendekat, suaranya riang dan penuh ekspektasi. “Saat ulang tahunku nanti, tolong buatkan gaun yang lebih cantik dari punya mama, ya?”

“Oke,” jawab Ava sambil tersenyum lebar, ketulusan terpancar dari wajahnya. Membuat Daniel—yang sejak tadi memperhatikannya—semakin terpukau.

“Apa kau sudah lihat gaun mamimu?” tanya Ava.

Jasi langsung mengangguk cepat. “Sudah! Cantik sekali! Mami pasti kelihatan luar biasa di acara nanti. Iya, kan, kak?”

Daniel hanya mengangguk, tapi matanya justru menatap Ava, bukan adiknya. Ada kekaguman yang tak ia sembunyikan lagi. “Ohiya, Ava…” Daniel sedikit menegakkan bahunya. “Mami mengundangmu datang ke anniversary pernikahannya.”

Ava tampak terkejut. “Aku? Untuk apa?”

“Mungkin mami ingin berterima kasih secara langsung karena kau membuat gaun yang begitu indah.”

Ava terdiam. Ada keraguan kecil di wajahnya—bukan karena acaranya, tapi karena ia tak terbiasa berdiri di tengah keramaian dengan gaunnya dipuji.

“Akan kupikirkan,” jawab Ava sambil tersenyum sopan.

Jawaban itu membuat Daniel tampak sedikit kecewa, namun ia tetap berusaha tersenyum. Ia merogoh saku, mengeluarkan secarik kartu nama dengan gerakan hati-hati. “Ini kartu namaku. Kalau kau perlu sesuatu… kau bisa kontak aku.”

Ava menerimanya. Lalu ia melambaikan tangan pada Jasi yang sudah berlari kecil menuju pintu, sebelum akhirnya butik kembali sepi—menyisakan aroma kain, cahaya jingga, dan sisa hangat pertemuan singkat yang entah mengapa membuat hati Ava terasa lebih ringan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!