7 Jiwa yang dipertemukan dan bahkan tinggal di satu atap yang sama, Asrama Dreamer.
Namun, siapa sangka jika pertemuan itu justru membuat mereka mengetahui fakta yang tak pernah ketujuhnya sangka sebelumnya?.
hal apa itu? ikuti cerita mereka di What Dorm Is This
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raaquenzyy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18 (fakta menyedihkan)
Hingga akhirnya mereka berenam keluar dari dalam gudang, satu persatu mulai keluar setelah dirasa aman, mereka meminta Aji untuk menaiki tangga terlebih dahulu.
Dilanjut dengan Cakra hingga berakhir pada Noah. Mereka berlari dengan sesekali membungkukkan badan agar tidak terlihat oleh sosok menyeramkan yang sempat menjadi penghalau mereka menuju gudang.
"Kita mencar, ada yang nyari di lantai 3, ada yang di lantai 2. Masing-masing tiga orang." ucap Reihan, diberi anggukan kelimanya.
"Gue, Hanif sama Aji. Cakra, Nando sama Cakra. Deal? Bagian gue ke lantai 3 kalian ke lantai 2." perintah Noah.
Akhirnya mereka berpencar, pembagian tim yang seimbang akan mempermudah mereka bila sesuatu terjadi. Apalagi jika harus melawan makhluk, peran Nando dan Noah sangat dibutuhkan di masing-masing tim karena kemampuan bela diri juga tenaga mereka yang besar.
Di lantai 2.
Reihan, Nando dan Cakra menyusuri kelas, bahkan membuka setiap pintu dengan keras. Menatap seluruh isi koridor yang tidak menunjukkan titik keberadaan Marvel sama sekali.
"Gimana? Gue nggak nemuin keberadaan bang Marvel sama sekali." helaan napas dari Reihan juga Cakra membuat Nando menunduk.
Merasa kebingungan akhirnya ketiganya memutuskan untuk menyusul Noah, Hanif dan Aji.
Di lantai 3.
Ketiganya terus mencari, posisi mereka saling berpencar untuk mencari Marvel di setiap ruang kelas yang telah dibagi.
Saat sedang mencari Aji bertemu dengan Nando, Reihan dan Cakra yang ternyata menghampiri mereka karena tak menemukan Marvel di lantai 2.
Saat dirasa tempat pencariannya tak ada tanda-tanda Marvel, akhirnya keempatnya pergi menuju tempat pencarian Noah.
"Loh, kok usah ke sini?" tanya Noah.
"Kita ga nemuin apa-apa di sana, No. Lo Nemu sesuatu?" Gelengan dari Noah sebagai jawaban membuat kelimanya menghela napas.
Di sisi lain, Hanif mencari Marvel dengan perlahan, memastikan tak ada satu tempat pun yang terlewat. Hingga setelah ia membuka salah satu pintu, ia terkejut saat melihat Marvel yang berada disana dengan kondisi tangan diikat, dan ada makhluk berwujud perempuan berdiri di sebelahnya.
Makhluk itu berseragam sekolah, roknya robek, begitupun seragam sekolahnya, rambutnya terlihat acak-acakan, tangannya penuh luka dan lebam terlihat menghiasi wajah cantiknya.
Hanif menelan ludahnya saat melihat itu, ia ingin menolong Marvel, namun saat melihat tatapan membunuh yang ditujukan padanya oleh sosok itu membuatnya memundurkan langkah.
Yang tak Hanif ketahui adalah, ditangan kanan sosok perempuan itu terdapat pisau kecil. Sosok perempuan itu berjalan mendekatinya, dengan tangan yang menodongkan pisau kecil itu ke arah Hanif.
"Hanif lari! Hanif buruan lari!" teriak Marvel saat ia melihat teman yang ia anggap sebagai adik mulai dekat dengan sosok perempuan yang mengikatnya di sini.
Ia mencoba melepaskan diri, namun tak bisa, ia merutuki dirinya sendiri, ia takut sesuatu terjadi pada Hanif, begitupun temannya yang lain.
"Noah! Aji! Tolong!" teriak Hanif.
mendengar teriakan itu, sontak sang empunya nama berlari ke sumber suara diikuti oleh Nando, Reihan dan Cakra yang baru saja tiba dari lantai 2.
Kelimanya dibuat terkejut saat melihat sosok itu, mereka saling pandang. Merasa kebingungan antara apakah di depan mereka ini sungguh makhluk atau hanya siswi yang kerasukan? Tapi dilihat dari caranya berdiri yang tak menapakkan kaki, mereka yakin, pasti gadis ini sudah mati.
"Siapapun nama lo, pokoknya gue mau bilang kita nggak ada salah apapun sama lo dan temen-temen lo. Apa alasan kalian ganggu kita hari ini? Semua yang kalian lakuin sekarang hampir buat gue sama temen-temen gue celaka!" seru Nando merasa emosi saat gangguan demi gangguan terus ia dan temannya dapatkan.
"KALIAN HARUS MATI!" Sosok itu mendekat, membuat mereka sontak menjauh sebelum seorang siswa berseragam yang sama dengan Noah dan teman-temannya menghalangi makhluk itu.
"Sinta, redakan amarahmu, mau bagaimanapun kita tidak bisa menyalahkan mereka atas apa yang kita alami. Bukan mereka yang melakukan itu, mereka hanya memiliki hubungan keluarga dengan pelaku, bukan mereka yang melakukan, mereka tak pantas mengalami ini semua. Ada dua dari mereka yang merupakan keluarga dari korban, bahkan dari salah satu guru kita yang selamat. Jangan lukai mereka, dan aku meminta tolong bilang pada teman-teman dan petugas yang lain, jangan mengganggu mereka, karena bukan mereka yang salah, Sinta." ujar siswa itu.
"Aku dilecehkan! Aku tidak akan pernah membiarkan mereka selamat, masa mudaku di renggut, aku harus mati di tempat ini! Aku tidak seharusnya menerima semua ini! Akan aku pastikan mereka mati! Mati di tangan kami semua! Tidak peduli jika memang ada keluarga dari korban, aku tetap akan membunuh mereka!" Sosok perempuan itu menghilang dalam sekejap, membuat tubuh mereka terpaku melihat kejadian di depan mata.
Siswa itu berjalan mendekati Marvel, membukakan ikatannya. "Makasih banyak, siapapun lo, makasih!" Marvel menundukkan tubuhnya sebelum akhirnya berlari menuju keenam temannya yang langsung menanyakan beribu pertanyaan padanya.
"Lo nggak pa-pa bang? Apa yang luka?"
"Nggak pa-pa, maaf udah buat lo semua kayak gini, kalian kesusahan nyari gue ya? Maafin gue." ucap Marvel yang langsung mendapat pukulan pelan dari Reihan.
"Nggak ada yang nyusahin, musibah nggak ada yang tau."
"Andra, makasih banyak udah menyelamatkan kita semua, makasih banget." seru Hanif saat melihat siswa yang tadi membantu mereka ternyata adalah Andra, pria yang ia kenal kemarin.
Cakra membeku saat melihat Andra, dadanya seketika sesak, langkahnya berjalan, terasa berat, merasa tidak percaya dengan pria yang ia lihat di hadapannya ini.
"Bang Chandra!" teriak Cakra, pada akhirnya ia berlari menabrak tubuh pria itu dan memeluknya begitu erat, seolah tak ingin kembali berpisah dengan kakak kandungnya yang telah hilang bertahun-tahun.
"Kemana aja bang?!" tanya Cakra, ia masih enggan untuk melepaskan pelukannya, ia begitu merindukan pria jangkung yang ia panggil dengan sebutan 'Abang' ini.
"Gimana kabar adek? Sehat?" tanya Chandra yang hanya mendapat anggukan dari Cakra. "Bang, adek kangen sama abang, kenapa nggak pernah pulang sih?" Bulir halus mulai keluar dari kedua mata Cakra, ia menatap wajah kakaknya yang baru ia sadari terdapat luka disana.
"Adek, sekarang abang nggak bisa temuin adek, mama sama papa secara langsung. Dunia kita udah beda." Cakra mengernyit merasa kebingungan dengan jawaban Chandra.
"Adek, dengerin abang. Sekarang, abang, Adek, mama sama papa udah beda dunia. kamu sama temen-temen kamu nggak seharusnya ada di sini. Adek, dalam waktu dekat kita nggak akan pernah bisa bertemu lagi, Adek harus kembali ke dunia adek, sementara abang tetap di sini karena ini dunia abang." Tangisan Cakra semakin menjadi saat mengerti apa yang dimaksud dengan kakak laki-lakinya.
"Adek, kalau mama sama papa masih cari abang, suruh berhenti ya? Sebentar lagi setelah semuanya selesai abang udah tenang. Kalau adek mau tau dimana jasad abang, adek cari di taman belakang. Di sana semua jasad korban pembunuhan dikubur secara nggak layak, kamu bantu mereka untuk dikubur secara layak ya? Ada abang juga di sana, kalau kamu kebingungan abang yang mana karena tubuh abang pasti udah jadi tengkorak, kamu liat kalung pemberian kamu ini. Abang masih pakai kok. Sampai akhirnya kalian semua keluar dari sini, abang bakal pergi, untuk selamanya, adek ikhlaskan abang ya? Jadi kuat untuk mama papa oke?" Kalimat itu, berhasil membuat mereka semua yang ada disana mengeluarkan air mata, kalimat yang diucapkan secara tulus dan disusun begitu rapi agar tak membuat Cakra terkejut dengan fakta yang harus ia terima.
"Nggak mau, abang pasti bohong. Cakra nggak bisa tanpa abang, nggak mau, abang harus ikut Cakra pulang" jawab Cakra terbata-bata, isakan nya semakin terdengar dengan jelas.
"Siapa bilang kamu nggak bisa tanpa abang? Cakra, selama abang dinyatakan hilang kamu dengan hebat mau berusaha menguatkan mama dan papa, iya kan? Kamu udah hebat, dek."
Chandra melepaskan pelukannya, menggeser sedikit tubuh adiknya agar ia dapat melihat keenam teman-teman Cakra yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Ingat, ya. Ini semua bukan salah kalian, setelah tau faktanya nanti jangan sampai kalian menyalahkan diri sendiri, semua ini musibah. Dan tolong janji, hibur Cakra dan kalian harus tetap berada di dekat Cakra apapun yang terjadi. Oke?" Keenamnya mengangguk.
Atensi Chandra bergulir ke arah Hanif yang terlihat masih terpaku dengan apa yang ia lihat," Hanif ,maaf sudah membohongi kamu. Tapi aku memang kelas 11 IPA 1, tapi itu 10 tahun yang lalu." Hanif mengangguk.
"Adek, jangan salahin mereka atau bahkan marah ke mereka, ya?" Ucapan terakhir Chandra sebelum akhirnya kembali menghilang, wujudnya tak terlihat sama sekali, membuat Cakra histeris detik itu juga.
"ABANG! BANG CHANDRA, NGGAK MAU, JANGAN TINGGALIN ADEK! ABANG! ADEK BENERAN NGGAK PEDULI DUNIA KITA BEDA ATAU APAPUN, ADEK TETEP MAU ABANG ADA DI SINI, BARENG ADEK, BARENG MAMA SAMA PAPA! JANGAN PERGI ABANG! ADEK BELUM SELESAI SAMA ABANG, ADEK NGGAK MAU PENANTIAN ADEK SELAMA BERTAHUN-TAHUN TERNYATA HARUS BERAKHIR KAYAK GINI! ABANG!!" teriak Cakra, suara melengking nya terus memanggil nama Chandra.
Marvel mendekati Cakra, mendekapnya berusaha memberikan ketenangan pada yang lebih muda. "Cakra, jangan kayak gini, abang lo bisa sedih, kita sama-sama coba keluar dari sini ya? Terus kita cari dimana abang Chandra di kuburkan secara nggak layak. Kita bantu bang Chandra tenang, ya?" tutur Marvel.
"Cak, lo mau abang lo tenang kan? Ayo kuat untuk sementara, nangisnya dilanjut lagi nanti, kehilangan emang nggak mudah, apalagi untuk selamanya, tapi ayo berusaha ikhlas demi kebaikan abang lo juga." sambung Hanif.
Setelah diam beberapa saat dalam dekapan Marvel, akhirnya Cakra kembali berdiri tegak, menghapus sisa air matanya. "Ayo bang, gue nggak mau buat bang Chandra nunggu lama." Keenamnya tersentak mendengar itu, sontak berjalan menuju lantai 2 dan menuruni tangga lipat yang sebelumnya mereka gunakan untuk menaiki lantai 2.
"Tolong, buat gue ikhlas dalam menghadapi ini, bang Chandra, gue berusaha, rasanya sulit, tapi gue janji bakal ikhlas, bang." batin Cakra.