Ini kisah Riana , gadis muda yang memiliki kekasih bernama Nathan . Dan mereka sudah menjalin hubungan cukup lama , dan ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan .
Namun kejadian tak terduga pun terjadi , Riana memelihat Nathan sedang bermesraan dengan teman masa kecilnya sendiri. Riana yang marah pun memutuskan untuk pergi ke salah satu klub yang ada di kotanya .Naasnya ada salah satu pengunjung yang tertarik hanya dengan melihat Riana dan memberikannya obat perangsang dalam minumannya .
Dan Riana yang tidak tahu apa-apa pun meminum minuman itu dan membuatnya hilang kendali atas tubuhnya. Dan saat laki - laki tadi yang memasukan obat akan beraksi , tiba-tiba ada seorang pria dewasa yang menolongnya. Namun sayangnya obat yang di kasi memiliki dosis yang tinggi sehingga harus membuat Riana dan laki - laki yang menolongnya itu terkena imbasnya .
Dan saat sudah sadar , betapa terkejutnya Riana saat tahu kalau laki-laki yang menidurinya adalah calon ayah mertuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodiah Karpiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sembilan
Kini Rania merasakan darahnya berhenti mengalir. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Kata-kata Bagaskara bergema di kepalanya, menghantamnya lebih keras dari yang ia harapkan.
'Nyawa?Tidak. Itu tidak mungkin.' monolog Rania di dalam hatinya.
Ia menatap pria di depannya dengan mata melebar, mencari kepastian, mencari sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ia salah dengar. Tapi Bagaskara tetap menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak—dingin, mendominasi, dan penuh makna tersembunyi.
Rania merasa kalah jantung berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri. Suara jantungnya itu menggema di telinganya, bercampur dengan rasa takut dan kebingungan yang tiba-tiba menyerangnya.
"Bapak... Bapak ngomong apa?" tanya Rania dengan suara yang bergetar, hampir tak terdengar.
Bagaskara yang mendengar pertanyaan Rania itu pun menyipitkan matanya. "Jangan pura-pura bodoh, Rania. Kamu tahu persis apa yang saya maksud," ucapnya dengan nada rendah, tetapi tajam.
Rania yang mendengar itu pun menggeleng pelan , menolak sesuatu yang bisa terjadi padanya.
Malam itu memang sebuah kesalahan—sesuatu yang tak pernah ingin ia ingat kembali. Ia bahkan berusaha keras mengubur kenangan itu dalam-dalam. Tapi sekarang, dengan satu kalimat dari Bagaskara, semua itu kembali menghantamnya tanpa ampun.
Tangan Rania mencengkram sisi meja untuk menstabilkan tubuhnya yang tiba-tiba terasa lemas. "Bapak nggak bisa asal ngomong kayak gitu," katanya akhirnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Saya nggak... Saya nggak mungkin—" ucap Rania dengan terbata dan akhirnya dipotong oleh Bagaskara.
"Sejak kapan terakhir kali kau haid, Rania?" Bagaskara memotong ucapannya, suaranya masih rendah tetapi penuh tekanan.
Mendengar pertanyaan Bagaskara itu pun mampu menusuk Rania seperti belati yang tajam. Rania ingin membuka mulut untuk membalas perkataan Bagaskara, tetapi otaknya tiba-tiba terasa kosong.
'Kapan terakhir kali aku Haid? kenapa aku bisa lupa hal yang sepenting itu ?' ucap Rania di dalam hatinya.
Pikiran Rania berputar untuk mengingat kapan ia haid, namun semakin ia mencoba mengingat-ingat, tetapi yang muncul justru ketakutan yang semakin mencekiknya. Ia benar-benar tidak ingat kapan terakhir kali ia mengalami menstruasi di bulan ini.
Melihat ekspresi Rania yang mendadak pucat, Bagaskara mengangguk pelan, seolah sudah bisa menebak apa yang ada didalam pikiran wanita itu.
"Sudah cukup lama, bukan?" ucap Bagaskara lagi yang kini suaranya lebih lembut dari pada tadi, tetapi Bagaskara tetap tak kehilangan ketegasannya.
Mendengar perkataan Bagaskara itu mampu membuat Rania kembali ke alam sadarnya ia menggigit bibirnya, tubuhnya mulai gemetar.
"Tidak. Ini tidak boleh terjadi." ucap Rania pelan sambil menggelengkan kepalanya , namun Bagaskara mampu mendengar perkataannya itu.
Bagaskara berjalan mendekat kearah Rania membuat jarak di antara mereka semakin tipis. Ia menatap Rania dalam-dalam, seolah ingin menegaskan sesuatu. "Jika benar kau hamil, saya tidak akan membiarkan kamu menyembunyikannya, Rania. Kamu mengerti?" ucapnya lembut namun penuh dengan ketegasan , ia tidak main-main dengan apa yang ia katakan.
Rania yang melihat Bagaskara mendekat kearahnya pun mundur satu langkah, tetapi pergerakan nya itu terhalang karena punggungnya sudah menempel pada meja. "Saya... Saya butuh waktu untuk mencerna ini semua." ucap Rania dengan terbata.
"Tidak ada waktu," potong Bagaskara cepat. "Besok pagi, saya akan membawa kamu ke dokter. Kita harus memastikan ini lebih cepat. Saya tidak ingin anak saya tak terurus di dalam sana , jika kamu tidak merasakan keberadaannya ! " Ucap Bagaskara lagi , ia benar-benar serius dengan apa yang ia katakan saat ini.
"Pak—" ucap Rania yang lagi-lagi harus terpotong oleh Bagaskara.
"Dan satu hal lagi," Bagaskara menyela, kali ini suaranya terdengar lebih dingin. "Jangan biarkan Nathan tahu apa pun tentang ini." Ucapnya sambil menatap Rania dalam.
"Kenapa?" tanya Rania pelan, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.
Bagaskara yang mendengar itu pun tersenyum tipis, tetapi senyum itu sama sekali tidak hangat. "Karena saya tidak ingin dia memiliki sesuatu yang seharusnya menjadi milik saya , meskipun ia anak angkat saya sendiri , saya tak ingin dia menyakiti anak kandung saya yang berada di rahim kamu ! " Ucap Bagaskara lagi dengan banyak penekanan. Rania merasa seolah dunianya runtuh saat itu juga.
Bagaskara menatapnya tanpa ekspresi, tetapi dalam tatapan dinginnya, ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Rania berdiri. Kepemilikan. Dominasi. Kekuasaan. sangat kental didalam diri Bagaskara.
Seharusnya Rania marah. Seharusnya ia berteriak, mengatakan bahwa pria ini gila karena mengklaim sesuatu yang belum tentu ada, sesuatu yang bahkan belum ia yakini kebenarannya. Tapi mulutnya terasa kelu, tubuhnya masih gemetar karena ketakutan yang terus mencengkeramnya. Ia takut kalau ternyata janin yang tidak bersalah benar-benar tumbuh didalam rahimnya.
"Pak Bagaskara," suaranya nyaris seperti bisikan. "Saya... saya tidak yakin kalau saya hamil." Ucap Rania lagi , ia benar-benar belum bisa menerima jika saat ini ia mengandung anak bos-nya sendiri.
Bagaskara menyandarkan tangannya ke meja di kedua sisi tubuh Rania, menjebaknya dalam ruang sempit yang membuat napasnya semakin berat. "Kau tidak yakin?" ulangnya, nada suaranya sedikit mengejek. "Atau kau hanya menolak untuk menghadapi kenyataan?"ucap Bagaskara yang tepat sasaran .
Rania yang mendengar itu pun menggigit bibirnya, otaknya masih berusaha mencari celah keluar dari situasi ini. Tapi bagaimana caranya? Pria ini tidak akan membiarkannya pergi begitu saja, dan lebih buruk lagi, kata-katanya terus terngiang di kepala Rania.
Nyawa yang mungkin tumbuh di rahim kamu.
'Tuhan, jangan biarkan itu benar.' ucap Rania didalam hatinya , ia benar-benar takut kalau itu menjadi kenyataan.
Rania mencoba mendorong dada pria itu dengan kedua tangannya, memaksa menciptakan jarak antara mereka, tetapi meskipun ia sudah mencoba sekuat tenaga untuk mendorong tubuh Bagaskara , namun tubuh pria itu tidak bergerak sedikit pun. Seolah ia mau menunjukan bahwa keberadaannya di situ adalah sesuatu yang mutlak, sesuatu yang tak bisa diganggu gugat oleh siapapun
"Tolong jangan lakukan ini," Rania akhirnya berkata, suaranya penuh kelelahan dan frustrasi. "Tolong jangan paksa saya untuk—" ucap Rania yang harus terpotong lagi oleh Bagaskara.
"Untuk apa?" potong Bagaskara, nada suaranya lebih dingin dari sebelumnya. "Untuk menghadapi konsekuensi dari perbuatan kita?" ucapnya lagi sambil terus memandang Rania .
"Ini bukan hanya tentang saya!" seru Rania akhirnya, memberanikan diri untuk melawan. "Ini juga tentang Bapak! Bapak sadar nggak, kalau ini benar-benar terjadi, apa yang akan terjadi dengan reputasi Bapak? Dengan keluarga Bapak? Dengan Nathan?" ucap Rania yang berusaha membuka pikiran pria dewasa ini .
Ia berharap kata-katanya akan menggoyahkan pria itu, tetapi Bagaskara justru tersenyum kecil—sebuah senyum yang tidak memberikan ketenangan, tetapi justru membuat tubuh Rania semakin merinding.
"Kau terlalu memikirkan hal yang tidak penting, Rania," ucapnya santai, tetapi penuh ketegasan. "Yang perlu kau pikirkan sekarang hanya satu hal—kalau kau memang hamil, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu, termasuk Nathan." ucapnya santai namun penuh dengan ketegasan.
Rania menatap pria itu dengan ekspresi tak percaya. "Bapak... Bapak sadar nggak betapa gilanya itu terdengar?" ucap Rania sambil menatap Bagaskara nyalang.
Bagaskara mengangkat satu alisnya, seolah perkataan Rania hanya angin lalu baginya. "Gi*la?" ulangnya pelan. "Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Menjaga apa yang menjadi milik saya, yang sudah saya harapkan sedari dulu!" Ucap Bagaskara lagi , saat ini ia begitu dominan . Sehingga rasanya Rania ingin sekali menjerit frustasi saat ini.
"Bagaskara," kali ini ia memanggil tanpa embel-embel 'Bapak', berharap bisa sedikit menyentuh sisi kemanusiaan pria itu. "Tolong... biarkan saya berpikir dulu. Saya butuh waktu. Ini terlalu cepat, terlalu... rumit." Ucap Rania dengan frustasi, ia benar-benar butuh waktu untuk menerima semua ini.
Bagaskara menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menarik diri, memberinya ruang untuk bernapas kembali. "Baik," katanya akhirnya. "Aku akan memberimu waktu. Tapi ingat, Rania..." ucapnya yang terhenti karena ia semakin mendekat ke arah Rania, kali ini suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan yang berbahaya.
"Jangan coba-coba kabur dariku." ucapnya dengan tegas itu
Dan setelah bicara seperti itu, Bagaskara langsung berbalik dan berjalan kembali ke meja kerjanya, meninggalkan Rania yang masih berdiri di tempat, tubuhnya nyaris goyah karena segala emosi yang menggelegak dalam dirinya.
wanita itu tidak tahu bagaimana caranya keluar dari situasi ini.Tapi satu hal yang pasti—ini belum berakhir.
Atau mungkin... ini baru saja dimulai.
.
.
Bersambung...
Dimohon untuk tidak menjadi silent reader ya , aku menunggu keritik dan saran dari kalian 🤭🤗😍