Kazuya tak pernah merasa lebih bersemangat selain saat diterima magang di perusahaan ternama tempat kekasihnya bekerja. Tanpa memberi tahu sang kekasih, ia ingin menjadikan ini kejutan sekaligus pembuktian bahwa ia bisa masuk dengan usahanya sendiri, tanpa campur tangan "orang dalam." Namun, bukan sang kekasih yang mendapatkan kejutan, malah ia yang dikejutkan dengan banyak fakta tentang kekasihnya.
Apakah cinta sejati berarti menerima seseorang beserta seluruh rahasianya?
Haruskah mempertahankan cinta yang ia yakini selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riiiiee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Kecemburuan Terpendam
Kantin kantor siang itu mulai terlihat ramai seperti biasa. Aroma masakan khas kantin memenuhi ruangan, bercampur dengan suara obrolan dan langkah kaki karyawan yang mencari tempat duduk. Hana, Eli, dan Kazuya yang sudah sibuk menikmati makanannya setelah sebelumnya menggosipkan mengenai divisi marketing yang hingga saat ini belum juga nampak. Di meja, rice bowl mereka sudah tertata rapi, masing-masing dengan lauk pilihan—ayam teriyaki, beef blackpepper, dan telur dadar.
“Gue nggak ngerti kenapa rice bowl kantin ini selalu laris,” keluh Eli sambil mencampur nasi dan ayam teriyakinya. “Padahal rasanya biasa aja.”
“Ya, karena murah dan porsinya pas,” jawab Hana santai. “Lagipula, Lo juga yang selalu rekomendasiin ini tiap kita makan siang.”
"Ya gimana, menu makanan disini gitu-gitu aja. Yang sesuai budget dan ngeyangin perut ya ini kalo emang lagi pengen makanan berat." Eli ingin menyangkal ucapan Hana nyatanya memang begitu kenyataannya.
Kazuya yang sedang mengunyah ayam teriyaki pun mengangguk menyetujui. Porsi makanan disini memang banyak untuk rasa masih bisa dinikmati lah walaupun cukup standar.
"Tapi Zuya, kalo Lo mau makanan yang bukan nasi gue rekomendasiin banget baksonya sih. Debest banget pokoknya." Hana berkata penuh semangat.
"Lo suka bakso nggak? Kalo suka besok langsung deh kita cobain, atau mau sekarang juga? Lo udah kenyang belum?" Hana terlalu excited tanpa melihat makanan di meja nya yang belum juga setengah tersentuh.
"Suka sih mbak, tapi nggak sekarang juga udah kenyang ngehabisin ini banyak banget porsinya." Kekeh Kazuya, ada-ada saja memang tingkah dua orang seniornya ini. Untung saja dirinya dipertemukan dengan orang seperti ini, membawa kebahagiaan tersendiri di tengah kepanikannya untuk menjalani dunia yang sangat baru ini—dunia magang.
"Gue penasaran dari tadi waktu Lo perkenalan, Zuya," Eli menatap serius kearah Zuya sambil mengamati wajah perempuan itu detail.
Hal tersebut membuat Zuya canggung, dilihatin seperti itu meskipun perempuan pun membuat dirinya salah tingkah. Tidak herankan jika Aronio yang menatapnya begitu dirinya sering kali salah tingkah brutal. "Penasaran apa mbak?"
"Tapi Lo jangan tersinggung ya," raut muka Eli sedikit tidak. "Lo punya keturunan Jepang? Atau orang tua Lo semacam orang-orang yang tertarik atau suka hal-hal yang berbau jejepangan, kek wibu gitu?" Tanya Eli terdikit sungkan ketika mengatakan kalimat akhirnya. "Soalnya menurut gue nama Lo jepang banget deh."
Mendengar penuturan itu membuat tawa Kazuya ingin pecah, namun ia berusaha keras menahan hingga hanya keluar kekehan kecil. "Ihhh mbak Eli, nggak papa kok jangan ngerasa nggak enak gitu, lucu tau mbak. Aku emang ada keturunan darah jepang dari kakek pihak ayah." Jelas Kazuya.
Jawaban tersebut membuat Eli lega karena dirinya tidak salah duga. Ia mengganguk-angguk mengerti. "Pantesan..."
Kekehan Kazuya masih mengalun, tapi tatapannya mendadak terusik oleh pemandangan di seberang. Sebuah rombongan yang salah satunya ada yang iya kenal ralat sangat kenal sedang berjalan kearah meja yang biasa ditempati divisi marketing—berdasarkan penjelasan Eli tadi, Aronio, manajer marketing sekaligus mas pacarnya, menjadi pusat perhatian beberapa wanita di kantin, sepertinya hak tersebut memang hal lumrah yang terjadi setiap hari.
Hana menyikut Eli pelan sambil mengarahkan pandangan. “Eh, lihat deh. Marketing udah dateng. Itu Zuya anak-anak marketing yang kita maksud tadi. Nah, Pak Aronio yang make kemeja navy." Hana semangat sekali memberi tahu Kazuya, suaranya ia kecilkan ketika memberikan informasi terkait yang mana sosok yang saja tadi ia dan Eli puja-puja.
Eli mengangguk. “Itu auranya kenapa buat gue pengen lari ke pelukannya sih, pasti wangi banget, dia tuh paket lengkap.” Binar mata Eli sangat jelas mendambakan sosok Aronio.
NGGAKK BOLEHH! ENAK AJA!!
Gue udah sering, ya!!!
Kazuya tertegun mendengar itu, mencoba memusatkan perhatian pada makanannya. Tapi tatapannya tanpa sadar kembali tertuju ke Aronio. Pacarnya itu sedang berbicara dengan salah satu karyawati, senyumnya hangat dan sikapnya begitu ramah—terlalu ramah, menurut Kazuya.
“Bener-bener bongkahan emas kantor,” Hana menambahkan. “Gue nggak ngerti kenapa marketing bisa punya divisi yang isinya cowok-cowok keren semua. Bisa nggak sih di tuker tambah sama pak Bejo.” Bisiknya pelan ketika mengatakan kalimat akhir.
“Apa lagi Pak Aronio. Lihat tuh cara dia ngomong sama mereka, friendly dan lembut banget!” Eli menunjuk ke arah meja marketing. “Kalau gue jadi anak divisi di sana, gue bisa sesek nafas tiap hari.”
Kazuya mencoba menyembunyikan ekspresinya, tapi perasaan panas di dadanya tidak bisa ia abaikan. Ia tahu Aronio memang ramah, tapi melihatnya seperti ini membuat Kazuya sedikit terkejut. Ia tidak menyangka pacarnya sebegitu hangat dan terbuka dengan rekan-rekan kerjanya—terutama wanita-wanita di divisinya.
“Lo kenapa, Zuya?” tanya Hana tiba-tiba. “Mukanya kayak nggak suka gitu.”
Kazuya tersentak. “Enggak, mbak gue biasa aja, kok. Hehehe.” jawabnya cepat menampilkan cengiran kecil berusaha terlihat biasa saja. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan mencampur lauk di rice bowlnya. Tapi matanya tanpa sadar kembali melirik ke arah Aronio.
Di meja marketing, Aronio sedang tertawa bersama rekan-rekannya. Salah satu wanita berambut pendek bahkan berani menepuk bahunya sambil ikut bercanda. Aronio membalas dengan tawa santai, tanpa terlihat terganggu sedikitpun.
“Dia emang friendly banget, ya,” gumam Kazuya pelan.
“Apa?” Hana mengangkat alis. “Lo ngomong sesuatu?”
“Nggak kok,” balas Kazuya buru-buru. Ia menyuap makanannya untuk menutupi rasa canggung.
Eli menggeleng sambil mendengus. “Gue kadang nggak habis pikir sama marketing. Kenapa mereka tuh selalu keliatan santai dan keren banget? Kayak nggak ada beban kerja sama sekali.”
“Itu kan cuma di luar aja,” sahut Hana. “Gue yakin di balik layar mereka juga mumet sama target.”
Kazuya hanya mendengarkan obrolan itu sambil terus mengamati Aronio dari kejauhan. Ada rasa campur aduk di hatinya—antara ingin marah, cemburu, kesal, tapi ada sedikit rasa bangga juga melihat sosok itu yang menjadi panutan orang-orang.
“Eh, Zuya,” Eli menyenggolnya. “Lo kenapa sih? Dari tadi diem aja.”
Kazuya tersadar. “Nggak apa-apa, mbak.” jawabnya sambil tersenyum tipis. “gue masih ngunyah ini ayam teriyaki ya ini, agak alot ya.” elak Kazuya, bahkan ayam teriyaki pada ricebowl yang ia makan kini menjadi sasaran fitnahnya—padahak ayam tersebut masih tergolong lembut.
"Emang deh rekomendasian Eli kurang bagus. Gue juga kurang suka sama menu ayam teriyaki nya. Bener deh, besok Lo harus beli bakso aja, gue yakin bakalan sesuai selera Lo." Hana yang mempercayai begitu saja fitnahan Kazuya terhadap ayam teriyaki tersebut pun ikut mengomentari ayam tersebut.
Kazuya tidak fokus, ucapan Hana bahkan hanya seperti angin lalu tidak bisa ia cerna sepenuhnya. Matanya berulang kali mencuri pandang ke meja Aronio. Berusaha merapalkan kata-kata 'bahwa ini hal normal, Aronio memang sifatnya seperti itu, dari dulu ia tahu kok jika kekasihnya sosok lelaki ramah'.
Tapi dalam hatinya, Kazuya tahu ia sedang mencoba menahan perasaannya. Aronio terlalu ramah, terlalu hangat, dan mungkin, terlalu mudah disukai orang lain. Bagaimana ia bisa bersikap biasa saja.
Dan juga, ada satu keputusan baru ia menjadi tekadnya. Sepertinya hubungan mereka tidak perlu diketahui orang-orang kantor ini. Bahkan semangat awalnya yang memotivasi dirinya untuk mendaftar magang ini—agar bisa bekerja sambil pacar— seolah hilang dan luntur begitu saja. Ia terlalu takut menerima kenyataan dan fakta-fakta baru nantinya. Bahkan, niatnya semangatnya yang ingin memberikan suprise kepada Aronio akan keberadaannya yang sedang magang di tempat yang sama dengan tempat lelaki itu bekerja pun tak lagi ada. Kini ia membiarkan agar semua berjalan begitu saja hingga lelaki itu mengetahuinya sendiri.
......................