Seorang Jenderal perang yang gagah perkasa, seorang wanita yang berhasil di takuti banyak musuhnya itu harus menerima kenyataan pahit saat dirinya mati dalam menjalankan tugasnya.
Namun, kehidupan baru justru datang kepadanya dia kembali namun dengan tubuh yang tidak dia kenali. Dia hidup kembali dalam tubuh seorang wanita yang cantik namun penuh dengan misteri.
Banyak kejadian yang hampir merenggut dirinya dalam kematian, namun berkat kemampuannya yang mempuni dia berhasil melewatinya dan menemukan banyak informasi.
Bagaimana kisah selanjutnya dari sang Jenderal perang tangguh ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Pertemuan Kembali
Lima tahun telah berlalu.
Di dunia bawah tanah, hanya ada satu nama yang menggema dengan penuh kebanggaan dan ketakutan.
Dia bukan hanya seorang Ratu Mafia. Dia adalah legenda yang hidup.
Organisasinya berkembang pesat, bisnis legalnya semakin kokoh, dan setiap pengkhianat yang mencoba menghancurkan tahtanya telah musnah tanpa ampun.
Alessia telah memastikan bahwa tidak ada satu pun yang bisa menggoyahkan kekuasaannya.
Namun, di balik semua itu, ada satu sosok kecil yang menjadi pusat dunianya sekarang—putranya.
Seorang bocah laki-laki berusia empat tahun yang cerdas dan penuh perhatian.
Anak yang lahir dari cinta dan pengkhianatan.
Di dalam ruangan yang luas dan megah, seorang bocah laki-laki duduk di atas karpet tebal, memainkan puzzle dengan ekspresi serius.
Matanya tajam, penuh fokus, dan setiap gerakannya penuh perhitungan, persis seperti ibunya.
Alessia duduk di sofa, mengamati putranya dengan mata yang lembut.
"Kael, kau sudah menyelesaikan puzzle itu?" tanyanya dengan nada penuh kasih.
Bocah itu mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil. "Hampir, Mama. Aku hanya butuh satu potongan lagi."
Alessia tersenyum tipis. Kael selalu menunjukkan kecerdasan di atas rata-rata. Dia tidak hanya cerdas dalam pelajaran, tetapi juga dalam memahami situasi di sekitarnya.
Di usianya yang masih muda, dia sudah bisa membaca suasana hati orang, memahami ekspresi wajah, dan bahkan memperkirakan reaksi seseorang sebelum mereka mengatakannya.
Dia benar-benar anak yang istimewa.
"Ambil waktumu," kata Alessia, mengusap lembut kepala putranya.
Kael memandang ibunya dengan mata berbinar. "Mama, kapan kita akan pergi jalan-jalan lagi?"
Alessia terkekeh kecil. "Kau ingin pergi ke mana kali ini?"
Kael berpikir sejenak. "Aku ingin melihat laut. Katanya ombaknya indah dan anginnya sejuk."
Alessia mengangguk. "Kalau begitu, kita akan pergi ke sana."
Bocah itu tersenyum lebar, tetapi kemudian ekspresinya berubah serius.
"Mama," katanya dengan nada lebih pelan. "Kenapa aku tidak punya Papa seperti anak-anak lain?"
Alessia terdiam.
Pertanyaan yang selalu dia hindari akhirnya muncul.
Kael tidak pernah bertanya tentang ayahnya sebelumnya. Tetapi dia tahu, cepat atau lambat, pertanyaan ini pasti akan muncul.
Alessia menarik napas dalam.
Dia menatap putranya, mencoba mencari jawaban yang tepat.
"Ayahmu..." Alessia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lembut, "Dia orang yang sangat kuat dan pintar. Tapi… dia harus pergi jauh sebelum bisa melihatmu lahir."
Kael menatap ibunya dengan mata besar dan penasaran. "Dia tidak mencintaiku?"
Alessia merasakan hatinya mencelos.
Tentu saja Ziad mencintai anak ini. Jika dia tahu tentang Kael, Alessia yakin pria itu pasti akan melakukan apa pun untuknya.
Tetapi bagaimana dia bisa menjelaskan semuanya kepada bocah empat tahun tanpa mengungkap semua kebenaran yang menyakitkan?
Alessia tersenyum tipis dan mengusap kepala putranya. "Bukan begitu, sayang. Ayahmu pasti akan sangat mencintaimu jika dia ada di sini."
Kael tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk kecil. "Kalau begitu, aku ingin jadi pria kuat seperti yang Mama bilang tentang Ayah."
Alessia menatap putranya dengan penuh kebanggaan.
"Dan kau akan menjadi lebih kuat darinya," katanya, mencium kening bocah itu dengan penuh kasih.
Kael tersenyum, lalu kembali menyusun puzzlenya.
Tetapi di dalam hati Alessia, ada sesuatu yang bergejolak.
Karena untuk pertama kalinya setelah lima tahun, pikirannya kembali kepada satu orang.
Di mana pria itu sekarang?
Apakah dia masih hidup?
Apakah dia juga memikirkan dirinya… dan anak mereka?
Malam itu, Alessia duduk di balkon, menyesap anggur merah dari gelas kristal di tangannya.
Angin malam berhembus lembut, memainkan rambut panjangnya yang tergerai.
Sudah lima tahun sejak dia meninggalkan Ziad.
Lima tahun tanpa mendengar suaranya, tanpa melihat matanya, tanpa merasakan sentuhannya.
Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk melupakan pria itu.
Tetapi mengapa setiap kali dia melihat Kael, dia bisa melihat Ziad di dalam dirinya?
Cara Kael berpikir, caranya mengamati orang, tatapan matanya yang tajam…
Semua itu adalah bagian dari Ziad.
Alessia menggigit bibirnya, mencoba menekan perasaan yang mulai muncul.
Tidak.
Dia tidak boleh terjebak dalam perasaan itu lagi.
Dia sudah menjadi seseorang yang lebih kuat.
Tidak ada yang bisa mengubahnya.
Tidak bahkan seorang pria yang pernah dia cintai.
.
.
Sementara itu, di suatu tempat yang jauh, seorang pria duduk di atas kursi roda, menatap bintang-bintang di langit malam.
Matanya kosong, tetapi hatinya penuh dengan luka yang belum sembuh.
Ziad.
Dia masih hidup, tetapi tidak benar-benar hidup.
Lima tahun berlalu, dan dia masih belum bisa berjalan.
Tidak ada kerusakan pada kakinya, tetapi setiap kali dia mencoba berdiri, otaknya menolak memberikan perintah.
Seolah-olah ada sesuatu yang hilang dalam dirinya.
Dan dia tahu persis apa itu.
Alessia.
Dia telah kehilangan wanita itu.
Dan dengan kehilangannya, dia juga kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa suatu hari nanti, dia akan berdiri lagi.
Dia harus.
Karena jauh di dalam dirinya, dia merasa bahwa Alessia masih ada di suatu tempat…
Dan mungkin, hanya mungkin, dia masih punya kesempatan untuk menebus semua kesalahannya.
.
.
.
Di sebuah gedung pencakar langit yang menjulang di pusat kota, sebuah nama besar mendominasi dunia bisnis.
Ziad Al-Faheem.
Meski lumpuh, dia berhasil membuktikan bahwa dirinya bukan orang yang bisa diremehkan. Dengan kecerdasannya, taktiknya yang luar biasa, dan kemampuannya membaca situasi, dia kini menjadi seorang presiden direktur dari perusahaan teknologi dan investasi terbesar di negaranya.
Banyak orang mengira bahwa keterbatasan fisiknya akan menjadi penghalang, tetapi Ziad membuktikan bahwa kekuatan sejati berasal dari otak dan strategi.
Namun, di balik kesuksesan dan kejayaan itu, ada kekosongan yang tak pernah bisa dia isi.
Alessia.
Wanita yang dia cintai.
Wanita yang dia khianati.
Dan wanita yang kini entah berada di mana.
Sementara itu, di sisi lain dunia, nama Alessia semakin menggema.
Dunia bawah tanah mengenalnya sebagai Ratu Mafia yang tak tersentuh.
Dunia bisnis mengenalnya sebagai pebisnis ulung yang sukses membangun kerajaan ekonomi dari nol.
Kedua dunia itu berjalan beriringan dalam genggamannya.
Namun, di balik semua pencapaiannya, ada satu hal yang selalu menjadi pusat dunianya—anaknya, Kael.
Di usianya yang masih belia, Kael tumbuh menjadi anak yang cerdas, tajam, dan penuh perhatian. Alessia selalu memastikan bahwa putranya mendapatkan pendidikan terbaik, lingkungan terbaik, dan kehidupan yang layak.
Dia tidak ingin Kael terjebak dalam dunia gelap yang dia jalani.
Dia ingin Kael memiliki pilihan.
Dan itu sebabnya dia mulai memperluas bisnis legalnya, menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar, dan membangun kekuatan di dunia yang lebih bersih.
Namun, takdir memiliki rencananya sendiri.
Sebuah pertemuan bisnis yang awalnya hanya sebatas kerja sama…
Justru mempertemukannya kembali dengan orang yang selama ini ingin dia lupakan.
Di sebuah ruang rapat mewah di lantai tertinggi salah satu gedung paling eksklusif di kota, Alessia duduk dengan anggun di kursinya.
Dia mengenakan gaun bisnis berwarna hitam dengan potongan tegas, rambut panjangnya tergerai rapi, dan ekspresinya tenang namun berwibawa.
Hari ini, dia akan bertemu dengan seorang investor besar yang tertarik untuk bekerja sama dalam proyek pengembangan teknologi dan keamanan untuk bisnisnya.
Ketika pintu ruang rapat terbuka, Alessia mengangkat kepalanya untuk menyambut tamunya.
Dan detik itu juga, dunianya seakan berhenti.
Mata cokelatnya membelalak, jantungnya berdegup kencang, dan tubuhnya menegang.
.
.
Ziad, Pria itu memasuki ruangan dengan berkarisma meskipun duduk di kursi roda.
Wajahnya masih sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda.
Dia terlihat lebih dewasa, lebih matang… lebih dingin.
Mata mereka bertemu dalam keheningan yang menegangkan.
Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, mereka kembali berhadapan.
Ziad juga terdiam.
Wajahnya yang selama ini selalu tenang kini dipenuhi dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan.
Alessia…
Wanita yang selama ini selalu ada dalam pikirannya… kini ada di hadapannya.
Tidak ada yang berbicara selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya.
Akhirnya, Ziad menarik napas dalam dan berbicara lebih dulu.
“Senang akhirnya bisa bertemu dengan Anda, Nona Alessia.”
Suara itu…
Masih sama seperti yang Alessia ingat.
Dalam, tenang, dan menusuk ke dalam jiwanya.
Namun, alih-alih menunjukkan emosinya, Alessia memasang ekspresi profesional dan tersenyum tipis.
“Begitu juga dengan Anda, Tuan Ziad.”
Nada suaranya dingin, nyaris tanpa perasaan.
Tetapi di dalam hatinya, badai besar sedang terjadi.
Kenapa harus dia?
Kenapa setelah bertahun-tahun dia berusaha melupakan pria ini, takdir justru mempertemukan mereka kembali?
Rapat dimulai.
Percakapan mereka tetap profesional.
Tidak ada yang membahas masa lalu.
Tidak ada yang menyebut tentang cinta yang dulu ada di antara mereka.
Tetapi di setiap tatapan, di setiap kata yang terucap, ada sesuatu yang tidak bisa mereka abaikan.
Luka.
Rasa sakit yang belum benar-benar sembuh.
Dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan.
Ketika rapat akhirnya selesai, Alessia berdiri lebih dulu.
Dia tidak ingin berlama-lama di ruangan ini.
Dia ingin pergi sebelum kenangan lama menyerangnya lebih keras.
Tetapi ketika dia berbalik untuk pergi, suara Ziad menghentikannya.
“Alessia.”
Hanya namanya.
Tetapi itu cukup untuk membuat langkahnya terhenti.
Dia menutup matanya sejenak sebelum akhirnya menoleh.
Ziad menatapnya dengan intens, seakan mencari sesuatu di wajahnya.
“Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu. Bukan sebagai mitra bisnis. Tapi sebagai…”
Dia ragu sejenak.
Sebagai apa?
Sebagai pria yang pernah mencintainya?
Sebagai pria yang pernah mengkhianatinya?
Sebagai… ayah dari anak mereka?
Alessia menatapnya tanpa ekspresi.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Tuan Ziad. Kita hanya rekan bisnis. Tidak lebih.”
Lalu dia melangkah pergi, meninggalkan Ziad yang masih menatap punggungnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Namun, satu hal yang pasti.
Pertemuan ini…
Adalah awal dari sesuatu yang baru.
Sesuatu yang belum bisa mereka hindari.