"mas belikan hp buat amira mas dia butuh mas buat belajar" pinta Anita yang ntah sudah berapa kali dia meminta
"tidak ada Nita, udah pake hp kamu aja sih" jawab Arman sambil membuka sepatunya
"hp ku kamarenya rusak, jadi dia ga bisa ikut zoom meating mas" sanggah Nita kesal sekali dia
"udah ah mas capek, baru pulang kerja udah di sodorin banyak permintaan" jawab Arman sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah
"om Arman makasih ya hp nya bagus" ucap Salma keponakan Arman
hati Anita tersa tersayat sayat sembilu bagaimana mungkin Arman bisa membelikan Salma hp anak yang usia baru 10 tahun dan kedudukannya adalah keponakan dia, sedangkan Amira anaknya sendiri tidak ia belikan
"mas!!!" pekik Anita meminta penjelasan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ARMAN MEMINTA MAAF
Pagi itu, setelah berhasil menenangkan ibunya, Arman bersiap berangkat kerja. Namun, suasana hatinya masih kacau. Ia menatap motor tuanya yang sudah berdebu. Biasanya, ia naik monil tapi ia tak punya uang untuk beli bensinya, tapi pagi ini dompetnya kosong. Uang gaji sudah diambil ibunya, sementara pinjaman yang ia ajukan belum cair. Dengan berat hati, ia mendorong motornya keluar rumah, menyalakan mesin, dan mulai melaju pelan. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berkecamuk.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia masih mencintai Anita. Wanita itu tidak punya celah untuk diceraikan. Ia istri yang baik, ibu yang bertanggung jawab, dan mengurus rumah tanpa cela. Kalau pun ada yang salah, itu hanya karena Anita tidak bekerja. Itu saja. Tapi, apakah itu cukup untuk membuatnya menceraikan wanita yang sudah menemaninya selama 16 tahun? Hatinya menolak. Namun, jika ia tidak menurut pada ibunya, Laksmi pasti akan kembali mogok makan.
Dan sekarang, permintaan ibunya semakin gila. Ia harus mengundang Bianka ke rumah. Bagaimana mungkin? Anita pasti akan marah besar. Arman tahu, istrinya bukan wanita yang lemah. Ia masih ingat bagaimana Anita membantingnya saat ia menamparnya dulu. Jika Anita tahu ia membawa Bianka ke rumah, bisa jadi rumah itu akan berubah menjadi arena pertarungan. Tapi, di sisi lain, Arman juga tidak yakin Bianka mau datang. Wanita itu memang menunjukkan ketertarikan padanya, tapi mengunjungi rumah pria yang masih beristri? Itu perkara lain.
Ia menarik napas panjang, pikirannya semakin kacau. Satu sisi, ia takut kehilangan Anita. Tapi di sisi lain, ia tidak mau membuat ibunya kecewa. Jika Laksmi kembali mogok makan, ia akan disalahkan. Dewi pasti ikut menyalahkannya, dan keadaan rumah akan semakin berantakan. Ia merasa seperti terjebak di antara dua jalan yang sama-sama buruk. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia menuruti ibunya dan membawa Bianka ke rumah? Atau tetap mempertahankan rumah tangganya dengan Anita?
Motor tuanya melaju pelan di jalanan yang mulai ramai. Matahari mulai naik, tapi kepalanya terasa semakin berat. Ia berharap waktu bisa berhenti sebentar, agar ia bisa menemukan jawaban. Tapi kenyataan tak memberi jeda. Sesampainya di kantor, ia tahu, masalah ini belum selesai. Ia harus mengambil keputusan. Segera.
Arman tiba di kantor dengan perasaan yang masih kacau. Tubuhnya ada di tempat kerja, tapi pikirannya masih berkeliaran di rumah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi keinginan ibunya agar tidak mogok makan lagi. Tapi di sisi lain, ia juga takut menghadapi Anita. Pikirannya semakin ruwet ketika melihat sosok Bianka sudah menunggunya di dekat pintu masuk.
Bianka berdiri dengan anggun, mengenakan blouse ketat dan rok span yang membentuk tubuhnya. Harusnya Arman senang. Wanita ini cantik, meskipun seorang janda, tapi banyak pria yang mengincarnya. Dan ia, Arman, adalah orang yang beruntung bisa berhubungan dengan Bianka. Namun, saat bayangan ciuman mereka muncul di pikirannya, hatinya justru diliputi rasa bersalah. Wajah Anita terlintas. Istrinya yang selama ini setia, yang mengurus dirinya tanpa cela, yang bahkan masih menyiapkan air hangat dan baju ganti setiap malam.
Hai, kamu kok diem aja?
Arman tersentak dari lamunannya. Bianka sudah berdiri di hadapannya, tersenyum manis. Hatinya semakin gelisah, tapi ia tahu harus segera menyampaikan permintaan ibunya. Ia menarik napas dalam, lalu memberanikan diri berbicara.
Ibuku… ibuku ingin kamu datang ke rumah.
Benarkah? Aku diundang ke rumahmu?
Bianka langsung berseri-seri. Matanya berbinar penuh semangat. Arman seharusnya ikut senang, karena itu berarti ia bisa memenuhi permintaan ibunya. Tapi anehnya, sekarang justru perasaannya semakin kacau. Di kepalanya, ia bisa membayangkan Anita berdiri di depan pintu, menatapnya dengan tatapan tajam, lalu tanpa banyak bicara, langsung membanting dirinya dan Bianka sekaligus.
Arman pulang lebih awal sore itu, tidak seperti malam-malam sebelumnya ketika ia sering pulang terlambat dengan berbagai alasan. Kali ini, langkahnya terasa lebih berat saat memasuki rumah. Ia tahu malam ini tidak akan ada drama ribut-ribut soal makan malam karena tadi pagi ia sudah memberikan uang belanja kepada Anita. Meski sedang marah, Anita tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai istri. Ia bukan tipe wanita yang membiarkan keluarganya kelaparan hanya karena emosi sesaat.
Begitu Arman masuk, aroma masakan memenuhi rumah. Laksmi yang duduk di ruang tamu langsung menoleh dengan tatapan penuh arti. Tanpa basa-basi, perempuan itu langsung menodong pertanyaan yang membuat dada Arman semakin sesak.
"Kapan Bianka datang ke rumah?"
Arman terdiam. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Ia belum sempat memikirkan bagaimana kelanjutan rencana ini, tetapi ibunya sudah menuntut jawaban. Wajah Laksmi berubah seketika saat melihat kebingungan Arman. Ia memasang ekspresi kecewa, seolah Arman telah mengecewakannya dengan cara yang paling menyakitkan.
"Jadi, kamu cuma janji kosong? Kamu nggak serius?"
Arman merasa terpojok. Ia tak ingin melihat ibunya kecewa lagi, apalagi sampai mogok makan seperti kemarin. Akhirnya, dengan suara yang terdengar ragu, ia mengucapkan kalimat yang justru semakin menyeretnya ke dalam situasi sulit.
"Bianka bersedia, Bu."
Mata Laksmi berbinar penuh kegembiraan, seolah-olah ia baru saja mendengar kabar terbaik dalam hidupnya.
"Bagus! Kapan dia datang?"
Arman menelan ludah. Ia benar-benar belum berpikir sejauh itu. Dengan suara pelan, ia menjawab sekenanya.
"Terserah, kita bisanya kapan."
"Besok! Aku mau besok!"
Arman terkejut. Napasnya tercekat. Besok? Itu terlalu cepat. Bagaimana jika Anita tahu? Bagaimana jika terjadi pertengkaran besar?
"Bu, gimana kalau Anita marah?"
Laksmi melambaikan tangannya dengan santai, seolah itu bukan masalah besar.
"Kalau Anita marah, biar aku yang urus. Kalau perlu, aku usir dia dari rumah ini!"
Arman semakin ragu. Namun, di sisi lain, ia juga takut mengecewakan ibunya lagi. Dengan berat hati, ia mengangguk, meski dalam kepalanya ia bisa membayangkan hal yang jauh lebih mengerikan daripada sekadar Anita marah. Ia bisa membayangkan dirinya dan Bianka terlempar ke lantai dengan sekali bantingan.
Setelah berbicara dengan ibunya, Arman melangkah menuju kamarnya. Langkahnya terasa berat. Kepalanya masih penuh dengan pikiran tentang Bianka yang akan datang besok. Ia tahu ini salah, tapi sudah terlanjur terjerumus dalam permainan ibunya.
Begitu masuk ke kamar, seperti biasa, semuanya sudah disiapkan. Baju ganti terlipat rapi di atas tempat tidur, air hangat di gelas juga sudah tersedia. Anita, meskipun sedang marah, tetap menjalankan tugasnya sebagai istri. Tapi ini sudah hari ketiga mereka tak bertegur sapa. Arman merasa ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap Anita yang berbaring membelakanginya. Dengan ragu, ia mengulurkan tangan dan menggoyangkan pundak istrinya pelan.
"Nita, kita nggak bisa seperti ini terus."
Anita diam sejenak, lalu tanpa menoleh ia menjawab.
"Terus harusnya seperti apa?"
"Harusnya kita saling bicara."
"Ya tinggal bicara aja. Gampangkan?"
Arman menarik napas panjang. Sikap Anita yang dingin semakin membuatnya gelisah.
"Nita, ada apa dengan kamu? Apa kamu masih marah karena aku memberikan seluruh uangku ke ibu?"
"Aku malah bersyukur, Mas. Aku nggak pusing lagi ngurus uangmu."
"Terus kenapa kamu masih bersikap dingin sama aku?"
"Kamu belum sadar juga, Mas?"
Arman terdiam. Ia tahu Anita marah, tapi tidak tahu apa yang paling membuatnya sakit hati.
"Katakanlah, mungkin aku memang nggak peka."
Suara Anita terdengar bergetar, tapi penuh ketegasan.
"Mas sampai sekarang belum minta maaf sama Amira. Mas nggak pernah nanya kabarnya, mas nggak peduli sama dia. Aku dihina, nggak masalah. Tapi kalau Mas membiarkan Amira diinjak-injak orang, aku sebagai ibunya akan bertindak. Siapapun akan aku lawan. Termasuk Mas!"
Arman menelan ludah. Ucapan Anita seperti tamparan keras yang menyadarkannya. Sudah berapa lama ia mengabaikan anaknya sendiri? Amira, darah dagingnya, telah ia telantarkan karena terlalu takut pada ibunya sendiri.
Arman meraih tangan Anita.
"Aku minta maaf, Nita."
Anita tetap diam. Tapi perlahan, genggamannya melemah, seolah rasa marahnya mulai luntur. Arman merasa lega. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia merasa bisa bernapas lebih tenang.
Mereka akhirnya berbicara lagi. Awalnya canggung, tapi semakin lama, suasana kembali seperti dulu. Percakapan mereka mengalir, menghangatkan hati yang selama ini dingin. Mereka membicarakan banyak hal, tertawa kecil, mengenang masa-masa indah.
Malam itu terasa begitu romantis. Seperti malam-malam yang dulu, sebelum rumah tangga mereka diacak-acak oleh campur tangan orang lain.
Hingga akhirnya, mereka kembali menjadi suami istri dalam arti yang sebenarnya.
Anita tertidur dengan wajah damai, sementara Arman tetap terjaga. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya kalut.
Besok, saat Bianka masuk ke rumah ini, kedamaian dan kebahagiaan ini mungkin akan berakhir.