Tidak ada yang bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim yang bagaimana.
Tugas utama seorang anak adalah berbakti pada orang tuanya.
Sekalipun orang tua itu seakan tak pernah mau menerima kita sebagai anaknya.
Dan itulah yang Aruna alami.
Karena seingatnya, ibunya tak pernah memanjakannya. Melihatnya seperti seorang musuh bahkan sejak kecil.
Hidup lelah karena selalu pindah kontrakan dan berakhir di satu keadaan yang membuatnya semakin merasa bahwa memang tak seharusnya dia dilahirkan.
Tapi semesta selalu punya cara untuk mempertemukan keluarga meski sudah lama terpisah.
Haruskah Aruna selalu mengalah dan mengorbankan perasaannya?
Atau satu kali ini saja dalam hidupnya dia akan berjuang demi rasa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bund FF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagaimana rasanya cinta?
"Sekarang mau kemana?" tanya Tyo setelah berhasil menenangkan Aruna.
"Pulang saja kak. Gue ngantuk" kata Aruna setelah cukup lama menangis.
"Siap tuan putri" ujar Tyo yang sukses membuat Aruna tersenyum malu.
"Gitu dong, cantik kan kalau senyum" kata Tyo semakin membuat Aruna semakin malu.
"Kak Tyo darimana? Kok bisa tahu ada gue di jalan tadi?" baru sadar Aruna tentang keberadaan Tyo yang tiba-tiba.
"Biasa hang out sama teman" ujar Tyo.
"Sampai tengah malam gini?" heran juga Aruna.
"Iya. Cowok kalau sudah main PS bisa lupa waktu, Run" kata Tyo yang memang tadi bermain PS dengan teman sekelasnya.
"Gue kalau pulang malam biasanya lebur sih, kak" kata Aruna yang kembali tertunduk.
Tyo jadi serba salah.
"Rasanya sekali-kali ingin juga gue kecapekan gara-gara kelamaan main, selama ini gue kecapekan pasti gara-gara ko Acing ngasih kerjaan banyak banget" kata Aruna lagi, sudah semakin nyaman untuk mengeluh pada Tyo.
Aruna masih tertunduk, dan Tyo sebenarnya bingung harus bagaimana.
"Kalau Ferdi, dia teman main Lo kan?" tanya Tyo.
"Iya, cuma dia satu-satunya teman yang gue punya" jawab Aruna.
"Sekarang dua, sama gue kan" kata Tyo yang membuat Aruna kembali tersenyum.
"Ferdi itu beda, kak. Cuma dia teman yang nggak ninggalin gue waktu tahu bagaimana kelakuan ibu. Sementara teman yang lain sudah pergi. Ada yang dilarang sama orang tuanya, ada juga yang takut sama ibu kalau lagi marah" kata Aruna.
"Tapi sebenarnya dulu emaknya Ferdi juga sempat melarang buat berteman sama gue, makin kesini, emaknya malah makin sering nyuruh gue mampir ke rumahnya" kata Aruna.
"Ngapain?" tanya Tyo.
"Seringnya sih di kasih kue, kan emaknya Ferdi jualan kue gitu. Biasanya kalau ada lebihan pasti gue dikasih" kata Aruna.
"Tadi kenapa emaknya Ferdi jadi baik sama Lo?" tanya Tyo, sepertinya Aruna melupakan satu cerita.
"Nggak tahu juga kenapa jadi baik, sepertinya sih kasihan lihat gue" kata Aruna masih menunduk.
"Apa nggak sebaiknya kelakuan ibu Lo di laporin polisi saja, Run?" tanya Tyo, kali ini sudah terlalu kelewatan ibunya Aruna.
"Nggak dulu deh, kak. Akan ada banyak orang yang tersakiti kalau kejadian tadi sampai ke pihak kepolisian" Aruna hanya tak mau kalau Mina yang manja itu akan hancur dunianya jika tahu kelakuan bejat papanya.
"Maksudnya?" tanya Tyo.
"Nggak apa-apa. Biarlah selama keadaan gue selamat. Untuk ke depannya, gue bakalan berusaha lebih berhati-hati lagi" kata Aruna yang masih belum mau menceritakan tentang Kim.
"Ehm, boleh gue tanya satu hal sama Lo, kak?" tanya Aruna hati-hati.
"Boleh saja. Selama bisa gue jawab ya gue jawab" kata Tyo.
"Sejauh apa hubungan Lo sama Mina? Gue sering dengar kalau Mina itu pacar Lo, ya?" sebenarnya tak enak hati Aruna bertanya karena itu terlalu privasi.
"Bukan. Sebenarnya Mina itu anak dari salah satu pegawai di perusahaan papa gue. Mamanya Mina suka banget jodoh-jodohin gue" jawab Tyo.
"Tapi kalian serasi. Pasti semua orang nyangka kalau kalian pacaran deh" kata Aruna.
Tyo hanya terdiam, entah bagaimana perasaannya terhadap Mina. Dia masih terlalu bimbang.
Hingga obrolan itu harus berakhir saat mobil Tyo sudah sampai di halaman rumah Marni. Nampak rumah belakang lampunya menyala, Aruna sangsi kalau ibunya sudah sampai di rumah.
"Sepertinya ibu sudah pulang. Pasti sebentar lagi bakalan perang lagi" kata Aruna lirih.
Padahal ibunya sedang menghabiskan malam dengan bapaknya, reuni masa lalu yang kebablasan.
"Sekali lagi terimakasih ya, kak. Maaf sudah bikin Lo repot" kata Aruna yang sudah bersiap turun.
"Run" ucap Tyo sambil memegang tangan Aruna. Membuat gadis itu menoleh.
"Ehm, nggak jadi deh. Hati-hati ya. Kalau ada apa-apa hubungi gue" kata Tyo.
"Kita telepati ya" kata Aruna yang tangannya masih digenggam oleh Tyo.
"Oh iya, kita belum tukeran nomer telepon, ya" kata Tyo, masih betah tangannya menggandeng Aruna.
"Sebentar" ujar Tyo lantas mengambil ponselnya.
"Nomer Lo berapa?" tanya Tyo.
"0812345" ujar Aruna mengatakan nomor hapenya.
Tak lama, ponselnya berdering. Ponsel usang itu menampilkan nomor yang tak di kenal.
"Gue save ya kak" ujar Aruna.
Tyo hanya mengangguk, mengamati ponsel jadul Aruna dengan seksama.
"Dia benar-benar mengenaskan" dalam hati Tyo merasa kasihan sekali dengan teman barunya ini.
"Sudah. Makasih banget ya, kak. Lo hati-hati kalau pulang" ujar Aruna sambil melambaikan tangan.
Kini Aruna melangkah ke arah rumahnya setelah memastikan jika Tyo sudah pergi.
Berdegub hatinya saat kaki sudah semakin mendekati pintu. Waktu sudah menunjukkan lebih dari pukul dua belas malam.
Setelah mengambil nafas yang banyak, tangan Aruna mulai memasukkan kunci ke dalam lubangnya lantas membuka pelan pintunya.
"Bu... Ibu..." ucap Aruna lirih.
Lampu rumah sudah menyala, namun tak ada seorangpun di dalamnya.
Kini dia ingat jika tadi ibunya mengajak pergi dan Aruna tidak mematikan lampu. Dia pikir akan pergi sebentar karena sang ibu berkata untuk ke dokter. Ternyata malah akan menjual Aruna pada Kim si hidung belang.
"Awas kau, Bu. Kalau nanti marah padaku, aku nggak akan takut lagi padamu. Kita duel secara dewasa" dalam hati Aruna membulatkan tekad.
"Cukup sudah kesabaranku selama ini menerima segala pukulan dan cacian dari mulut kotormu. Sekarang kita lihat siapa yang akan menang kalau kau mau bersitegang denganku" sudah tak ada lagi rasa takut dalam diri Aruna.
Selama ini Aruna masih menghormati sang ibu karena satu-satunya orang tua yang dia miliki. Tapi ternyata memang tak ada rasa kasih sayang di hati ibunya.
Bahkan malam ini orang yang mengaku bernama ibu itu ingin menjual diri Aruna kepada papa dari temannya sendiri.
Sudah tak bisa dimaafkan.
Tubuh lelah Aruna sudah berbaring diatas ranjangnya. Menelisik pakaiannya, ternyata jaket Tyo masih tersampir indah di pinggang Aruna.
"Jaketnya kak Tyo" gumam Aruna sambil melepaskan jaket itu dan terlihatlah paha mulus yang membuat Kim tersulut rasa kelelakiannya tadi.
"Wangi sekali" gumam Aruna membaui jaket itu.
"Begini rasanya punya teman. Ternyata tak seburuk dugaanku" kata Aruna.
Mendekap jaket Tyo sampai tak sadar sudah terlelap ke alam mimpi.
Hingga pagi menjelang, Aruna sudah siap ke sekolah dan tak mendapati ibunya pulang. Kembali dia mengunci pintu dan meletakkan di tempat aman biasa dia dan ibunya tahu.
Lantas pergi ke sekolah dengan membawa jaket Tyo untuk dikembalikan kepada pemiliknya.
Masih dengan headset yang memperdengarkan musik di telinga, Aruna memasuki gerbang sekolah yang masih sepi.
Sudah ada Ferdi dengan kresek di tangannya. Berdiri di depan kelas Aruna karena memang sedang menunggu.
"Sorry telat" kata Aruna mendudukkan diri di kursi. Mereka sudah janjian bertemu di depan kelas Aruna.
"Gue juga baru datang" kata Ferdi yang ikut duduk.
"Semalam Lo kemana sih? Gue ke rumah Lo tapi nggak ada orang" tanya Ferdi.
"Lo ke rumah? Ngapain?" tanya Aruna yang tak ingin membahas masalah semalam kepada Ferdi. Takut sahabatnya itu nekat melaporkan ibunya ke polisi.
"Emak gue nyuruh ngasih kue ke Lo. Malah nggak di rumah. Yaudah, sekarang saja gue kasihnya. Bolu kok, jadi nggak mungkin basi" kata Ferdi sambil menyerahkan sekantong kresek kecil kue yang terbungkus kardus.
"Makasih ya Fer.bLo baik banget sama gue" kata Aruna yang sudah menerima pemberian Ferdi.
"Lo lihat deh cewek itu, Run" ujar Ferdi saat seorang siswi melintas di depan mereka.
"Yang rambutnya panjang itu?" tanya Aruna.
"Iya" jawab Ferdi.
"Kenapa?" tanya Aruna dengan ekor mata mengikuti cewek yang Ferdi maksud.
"Cantik ya. Rasanya gue jatuh cinta sama dia" ujar Ferdi sambil mengelus dadanya sambil tersenyum tidak jelas dengan pandangan mata tak lepas dari cewek yang dimaksud.
"Lo mau sama dia, lah dianya mau nggak sama Lo?" pertanyaan menohok itu membuat Ferdi menoleh kejam.
"Lo begitu banget sama gue. Semangatin kek kalau teman Lo lagi jatuh cinta itu" kesal Ferdi yang curhat kepada orang yang salah.
"Lah gue cuma tanya Fer. Nanti Lo terlalu berharap malah dianya nggak suka sama Lo" kata Aruna sambil mencomot sepotong bolu pemberian Ferdi untuk menemani obrolan mereka. Bel masuk masih cukup lama.
"Ya gue harus berusaha dong, Run. Kan cinta itu butuh pengorbanan. Lo gimana sih" kata Ferdi.
"Yaudah, usaha saja sana. Memangnya kalian sudah saling kenal?" tanya Aruna.
"Sudah, kita satu ekskul di PMR. Dia itu beda banget, Run" kata Ferdi seolah sedang berlatar belakang bunga yang bertebaran, senyum aneh terukir jelas di bibirnya.
"Memangnya jatuh cinta itu rasanya gimana sih, Fer?" heran Aruna yang tak pernah percaya Cinta.
"Ehm, gimana ya. Hati kita tuh berdebar kalau ada dia. Rasanya jantung ini dag dig dug nggak karuan kalau disampingnya. Kalau jauh rasanya rindu, kalau dekat nggak kuat nahan gejolak di dada" ujar Ferdi dengan bahasa syair nya.
Mendengar penuturan Ferdi, membuat tangan Aruna tak tahan untuk menjitak kepalanya.
Pletak!
"Sakit bego!" kesal Ferdi sambil memegangi kepalanya.
"Gue bales nih" kesal Ferdi yang sudah mengangkat tangannya, berusaha membalas jitakan yang barusan diterimanya.
Aruna mengelak, berusaha menghindar dengan memegangi tangan Ferdi yang seolah akan menyambangi kepalanya.
"Hahaha, oke, ampun" kata Aruna dengan tawa yang tak pernah dia perlihatkan jika tak sedang bersama Ferdi.
"Ehm" suara deheman membuat keduanya menghentikan kegiatan mereka.
Tangan Ferdi sudah di kepala Aruna, satu tangan Aruna memegangi kepalanya, satu lainnya memegangi tangan Ferdi dengan posisi Ferdi berdiri dan Aruna duduk di kursi.
Keduanya menoleh ke arah sumber suara dengan tingkah konyolnya.