Enzio Alexander Pratama, pria 28 tahun dengan kekayaan dan status yang membuat iri banyak orang, ternyata menyimpan rahasia kelam—ia impoten.
Sebuah kecelakaan tragis di masa lalu merampas kehidupan normalnya, dan kini, tuntutan kedua orangtuanya untuk segera menikah membuat lelaki itu semakin tertekan.
Di tengah kebencian Enzio terhadap gadis-gadis miskin yang dianggapnya kampungan, muncul lah sosok Anna seorang anak pelayan yang berpenampilan dekil, ceroboh, dan jauh dari kata elegan.
Namun, kehadirannya yang tak terduga berhasil menggoyahkan tembok dingin yang dibangun Enzio apalagi setelah tahu kalau Anna adalah bagian dari masa lalunya dulu.
Bahkan, Anna adalah satu-satunya yang mampu membangkitkan gairah yang lama hilang dalam dirinya.
Apakah ini hanya kebetulan, atau takdir tengah memainkan perannya? Ketika ego, harga diri, dan cinta bertabrakan, mampukah Enzio menerima kenyataan bahwa cinta sejati sering kali datang dari tempat yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. Tiga
Anna duduk di ruang keluarga bersama Kania. Wajahnya pucat dan tubuhnya terlihat sedikit kurus, namun senyum hangat Kania yang menyambutnya memberi rasa nyaman yang telah lama hilang.
Setelah mendengar cerita panjang Anna tentang kehidupannya selama beberapa tahun terakhir, hati Kania terasa hancur.
“Sayang, mari kita ke meja makan,” ajak Kania, menatap Anna dengan penuh kasih sayang. “Kamu pasti lapar.”
Anna mengangguk perlahan, meski hatinya masih merasa ragu.
Ketika mereka duduk di meja makan, Kania terus memperhatikan Anna.
Setiap gerakan kecilnya, setiap sorot matanya, semuanya membuat Kania bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada putri angkatnya ini selama mereka berpisah.
“Kamu terlihat sangat kurus, Anna. Apa yang sebenarnya terjadi padamu selama ini?” tanya Kania.
Anna menundukkan kepala, sedikit canggung. “Nyonya, saya tidak pantas diperlakukan seperti ini,” katanya dengan suara pelan. “Saya hanyalah seorang pelayan. Tidak seharusnya saya duduk di meja ini.”
Kania menggeleng.
“Anna, bagiku kamu tetap putriku. Tidak peduli siapa kamu atau di mana kamu dibesarkan, perasaan itu tidak pernah berubah.”
Mata Anna mulai berkaca-kaca. Sejak kecil, Kania selalu memperlakukannya dengan tulus. Rasa hangat itu kini kembali mengisi hatinya.
“Terima kasih, Nyonya. Saya tidak tahu harus berkata apa.”
“Kamu tidak perlu berkata apa-apa,” jawab Kania dengan senyuman lembut. “Yang aku mau hanyalah kamu tetap tinggal di sini, Anna. Bersama kami.”
Namun, kata-kata itu justru membuat Anna merasa serba salah. Ia memberanikan diri menggenggam tangan Kania.
“Tapi, Nyonya, saya hanya datang untuk menggantikan ibu saya. Saya tidak tahu apakah ini keputusan yang benar.”
Kania mengelus tangan Anna. “Keputusanmu benar, sayang. Tinggallah di sini. Kalau kamu merasa harus menggantikan Ibu Sumi, aku tidak akan memaksamu untuk tidak bekerja. Tapi dimataku, kamu lebih dari itu.”
Anna terdiam sejenak sebelum berkata, “Kalau begitu, saya punya satu permintaan, Nyonya.”
“Permintaan?” Kania mengernyit, penasaran.
Anna mengangguk. “Tolong, sembunyikan identitas saya dari Tuan Enzio. Saya tidak ingin dia tahu siapa saya.”
Kania terkejut, tetapi tidak langsung menjawab.
“Apa Nyonya keberatan?” tanya Anna.
“Kenapa, Anna? Bukankah kamu sangat menyayangi Enzio? Enzio pasti senang melihatmu, Nak.”
Anna tersenyum pahit. “Dulu, mungkin. Tapi sekarang, saya yakin dia sudah melupakan saya. Lagi pula, saya tidak ingin mengganggu kehidupannya.”
Kania terdiam sejenak, memikirkan permintaan Anna. “Kalau begitu, bagaimana dengan suamiku? Apakah aku harus merahasiakannya juga darinya?”
Anna menggeleng. “Tidak apa-apa kalau Tuan Adrian tahu, asal Tuan Enzio tidak mengetahuinya.”
Setelah berpikir cukup lama, Kania akhirnya mengangguk. “Baiklah. Aku akan menghormati keinginanmu, Anna. Tapi aku berharap suatu hari nanti, kamu bisa jujur padanya.”
Anna tersenyum kecil, hatinya merasa lega. “Terima kasih, Nyonya Kania. Saya sangat menghargainya.”
“Bisakah kamu memanggilku mama, Nak?” pinta Kania dengan mata berkaca-kaca.
“Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak bisa.” Anna bukan lagi putri angkatnya, akan sangat tidak sopan jika Anna memanggil Kania dengans sebutan mama.
**
**
Sore menjelang.
Anna sedang menyiram bunga di halaman depan ketika Hana menghampirinya sambil membawa sebuah seragam untuknya.
“Anna, ini seragam mu. Mulai besok kamu harus memakainya,” kata Hana sambil tersenyum ramah.
Anna menerima seragam itu. “Terima kasih, Mbak Hana. Saya akan memakainya besok.”
Hana menatap Anna dengan serius. “Jangan lupa, ya. Kalau kamu bertemu Tuan Enzio hari ini dengan penampilan seperti ini, dia bisa marah besar. Kamu tidak ingin dipecat, kan?”
Anna mengangguk patuh. “Saya mengerti. Terima kasih sudah mengingatkan.”
Hana pergi, meninggalkan Anna yang kembali sibuk dengan tugasnya. Sambil menyiram bunga, Anna berpikir tentang Enzio.
“Kenapa dia jadi membenci orang miskin dan berpakaian lusuh?” pikirnya.
Sebuah mobil hitam berhenti di depan halaman rumah.
Anna masih melanjutkan tugasnya, tidak menyadari bahwa seseorang di dalam mobil itu sedang memperhatikannya.
Dari dalam mobil, Enzio melihat seorang gadis berdiri membelakanginya dengan rambut yang di kuncir dua. Wajahnya tampak penasaran.
“Siapa dia? Aku baru melihatnya,” tanyanya pada Leon.
Leon mengangkat bahu. “Saya juga tidak tahu, Tuan.”
Enzio mengernyit, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Ia keluar dari mobil, berjalan melewati Anna tanpa meliriknya sama sekali.
Enzio terlalu lelah setelah seharian bekerja dan hanya ingin segera beristirahat.
**
**
Di ruang makan, Kania memanggil Enzio, untuk duduk bersama. Adrian, sudah menunggu dengan wajah serius.
“Mau sampai kapan kamu berpacaran dengan Viona? Papa ingin kalian segera menikah,” ucap Adrian.
Enzio menatap ayahnya dengan wajah datar.
“Apa kamu mendengar ucapan Papa, Zio?” Kania mengusap lengan putranya.
“Hmm,” gumam Enzio, tidak ingin berdebat. “Baiklah. Aku akan menikahi Viona secepatnya, seperti yang Papa inginkan.”
Setelah mengatakan itu, Enzio bangkit dari kursinya dan meninggalkan ruangan tanpa berkata apa-apa lagi.
Kania tersenyum, sementara Adrian masih terlihat kesal.
“Harusnya kamu lebih tegas padanya, sayang. Usianya sudah 28 tahun. Dia tidak bisa terus menunda-nunda untuk menikah.”
“Dia pasti akan menikah, Mas. Jangan terlalu memaksanya.” kata Kania, mencoba menenangkan suaminya.
“Dia sudah dewasa, Kania. Kalau tidak ingin menikah, kenapa dia memacari Viona? Aku tidak mau membuat ayah Viona kecewa.”
Kania memilih diam, tidak ingin memperpanjang perdebatan. Dalam hatinya, mungkin Enzio memiliki alasan sendiri, meskipun ia tidak pernah mengungkapkannya.
**
**
Malam sudah larut, dan sebagian besar penghuni rumah telah tertidur.
Anna masih sibuk membereskan dapur ketika Hana mendekatinya dengan secangkir kopi panas di atas nampan.
“Anna, tolong antarkan kopi ini ke kamar Tuan Enzio,” kata Hana, menyerahkan nampan itu kepadanya.
Anna langsung menggeleng. “Tidak, Mbak Hana. Kenapa harus saya? Bukankah masih ada pelayan lain?”
“Mereka semua sudah tidur. Hanya kamu yang belum.”
Anna menggigit bibir bawahnya, merasa ragu. Bayangan bertemu dengan Enzio membuat hatinya tak tenang.
“Tapi, mungkin Tuan Enzio tidak mau dilayani oleh saya.”
“Jangan banyak berpikir, Anna,” balas Hana dengan nada lebih tegas. “Keburu kopinya dingin.”
Anna terdiam, lalu menghela nafas panjang. Akhirnya, ia mengangguk. “Baiklah. Saya antarkan,” gumamnya, meski hati kecilnya berontak.
Dengan langkah berat, Anna membawa nampan berisi secangkir kopi menuju kamar Enzio. Tangannya berkeringat, sementara pikirannya dipenuhi kekhawatiran.
Anna berdiri di depan sebuah pintu.
“Apa ini kamarnya?” gumamnya pelan, memastikan dirinya tidak salah tujuan. Ia mengetuk pintu dengan lembut.
“Tuan, saya membawakan kopi anda,” ucapnya dengan nada sopan.
Hening.
Tidak ada jawaban dari dalam. Anna mengetuk pintu lagi, kali ini sedikit lebih keras. Namun, setelah beberapa detik berlalu, tetap tidak ada jawaban.
“Sebenarnya dia minta kopi atau tidak, sih? Apa dia sengaja mengerjai pelayan malam-malam begini?” gerutu Anna pelan. Ia mulai merasa kesal.
Tiba-tiba, suara berat terdengar dari dalam kamar. “Masuk!”
Anna terkejut, hampir menjatuhkan nampan di tangannya.
Anna mendengus. “Dasar menyebalkan! Dia tetap sama seperti Enzio yang dulu,” gumamnya, mengingat sikap Enzio yang selalu seenaknya sejak mereka kecil.
Dengan hati-hati, Anna membuka pintu dan melangkah masuk. Kamar itu bernuansa gelap dengan pencahayaan yang minim, hanya diterangi oleh lampu meja yang redup.
Anna berjalan perlahan menuju sofa yang ada di sudut ruangan. “Saya letakkan kopinya di sini, Tuan,” katanya sambil meletakkan nampan dengan hati-hati.
Saat Anna berbalik untuk keluar, suara berat Enzio membuat langkahnya terhenti.
“Siapa yang menyuruhmu keluar?”
Suara itu membuat bulu kuduk Anna meremang. Ia berdiri membeku, tidak berani menoleh. Langkah kaki Enzio terdengar mendekat, membuat jantung Anna berdebar semakin kencang.
“Mampus! Kenapa dia malah ke sini?” batin Anna panik.
yg atu lagi up ya Thor
kasih vote buat babang Zio biar dia semangat ngejar cinta Anna 😍🥰❤️