"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tuan Dul
Hamzah dan Robi saling melirik, kebingungan terpancar di raut wajah mereka. Di hadapan mereka, seorang pria tak dikenal berdiri dengan senyuman ramah, seolah-olah mengerti ketidakpastian yang melanda kedua pemuda itu. Dengan langkah mantap, pria itu berjalan menuju mobil hitam mengkilap yang terparkir di pinggir jalan. Ia membuka pintu bagian tengah dan mengangguk, "Silahkan masuk."
Keduanya saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk pelan, melangkah menuju mobil dengan hati berdebar. Suasana di sekitar mereka terasa hening, hanya suara langkah kaki dan desiran angin yang menemani perjalanan menuju mobil. Pria itu, yang kini mereka ketahui bernama Supri, membuka bagasi mobil dengan sigap. "Barang-barangnya taruh di sini saja, Mas," ujarnya sambil tersenyum.
Hamzah merasa aneh diperlakukan seperti bos. Ia memberanikan diri bertanya, "Sebelumnya mohon maaf, Pak. Bapak ini siapa ya?" Suara Hamzah terdengar canggung, seolah-olah ia sedang berbicara dengan orang asing di tengah keramaian.
Supri mendekat dan mengelap tangannya sebelum menjawab, "Oh iya, maaf. Saya belum memperkenalkan diri." Senyumannya semakin lebar. "Perkenalkan, nama saya Supri. Saya adalah salah satu sopir di keluarga Tuan Dul."
Kata-kata itu menggugah rasa ingin tahu Hamzah dan Robi. "Tuan Dul? Maksud bapak Mbah Dul?" Hamzah bertanya lebih lanjut, tidak bisa menahan rasa penasaran yang menyelimuti hatinya.
"Iya nak, Tuan Dul. Atau yang kalian panggil Mbah Dul," jawab Supri dengan nada tenang.
Hamzah terdiam sejenak; nama itu begitu akrab namun misterius. Dalam hati, ia bergumam penuh tanya, “Siapakah sebenarnya Mbah Dul?”
Setelah memasukkan koper ke dalam bagasi, Hamzah dan Robi saling membantu memastikan semua barang sudah terangkut. "Sudah semua mas?" tanya Supri lagi.
"InsyaAllah sudah, Pak," sahut Hamzah sambil menepuk-nepuk tangan untuk menghilangkan debu.
"Alhamdulillah, kalau begitu," ucap Supri sambil membuka pintu tengah mobil sekali lagi. "Silahkan masuk mas."
Dengan hati-hati, Hamzah dan Robi melangkah masuk ke dalam mobil yang tampak mewah itu. Begitu pintu tertutup di belakang mereka, suasana berubah menjadi lebih intim. Pak Supri segera duduk di kursi pengemudi dan memutar kunci kontak. Suara mesin mobil yang halus menggema di dalam kabin.
"Sudah siap?" tanya Supri sambil menoleh ke belakang.
"Sudah Pak," jawab keduanya serentak.
Mobil mulai melaju pelan-pelan meninggalkan tempat parkir. Hamzah menatap keluar jendela, mencoba menangkap setiap detail jalan yang dilalui. "Rumahnya Mbah Dul jauh tidak ya Pak?" tanyanya dengan nada ingin tahu.
"Deket kok dari sini, cuma lima belas menit," jawab Supri sambil tersenyum.
"Oh, dekat ya Pak," sahut Hamzah lega.
"Kalau tidak macet," potong Supri dengan tawa ringan yang membuat suasana semakin akrab. Mereka ingin tertawa, tetapi rasa malu menahan gelak tawa yang hampir keluar.
Hamzah dan Robi duduk di dalam mobil, suasana sore yang hangat mengelilingi mereka. Perjalanan pun dimulai dengan suasana penuh tanya dan harapan. Hamzah merasa seolah sedang memasuki babak baru dalam hidupnya—sebuah petualangan yang tak terduga menanti di depan sana. Di dalam hati mereka berdua terbersit rasa ingin tahu yang mendalam tentang siapa Mbah Dul sebenarnya dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah ini hanya sebuah pertemuan biasa ataukah ada sesuatu yang lebih besar menanti mereka?
Hamzah, dengan wajah serius namun penuh rasa ingin tahu, membuka kaca mobil. Seberang jalan, gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, menciptakan latar belakang yang megah di tengah keramaian kota. Jalanan sore itu lumayan ramai, beruntung hari ini bukan hari libur, sehingga lalu lintas tidak terlalu macet.
Dengan semangat, Hamzah meraih tas kecilnya dan mengeluarkan buku catatan kecil serta pena. Ia membuka halaman kosong dan menulis dengan cepat:
Catatan II
Senin, 20 Agustus 2021.
“Siapa sebenarnya Mbah Dul? Kenapa ia ingin bertemu denganku?”
Setelah menuliskan pertanyaan yang menggelayuti pikirannya, Hamzah menutup buku kecilnya dan menyimpannya kembali ke dalam tas. Mobil melaju kencang, namun tiba-tiba terhenti di sebuah lampu merah. Dalam keheningan sejenak itu, pandangan mereka tertuju pada seorang pengemis yang mendekati mobil.
Pengemis tersebut tampak lemah dan penuh harapan saat ia menghampiri Hamzah yang kebetulan sedang membuka kaca mobil. Melihat situasi itu, Hamzah segera merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sepuluh ribu dari dompetnya. Dengan tulus ia mengulurkan uang tersebut sambil berkata, "Ini pak, semoga bermanfaat."
"Terima kasih banyak nak," jawab pengemis dengan suara serak penuh rasa syukur. "Semoga semua urusannya dipermudah oleh Allah."
"Aamiin, terima kasih pak," balas Hamzah dengan senyum hangat.
Pengemis itu beranjak pergi, meninggalkan Hamzah dengan perasaan lega dan bahagia. Pak Supri, sopir mereka yang mengamati dari kaca spion, tidak bisa menahan diri untuk berkomentar. "Banyak banget mas, lain kali jangan banyak-banyak mas," ujarnya dengan nada bercanda.
Hamzah hanya tersenyum mendengar ucapan Pak Supri. "Tidak apa-apa pak. Uang pemberianku tidak seberapa jika dibandingkan dengan doa dari bapak tadi," sahutnya sambil menunjukkan senyum bijaknya.
"Pak, sudah lampu hijau," lanjut Hamzah.
"Eh iya mas," jawab Pak Supri spontan sambil menginjak pedal gas. Mobil meluncur kembali ke jalanan yang ramai, sementara pikiran Hamzah melayang jauh pada pertanyaan tentang Mbah Dul—seorang tokoh misterius yang seolah menyimpan rahasia besar dalam hidupnya.
Di tengah perjalanan, suara klakson mobil lain membangunkan Hamzah dari lamunan. Ia melihat Robi yang duduk di sampingnya dengan ekspresi penasaran. "Apa yang kau tulis tadi?" tanya Robi.
Hamzah menjawab sambil tersenyum tipis, "Sesuatu yang menarik perhatian kita." Dalam hati ia berjanji untuk mencari tahu lebih banyak tentang Mbah Dul dan alasan pertemuan yang tak terduga itu.
Malam semakin mendekat saat mereka melanjutkan perjalanan menuju tujuan mereka—sebuah pertemuan yang mungkin akan mengubah segalanya.
Beberapa saat kemudian, mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah besar yang megah. Dari luar, hanya terlihat gerbang besar yang terbuat dari besi tempa dan tembok tinggi yang mengelilingi properti tersebut. Rumah itu berdiri anggun, seolah menyimpan banyak cerita di dalamnya. Pak Supri, dengan senyum penuh rasa bangga, menekan klakson mobilnya. Suara nyaring itu memecah keheningan, dan sejurus kemudian, pintu gerbang terbuka perlahan, seolah menyambut kedatangan mereka. Dengan cekatan, Pak Supri memasukkan mobil ke dalam halaman rumah yang luas.
Setelah mobil meluncur masuk, pemandangan rumah pun terbuka lebar. Halaman yang luas dipenuhi tanaman hijau subur dan bunga-bunga berwarna cerah. Di dekat gerbang terdapat ruang penjaga yang sederhana namun terawat. Di sisi kanan, taman yang indah menghiasi area tersebut, dengan air mancur berkilauan di tengahnya, di mana patung duyung berdiri anggun, seakan mengundang siapa saja untuk mendekat dan menikmati keindahan alam.
Mobil bergerak perlahan melewati jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rindang, menuju sebuah gerbang lain yang berbeda. Berbeda dengan gerbang pertama yang terbuka setelah Pak Supri membunyikan klakson, gerbang ini tampak menunggu dengan sabar hingga mobil mendekat. Begitu mobil mendekat, gerbang itu terbuka dengan sendirinya, seolah mengerti bahwa mereka adalah tamu istimewa. Mobil meluncur masuk dan menuruni jalan menuju garasi yang terletak di bagian bawah rumah.
Di dalam garasi tersebut, beberapa mobil terparkir rapi. Di sisi kanan terlihat tiga mobil berwarna hitam dan silver; salah satunya adalah kendaraan yang digunakan untuk menjemput Mbah Dul di stasiun tadi. Di sebelahnya, dua mobil sport berwarna merah dan chrome bersinar di bawah cahaya lampu garasi. Sementara itu, di sisi kiri terdapat empat mobil klasik yang mengingatkan pada masa lalu yang glamor. Sepeda motor juga terparkir di sudut garasi, menambah kesan petualangan bagi para pemiliknya.
Pak Supri memarkirkan mobilnya dengan hati-hati sebelum keluar dari kendaraan. Dia segera membuka pintu tengah dan memberi isyarat kepada Hamzah dan Robi untuk keluar secara bergantian. "Lewat sini mas," ucap Pak Supri sambil berjalan menuju pintu kaca besar yang mengkilap. Hamzah dan Robi mengikuti langkahnya dengan rasa ingin tahu yang semakin membara.
Setibanya di tangga, Hamzah tak bisa menahan diri untuk tidak melirik lukisan-lukisan indah yang tergantung di dinding sebelah kirinya. "Cantik," gumamnya penuh kekaguman. Setiap lukisan seolah bercerita tentang sejarah dan keindahan masa lalu. Setelah menaiki tangga, Pak Supri membuka pintu di ujung tangga tersebut dengan lembut.
Betapa terkejutnya Hamzah dan Robi ketika mereka melangkah masuk ke sebuah ruangan yang begitu mewah! Ruang tamu itu luas dan dihiasi perabotan elegan serta dekorasi artistik yang memukau. "Ruang tamu seindah dan seluas ini?" gumam Hamzah dalam hati, merasakan getaran kagum menyelimuti dirinya.
Mereka bertiga berjalan menuju sofa empuk yang berada di tengah ruangan itu. "Silahkan duduk mas Hamzah, Mas Robi," ucap Pak Supri dengan ramah. Hamzah dan Robi mengangguk sambil segera mengambil tempat duduk dengan rasa nyaman.
"Tunggu sebentar ya mas. Oh iya, ini Mas Hamzah dan Mas Robi pingin minum apa?" tanya Pak Supri sambil tersenyum hangat.
"Teh anget aja pak," jawab Hamzah singkat namun tegas.
"Kalau Mas Robi?" tanya Pak Supri kepada Robi.
"Es Cappuchino ada Pak?," sahut Robi dengan nada sedikit sombong.
Pak Supri hanya mengganguk. Setelah itu, Pak Supri berjalan meninggalkan mereka untuk menyiapkan minuman. Tak butuh waktu lama sebelum seorang wanita paruh baya muncul membawa nampan berisi segelas teh hangat dan es cappuchino. Ia menaruh gelas tersebut di atas meja depan mereka dengan senyuman ramah. "Silahkan diminum Mas Hamzah, Mas Robi," ucap wanita itu lembut.
Sesaat setelah Hamzah dan Robi menikmati minuman mereka, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekati mereka dari belakang. Hamzah merasa ada sesuatu yang berbeda dan menoleh ke sumber suara tersebut. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Mbah Dul muncul dalam balutan sarung dan baju dalamnya, wajahnya ceria meski penampilannya sederhana.
Kedatangan Mbah Dul membawa aura hangat ke dalam ruangan mewah itu—sebuah pengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu datang dari kemewahan materi semata. Dalam hati Hamzah berjanji akan menjadikan momen ini sebagai kenangan tak terlupakan dalam hidup nya—sebuah perjalanan baru dimulai di tengah keindahan rumah megah ini.