"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: Pelukan dan Ginjal
happy reading
...****************...
Di tempat lain, di taman belakang rumah sakit, Seonho mengajak Yoora ke lokasi yang sepi. Pria itu duduk dengan sikap arogan di kursi taman, sementara Yoora berdiri di depannya, menunduk, berusaha menghindari tatapan tajamnya. Banyak pertanyaan berputar dalam benaknya, menciptakan ketegangan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Aku akan bicara pada intinya," ujar Seonho dengan nada tegas, membuat Yoora merasa semakin cemas.
"Iya," jawabnya lirih, suara itu hampir tak terdengar. Dia menunggu penjelasan dari Seonho, hatinya berdebar-debar. Kali ini, apa lagi yang akan membuat sang kakak marah padanya?
Yoora sudah bersiap-siap menghadapi amukan Seonho, merasakan ketidakpastian menggelayuti pikirannya. Rasa takut dan bersalah bercampur aduk, membuatnya merasa seolah terjebak dalam suasana yang tak nyaman. Dia menahan napas, menanti setiap kata yang akan diucapkan oleh Seonho, berharap kali ini dia bisa mendengar sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.
"Berikan ginjalmu padaku," ujarnya dengan nada datar, seolah memerintahkan.
Udara malam yang berhembus begitu kencang, membawa serta ketegangan di antara mereka. Ucapan Seonho berhasil membuat Yoora terdiam, antara rasa terkejut dan bingung.
"Ginjalku?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Kamu bilang akan melakukan apapun untuk membuatku bahagia, kan? Kamu bilang kamu rela menyerahkan nyawamu untukku." Seonho mengangguk tenang, seolah apa yang dia minta bukanlah hal besar yang berarti.
"Tapi untuk apa?" Tanya Yoora, kembali membuka suaranya dengan keraguan.
"Untuk Jihwan. Aku tidak mau melihatnya hidup dengan satu ginjal. Aku tidak akan rela melihat adikku menderita," jelas Seonho dengan tegas, nada suaranya menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam.
"Apa… Jihwan oppa?" Tanya Yoora, bingung dan terkejut mendengar nama sang kakak.
"Ckkk… Kau tidak bodoh, kan? Sesekali bacalah artikel! Apa kau tidak tahu jika kakakmu sendiri telah dianiaya orang lain?" Tutur Seonho kesal, suaranya meninggi.
"Apakah oppa akan bahagia jika aku memberikan ginjalku untuk Jihwan oppa?" Tanya Yoora dengan suara pelan, berusaha mencerna penjelasan singkat Seonho.
"Tentu saja," jawab Seonho dengan nada santai, seakan semua ini tidak ada artinya baginya. Yoora terdiam saat melihat Seonho mengangguk tanpa ragu. Dia terdiam beberapa saat, menatap sang kakak yang juga menatapnya.
"Akan aku berikan… {Yoora terdiam sejenak, lalu melanjutkan ucapannya} tapi aku punya satu syarat. Bisakah oppa mengabulkannya untukku?" ujar Yoora dengan nada memohon, wajahnya penuh harap.
"Ckkk… Ini yang kamu bilang akan memberikan apapun untukku? Ucapanmu tentang nyawamu itu guyonan semata ternyata," jawab Seonho sembari tertawa meremehkan.
"Hanya satu, oppa," lirih Yoora, bersimpuh di hadapan sang kakak, matanya berkilau penuh harap. Keberanian untuk mengungkapkan permintaan ini bagaikan bertaruh nyawa, tetapi dia tak bisa menahan keinginan untuk merasakan kasih sayang yang selama ini terasa hilang.
Seonho memutar bola matanya malas, seolah tak iba sedikit pun pada adik perempuannya itu. Dia terkesan dingin, tetapi Yoora tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikapnya.
"Katakan…" tuturnya dingin, suaranya menandakan ketidakpedulian, namun di dalam hati, dia mulai merasa tergerak.
"Bisakah oppa memelukku sekali saja? Hanya sekali. Aku ingin merasakan apa yang dirasakan oleh Jungsoo, Taehwan, dan Jihwan oppa selama ini. Hanya sekali, oppa. Aku berjanji akan memberikan apa yang oppa minta," tutur Yoora yang masih memohon kepada sang kakak, suaranya bergetar penuh emosi, mencerminkan harapan dan kerentanan yang mendalam.
Seonho terdiam beberapa saat, seolah sedang memikirkan permintaan adik bungsunya itu. Dia menatap Yoora yang sedang menunggu jawabannya, dan pada akhirnya, mengangguk perlahan.
"Hanya sekali," tutur Seonho, suaranya terdengar begitu datar, namun hal itu tetap membuat Yoora tersenyum. Kebahagiaan seolah mengalir dalam dirinya, menghapus sejenak ketakutan yang menggelayuti hati.
"Ke mari…" ujar Seonho sambil merentangkan tangannya, seolah menyambut Yoora ke pelukannya.
Yoora terdiam beberapa saat sebelum akhirnya melangkah maju dan memeluk sang kakak. Rasa tidak percaya dan bahagia bercampur menjadi satu saat kakak tertuanya itu mengabulkan permintaannya. Dia lupa akan hal-hal yang harus dia relakan untuk mendapatkan pelukan singkat ini. Dalam pelukan Seonho, dia merasakan cinta yang tulus, meski tertutup oleh kepedihan.
Air mata Yoora mengalir deras, tak kuasa dia menahan emosi. Dengan mata terpejam, dia merasakan kehangatan di antara dinginnya angin malam yang berhembus begitu kencang. Setiap detik dalam pelukan itu terasa berharga, seolah waktu berhenti untuk memberi mereka kesempatan merasakan kedekatan yang selama ini hilang.
Beberapa saat hening, sebelum Seonho kembali berucap sembari melepaskan pelukannya. Dia sedikit mendorong tubuh sang adik hingga Yoora sedikit terhuyung, seolah dipaksa bangun dari mimpinya sejenak.
"Operasinya akan dilakukan setelah Jihwan sehat dan semuanya sempurna. Selama itu, kau harus menjaga baik-baik ginjalmu. Jika aku sampai mendengar kegagalan dalam operasi Jihwan, aku tidak akan membiarkanmu melihat dunia ini lagi. Dan jangan pernah katakan pada siapapun tentang ini. Kau akan tahu konsekuensi jika melanggar perintahku," tutur Seonho dengan nada tegas, menekankan setiap kata seolah mengukir pesan tersebut dalam jiwa Yoora. Setelah menyampaikan semua itu, dia berbalik dan pergi, meninggalkan sang adik yang masih terdiam, meresapi kembali semua yang baru saja terjadi.
Yoora menatap punggung sang kakak yang semakin menjauh, hingga akhirnya hilang di balik megahnya bangunan rumah sakit. Rasa campur aduk memenuhi hatinya antara rasa syukur dan kesedihan yang menyakitkan.
"Aku berhasil… akhirnya aku bisa merasakan apa yang selama ini dirasakan oleh Jungsoo, Taehwan, dan Jihwan oppa... Aku berhasil, Tuhan," lirihnya, suaranya pecah saat kata-kata itu keluar.
Air matanya luruh ke tanah, dia menangis sesenggukan seolah masih tak percaya bahwa dirinya bisa merasakan pelukan dari sang kakak yang selama ini begitu membencinya. "Aku berhasil," ulangnya dengan suara yang terisak, sambil menyembunyikan wajahnya di balik lututnya. Dalam pelukan kegelapan malam dan hembusan angin yang kencang, dia tetap menangis sembari tersenyum, seolah menangisi keinginan yang telah terwujud meski dengan pengorbanan yang begitu besar.
Keinginan yang telah lama terpendam kini akhirnya tercapai. Kini hanya tinggal lima kakak lagi yang belum dia peluk, dan setelah itu, dia berjanji tidak akan meminta banyak hal lagi pada Tuhan. Keberhasilan ini, meski dibayar dengan harga yang mahal, tetap menjadi cahaya harapan di dalam hatinya.
"Kemana mereka?" ucap Makin, semakin gelisah mencari keberadaan Yoora dan Seonho. Tak lama kemudian, dia tidak sengaja melihat Seonho yang baru kembali dengan tergesa-gesa dari luar rumah sakit.
"Hyung…" panggil Namjin, menghentikan langkah Seonho yang tampak terburu-buru.
"Apa? Kenapa kamu di sini?" tanya Seonho dengan nada sedikit bingung , menatap adiknya dengan cemas.
"Yoora? Kemana Hyung membawanya?" tanya Namjin, matanya meneliti wajah sang kakak, mencari petunjuk tentang keadaan adiknya.
"Kau…" Ucapan Seonho langsung terhenti saat Namjin memotongnya.
"Sekali ini saja, Hyung. Ini sudah malam, aku takut terjadi apa-apa padanya," desak Namjin, nada suaranya menunjukkan kecemasan yang mendalam. Seonho mendengar ketulusan permohonan Namjin, dan dia pun berpikir hal yang sama.
Dia tidak mau Yoora dalam keadaan berbahaya, bukan karena rasa khawatir pada keselamatan adiknya itu, tetapi karena dia takut Yoora terluka dan tidak bisa mendonorkan ginjalnya untuk Jihwan. Akhirnya, dia memutuskan untuk membiarkan Namjin mengantarkan Yoora pulang.
"Ada di taman rumah sakit, hanya kali ini saja, Namjin… Hyung peringatkan, jangan pernah dekat-dekat dengannya. Hyung tidak mau Jungsoo terluka lagi karena sikapmu," ujar Seonho dengan nada acuh sambil berlalu, meninggalkan sang adik yang tampak bingung.
Namjin segera bergegas menuju taman belakang rumah sakit, hatinya berdebar-debar saat mencari keberadaan sang adik. Sesampainya di sana, dia melihat Yoora yang sedang bersimpuh di tanah, dekat kursi taman rumah sakit. Dengan langkah cepat dan khawatir, dia berlari mendekati Yoora.
"Adek…" lirih Namjin saat melihat kondisi adiknya. Mata cantiknya terlihat sembab, dengan air mata yang masih tergenang di pelupuk matanya, memancarkan rasa sakit yang terpendam.
Namjin berjongkok, merengkuh tubuh Yoora yang terasa begitu dingin. Dia membuka jaketnya dan mengenakan jaket itu pada adik perempuannya, berusaha memberikan kehangatan di tengah malam yang dingin. Angin malam terus berhembus kencang, seolah mengisyaratkan agar semua orang segera masuk ke dalam ruangan, namun suasana itu tidak menghalangi rasa peduli Namjin kepada Yoora.
"Apa yang Seon Hyung lakukan padamu? Katakan pada oppa," lirih Namjin, suaranya penuh perhatian dan khawatir, tetap memeluk adiknya erat-erat.
Yoora tidak menjawab apapun. Dia hanya terisak lirih dalam pelukan Namjin yang selama beberapa bulan ini kembali acuh dan menjauhinya seperti dahulu. Dia diam dan menangis dalam pelukan Namjin, seolah menyalurkan segala bebannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dalam momen itu, hanya kehadiran Namjin yang membuatnya merasa sedikit lebih baik, seolah pelukan itu menghapus sebagian dari rasa sakit yang ada di hatinya, Kejadian itu berlangsung beberapa menit, terhenti saat Yoora berucap.
"Kenapa oppa di sini? Jihwan oppa membutuhkanmu." Suaranya bergetar, menandakan bahwa dia berusaha menyembunyikan rasa khawatirnya tentang kondisi Jihwan.
"Apa yang Seon Hyung lakukan padamu?" tanya Namjin, mengabaikan pertanyaan adiknya itu. Rasa penasaran dan cemas menggelayuti pikirannya. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tahu tentang apa yang telah dilakukan Seonho pada Yoora kali ini.
"Tak ada yang dia lakukan padaku," jawab Yoora, berusaha tersenyum, meskipun sisa air mata masih membasahi pipinya. Dia berharap senyum itu bisa menghapus semua yang terasa berat di hatinya, tetapi dia tahu itu tidak cukup.
"Jangan bohong... Katakan pada oppa, Yoora," ujar Namjin, nada suaranya menegaskan bahwa dia tahu adiknya menyembunyikan sesuatu. Dia bisa merasakan ada lebih dari sekadar kebohongan yang tersembunyi di balik senyuman Yoora.
"Tak ada apapun, sungguh. Seon oppa hanya menyuruhku untuk menyiapkan barangnya di rumah," kata Yoora, berbicara asal. Suaranya teredam oleh rasa sakit yang tak terucapkan.
"Apa tidak lelah berbohong untuk membuat seseorang bahagia? Apa tidak lelah berpura-pura bahagia untuk orang lain?" tanya Namjin, nada suaranya semakin mendalam, penuh keprihatinan.
"Aku harus segera pulang, oppa. Maafkan aku," ujar Yoora, perlahan bangkit dari duduknya, ingin mengakhiri percakapan yang semakin menyakitkan.
"Tunggu…" sergah Namjin, mengulurkan tangan untuk memegang pergelangan tangan sang adik.
"Oppa, antarkan," ucap Namjin sekali lagi, penuh harapan.
"Jangan, oppa. Aku sudah memesan taksi. Temani Jihwan oppa, dia lebih membutuhkanmu saat ini. Aku bisa menjaga diriku dengan baik," tegas Yoora, berusaha meyakinkan Namjin, meskipun hatinya bergetar.
"AKU BILANG BERHENTI BERBOHONG, BERHENTI TERSENYUM SAAT HATIMU TERLUKA. Percayalah… aku akan mengantarmu pulang," ujar Namjin, nada suaranya meninggi, seolah mengekspresikan semua emosi yang terpendam. Dia langsung menyeret Yoora agar mau ikut bersamanya.
"Harusnya oppa tidak mendekatiku… aku harus menanggung banyak konsekuensi jika berdekatan denganmu," lirih Yoora, suaranya penuh keputusasaan, tetapi Namjin seolah tidak peduli. Dia tetap bersikeras untuk mengantarkan Yoora pulang dan memastikan adiknya itu selamat sampai tujuan.
Sepanjang perjalanan, keheningan menyelimuti antara kakak beradik tersebut. Baik Yoora maupun Namjin tidak ada yang mau membuka suara, masing-masing terfokus pada pikiran mereka yang rumit. Perasaan cemas dan kecewa bergelut di dalam hati mereka, menciptakan jarak yang semakin dalam.
Tak butuh waktu lama, keduanya sampai di kediaman keluarga mereka. Namjin langsung turun dari mobil tanpa mengajak Yoora sama sekali, menunjukkan ketidakpuasan dan kesal yang mengganjal di hatinya. Yoora pun tahu bahwa Namjin marah padanya, tetapi mau bagaimana lagi, semua orang memintanya untuk menjauhi Namjin.
Tanpa banyak bicara, Yoora langsung masuk, mengikuti langkah Namjin walaupun tidak berhasil mengejarnya, karena langkah Namjin begitu lebar. Rasa sakit dan penyesalan menyelimuti hatinya, tetapi dia memilih untuk beristirahat di kamarnya, mengetahui bahwa besok dirinya harus bersekolah.
Yoora hanya bekerja di hari libur, seperti Sabtu dan Minggu, atau ketika dia memiliki waktu luang. Dengan cara itu, dia tidak perlu meninggalkan kegiatan sebagai pelajar, tetap bisa fokus pada sekolah tanpa harus mengorbankan masa depannya. Dia sangat menyadari bahwa pendidikannya adalah prioritas utama, meskipun pekerjaan itu memberikan sedikit kebebasan finansial dan pengalaman berharga.
Setelah membersihkan diri, Yoora memilih untuk belajar sebentar, berharap dapat memahami pelajaran yang tertinggal. Namun, keletihan yang melanda membuatnya tak sadar terlelap di atas meja belajar. Buku-buku dan catatan berserakan di sekelilingnya, menciptakan gambaran seorang pelajar yang berjuang keras meskipun beban yang dipikulnya semakin berat.
Namjin yang tidak sengaja ingin mengambil air, melihat keadaan adiknya dan merasakan hatinya tergerak. Tanpa berpikir panjang, dia langsung masuk ke kamar Yoora.
"Sudah tidur saja ternyata," tuturnya pelan, senyumnya tulus ketika melihat wajah Yoora yang damai. Dengan hati-hati, dia mulai membereskan buku-buku yang berserakan, merapikan ruang belajar sang adik dengan lembut agar tidak mengganggu tidurnya.
Dia lalu menggendong Yoora, mengangkatnya dengan hati-hati agar tidak membangunkannya, dan memindahkannya ke tempat tidur yang nyaman.
"Selamat malam… mimpi indah ya, { ucap Namjin, suaranya lembut} Setidaknya, bahagialah di mimpimu. Maafkan oppa karena menjauh lagi darimu." Dia berharap Yoora bisa merasakan ketulusan dari ucapannya meskipun mereka terpisah oleh berbagai keadaan yang rumit.
Namjin menyentuh wajah Yoora dengan lembut, memastikan dia nyaman sebelum membenarkan selimut yang menutupi tubuhnya.
"Tolong maafkan oppa karena sudah membebani pikiranmu tadi," tambahnya, merasa ada beban di hatinya. Dengan satu kecupan lembut di dahinya, dia merasakan kehangatan kasih sayang yang ingin dia ungkapkan. Kemudian, dengan langkah hati-hati, dia keluar dari kamar dan mematikan lampu, meninggalkan ruangan dalam kegelapan yang menenangkan, namun menyimpan harapan untuk hari-hari yang lebih baik.