"Siapkan dirimu! Aku akan kembali menyiksamu malam ini!" Stevan mengucapkan itu sembari melangkah menuju pintu untuk keluar.
"Aku tidak bisa melayanimu malam ini hingga sepuluh hari ke depan Stevan Jafer Dirgantara!"
Langkah pria itu terhenti saat mendengar Bulan dengan lantang mengatakan itu. Stevan berbalik memutar tubuhnya menatap Bulan dengan tatapan penuh tanya.
"Apa kau bilang? Katakan sekali lagi!" dingin dan tegas pertanyaan Stevan membuat Bulan tertawa di dalam hatinya.
"Ya! Aku tidak bisa melayanimu sampai sepuluh hari kedepan! Kau dengar itu Tuan Stevan?" ucapnya lagi dengan jelas.
Plaaakkk...
Bukan bertanya, Stevan justru melayangkan tangan ke pipi mulus Bulan hingga membuat wajahnya menoleh ke kanan sampai darah segar keluar dari sudut bibirnya. Bulan mengusap darah itu dan mendongak menatap pria yang ada dihadapannya dengan tatapan kebencian.
Bagaimana kisah selanjutnya?
kita simak yuk ceritanya di karya => Kekejaman Suamiku.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rania Alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 33
Pagi harinya.
Stevan berangkat ke kantor pagi ini dengan supir perusahaan karena Pak Parto masih dirawat dirumah sakit setelah pertengkaran semalam. Pria itu berjalan dengan langkah lebar menuju ruangannya dan sudah di sambut oleh sekertaris Alesia.
"Selamat pagi, Tuan." sambut Alesia menunduk hormat.
"Hem!"
Alessia mengikuti Stevan masuk ke dalam ruangan nya karena hari ini dia yang akan menjadwalkan semuanya sampai jam pulang kantor.
Stevan melihat wanita itu ikut masuk pun mengerutkan keningnya.
"Ada apa kau kemari?" tanyanya menatap Alessia.
"Saya di perintah Pak Boy untuk mendampingi anda hari ini, Tuan." sahutnya menunduk takut.
"Memang nya kemana dia?" tanya nya dengan nada yang super dingin.
"Pak Boy ijin cuti selama satu minggu, Tuan."
Braaak !!
Alesia mengangkat bahunya terjungkat kaget karena Stevan tiba-tiba menggebrak mejanya dengan keras karena Boy tak ijin padanya untuk cuti.
"Kurang ajar! Sudah bosan bekerja rupanya! Apa saja jadwalnya hari ini?" tanya Stevan dengan suara baritonnya hingga menggema di seluruh ruangan.
"Hari ini jam sepuluh ada jadwal meeting di Perusahaan X, dan jam satu siang ada pertemuan meeting di restoran B, Tuan!" sahutnya meski gemetar dia harus tetap profesional.
"Hanya itu!?"
"Iya Tuan." sahut Alesia mengangguk.
"Siapkan semua berkas nya! Kau ikut meeting bersamaku!" perintahnya sambil membuka layar laptopnya di meja kerja.
"Baik Tuan, permisi."
Alesia berbalik dan melangkah keluar sebelum bos nya semakin marah. Dia menghembuskan nafasnya kasar setelah duduk di kursinya karena berada di dekat Stevan sudah seperti menghadapi jurang yang tajam, jika salah langkah bisa terperosok masuk ke dalam jurang dan nyawa taruhannya.
*
Di tempat lain.
Boy masih berada di apartemen nya hari ini, dia ingin mengobati wajahnya lebih dulu karena bagian hidung, bibir dan mata semuanya lebam karena Stevan menghajarnya tanpa ampun.
Saat sedang membuat roti panggang, ponselnya berbunyi tanda ada pesan masuk. Boy meraih ponselnya dan membaca pesan dari seseorang.
"Bos, target sudah mulai curiga. Harus bagaimana selanjutnya ?"
"Tetap awasi, jangan sampai kehilangan jejak. Jika sudah mulai mencurigaimu, cari orang lain yang bisa dipercaya untuk mengawasinya dari dekat. Kalau bisa seorang perempuan." balas Boy sambil menyeruput kopinya duduk di sofa ruang keluarga.
"Oke Bos !"
Boy meletakan ponselnya, dia bersandar disandaran sofa sedang memikirkan sebuah rencana yang Stevan tidak tahu. Dia ingin Stevan sadar, bahwa pria kejam itu membutuhkan dirinya juga Bulan.
Boy akan memberikan sedikit pelajaran pada sahabatnya itu bahwa Stevan tidak bisa apa-apa tanpa dirinya yang selalu mendampingi.
"Gue harus gerak cepat, kalau tidak nyawa gue bisa terancam."
Saat sedang menggigit rotinya, tiba-tiba ponsel nya kembali bunyi dan berdering. Boy melihat siapa yang menelfon.
'Bos Gila'
Boy mengerutkan keningnya melihat Stevan menelfonnya. "Ada apa dia telfon? Biarin dulu lah. Biar emosi dulu dia." gumamnya bersantai terus memakan roti sambil sesekali menyeruput kopi.
Tak lama, ponselnya kembali berdering. Akhirnya mau tak mau dia mengangkat telfonnya sebelum pria kejam itu mendatangi tempatnya tinggal.
"Hem! Ada apa!" ketus Boy menyahut telfon dari bos nya.
"Buka pintu! Aku di depan!"
Boy membulatkan matanya dan tersedak. "Uhuk...Uhuk..Uhuk.. Apah! Kau di depan mana?" tanya nya dengan suara terkejut.
"Memang nya kau punya apartemen berapa! Cepat buka pintu!"
Boy mendengkus kesal, baru saja bersantai beberapa jam sudah di datangi sahabat yang selalu membuatnya kesal. Dia melangkah menuju pintu dan melihat dari lubang pintu. Ternyata benar, pria kejam itu sudah di depan pintu apartemennya.
Ceklek...
Pintu terbuka lebar, Stevan menatap tajam Boy yang saat ini bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana pendek masih dengan muka bangun tidur.
"Kenapa kau ijin cuti tanpa memberitahuku! Apa yang kau rencanakan!" tanya Stevan melangkah masuk membiarkan Boy masih di ambang pintu.
"Lu itu bisa nggak sopan sedikit! Permisi dulu ucapin salam sebelum masuk! Baru aja masuk udah langsung marah-marah nggak jelas, lu itu perempuan atau jadi-jadian sih!"
Bugh...
Stevan kembali memberi bogem pada nya karena kesal. Pria itu duduk sebelum di persilahkan dan dengan sorot tajam menatap Boy dengan tatapan kesal. Seakan sudah seperti yang punya rumah.
"Apartemen ini gue yang beliin buat lu! kalau gue mau, gue bisa ambil dan usir lu biar tidur di jalanan!" sahutnya kesal.
Begitulah kedua sahabat ini jika bertengkar, tidak akan saling membenci bahkan bermusuhan. Setelah bertengkar justru keduanya semakin erat untuk tidak saling meninggalkan.
Boy membuatkan kopi untuk Stevan dan menaruhnya di atas meja. Boy kembali menatap layar televisi dan menekan tombol remot untuk mencari channel yang dirinya inginkan.
"Lu nggak mempersilahkan gue buat minum kopi buatan lu! Hah!"
Boy yang mendengar itu melirik sahabatnya dengan sinis. Seakan masih kesal dengan Stevan karena sudah memberi bogem padanya semalam.
"Astaga... Ya Tuhaaan...! Berikanlah aku kesabaran yang luas menghadapinya." Boy mengusap wajahnya kasar dan kembali menatap Stevan di sampingnya. "Silahkan di minum kopi nya Tuan Stevan Dirgantara!" ucapnya dengan gaya ala perempuan yang berlenggak-lenggok menawarkan kopi itu padanya.
"Terimakasih!" sahutnya dan mengambil cangkir kopi lalu meminumnya.
Ada-ada saja tingkah mereka berdua ini jika sudah bertemu, sudah seperti tom & jerry yang selalu ada bahan untuk diributkan.
"Aku sudah mencari petunjuk melalui Pak Parto tentang Bulan." ujarnya datar dan Boy masih saja mengutak atik remot tv nya terus mengganti channel.
"Lalu?" sahutnya singkat.
"Dia tidak tahu apapun, pak Parto sudah mengantar Bulan hingga gerbang. Setelah itu dia pergi, dan kau juga ikut pergi sebelum memastikan wanitaku masuk ke dalam rumah." jelas nya panjang lebar dan...
Braaak...!!
Bahu Stevan naik terjungkat kaget atas kelakuan sahabatnya itu yang secara tiba-tiba menggebrak meja di hadapannya.
"Naaah... Itu tahu! Kenapa kau lebih percaya dengannya dan tidak percaya padaku! Apa kau takut aku menyembunyikan istrimu dan menikahinya tanpa sepengetahuan mu, Stevan Dirgantara?"
Stevan menarik nafas dalam, dia memijat pangkal hidung nya setelah Boy menggebrak meja tanpa aba-aba dan itu membuatnya kaget. Malu? Yaa jelas Stevan malu dirinya bisa sekaget itu karena kelakuan sahabatnya.
"Lu bisa biasa aja nggak? Apa lu mau hidup di jalanan?" kesal Stevan menatap Boy menahan malu.
"Lagian lu, udah gue jelasin nggak tahu dimana istri lu masih aja kasih gue bogem. Masa iya gue mau misahin lu dari Bulan? Makannya... Kalau lagi marah tuh otak di pakek! Jangan bisanya hajar orang doang!" ketusnya semakin naik darah menghadapi Stevan.
"Terus, menurut lu? Bulan kemana?"
"Mana gue taahhuuu... Emak, bapak nya ajah nggak tahu anaknya dimana, apalagi gue..."
Mendengar jawaban Boy yang sedikit nyolot, Stevan melempar bantal sofa ke wajah nya. Boy tidak terima dan kembali melempar bantal ke wajah Stevan.
Pria itu semakin marah karena sikapnya sudah membuatnya kesal, Boy menjulurkan lidahnya dan berlari menuju kamar membuat Stevan mengejarnya.
Keduanya kini saling berkejaran dan saling melempar bantal juga guling di kamar Boy. Begitulah kedua sahabat ini, meskipun tidak pernah akur, tapi keduanya sangat saling menyayangi.
...****************...