Laura adalah seorang wanita karir yang menjomblo selama 28 tahun. Laura sungguh lelah dengan kehidupannya yang membosankan. Hingga suatu ketika saat dia sedang lembur, badai menerpa kotanya dan dia harus tewas karena tersengat listrik komputer.
Laura fikir itu adalah mimpi. Namun, ini kenyataan. Jiwanya terlempar pada novel romasa dewasa yang sedang bomming di kantornya. Dia menyadarinya, setelah melihat Antagonis mesum yang merupakan Pangeran Iblis dari novel itu.
"Sialan.... apa yang harus ku lakukan???"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chichi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARAPAN TERAKHIR
Crizen mengerti kekhawatiran Adler yang sudah mengabdikan dirinya pada Ash sejak usianya 9 tahun itu. Crizen tau bagaimana Ash menolong Adler yang sudah sekarat di tempat yang bersalju. Mengingat masa itu, Crizen menghela napas. "Meski aku mengatakannya, tetap saja. Kau tidak bisa membantunya" Jawab Crizen melepaskan kacamata gantungnya.
Dia berdiri dan menepuk bahu Adler. "Tubuh Pangeran Ash, sudah tidak bisa menahan jiwa Iblis itu lebih lama lagi. Jiwa Iblis itu, terlalu kuat. Sehingga, perlahan jiwa Pangeran Ash melemah dan lama-lama jiwanya akan melenyap" Crizen melepaskan sarung tangan medisnya dan duduk di sofa biru didekatnya.
"Bukankah, ada Edith? Aku merasa jika Edith adalah seorang healer. Meski aku belum pernah melihat penolakan pheromon, dia bisa menyesuaikan diri dengan Pangeran Ash" Jawab Adler sambil duduk di meja kerja Crizen yang terdapat dokumen di sisi-sisinya.
"Itu sudah terlambat. Sihir Iblis itu sudah terlalu menumpuk dan tidak bisa dibantu oleh seorang healer. Bahkan, sekelas Saint. Satu-satunya cara adalah memindahkan jiwa Iblis itu, atas permintaan Iblis itu sendiri" Crizen mengeluarkan note catatannya tentang perkembangan kondisi Ash yang menurun.
"Memindahkan? Itu terlalu beresiko" Ucap Adler.
"Tentu saja. Karena satu-satunya tubuh yang ku temui cocok dengan Iblis itu hanya kau. Pikirkan baik-baik Adler. Jika kau ingin Kerajaan Benerick ini di tangan Ash, maka itu satu-satunya cara yang bisa membantunya"
Kedua mata Adler terbelalak lebar mendengarkan ucapan itu.
"Ya, anggap saja, seperti membalas budi karena Ash sudah menyelamatkanmu. Setelah itu, pergilah yang jauh. Jauh dari hadapan Ash. Aku sadar jika kau bukanlah Manusia sepertiku. Jika kau tetap di sini, kau akan diburu. Seperti layaknya insiden 17 tahun yang lalu"
DEGH!
...17 TAHUN YANG LALU...
Kehausan.....
Kelaparan.....
Rasa yang sangat menyakitkan di sekujur tubuhnya. Rasa yang gatal di lehernya. Bekas garukan dan luka yang basah di leher dan kuku panjangnya. Dia bocah berusia 9 tahun, bermata merah. Bibirnya penuh dengan darah yang masih mengalir. Tangan kanannya yang mengenggam bagian tubuh manusia.
"IBLIS!"
CRATTTT!!!!!
Kibasan tangannya mengeluarkan kilatan yang memotong apapun yang dilewatinya. Tumpukan salju putih di rumput yang beku, menjadi merah karena darah Pengawal itu.
Melihat pengawalnya yang jatuh tewas, Pangeran berusia 6 tahun itu, menatap anak yang 3 tahun lebih tua darinya dengan mata hijaunya yang bergetar. Pangeran bermata hijau itu, bersembunyi di belakang Remaja laki-laki dengan pakaian putihnya yang rapi.
"Semuanya, akan baik-baik saja, Pangeran" Remaja bermata biru itu, adalah Leonard Crizen. Pelajar tahun pertama di Pendidikan Kedokeran.
Anak bermata merah itu, menatap mata Crizen seolah dia akan memburunya. "Siapa namamu? Tenanglah" Tangan Crizen bergetar. Dia sebenarnya ketakutan, namun dia memiliki seseorang yang harus dia lindungi lebih dari nyawanya sendiri.
Bocah mata merah itu, hanya mengerang. Taringnya yang panjang, terlihat saat dia membuka mulutnya. "Siapa namamu? Tenanglah!!" Dia mengulangi ucapan Crizen dengan nada membentak.
Sontak, itu membuat Crizen dan Ash di belakangnya terkejut. "Dia kenapa?" Tanya Ash dengan lirih pada Crizen.
Kening bocah bermata merah itu berkerut. "DIA KENAPA!!!" Bocah itu membentak dan melemparkan potongan telinga manusia ke arah Ash dan Crizen.
"Pangeran, dia bukanlah Manusia. Dia tidak mengerti bahasa kita" Ucap Crizen mengarahkan Ash untuk mundur perlahan. Namun, Bocah itu sepertinya paham ucapan Crizen, sayangnya dia tidak bisa mengucapkannya seperti apa yang dia pikirkan. "AKU MANUSIA! DIA TIDAK MENGERTI BASA KITA!!!!" Bocah itu berlagak seolah dirinya marah.
"UMPH.... PHAHAHAHAHHA!!!" Ash tertawa karena apa yang dia dengar dari anak dihadapannya itu.
Bocah bermata merah itu terdiam. Dia merasa jika Ash berniat mengajaknya bermain. Namun, perutnya terasa perih. Dia baru ingat jika dia belum makan hampir seminggu. Dia ingin meminta bantuan. Namun, dia tidak bisa berbahasa seperti mereka. Dia hanya bisa meniru dan memegang perutnya sebagai bahasanya. "HA HA HA HA!" Dia mengucapkannya dengan kaku sambil memegang perutnya dan berjalan ke arah Ash.
Namun, Crizen menudingkan pedang besinya ke arah bocah bermata merah. Tepat pada lehernya. Bocah itu berdiri di tempat. Menatap seseorang yang mengarahkan pedang itu. "Berhenti di sana. Melangkah sedikit saja, aku akan membunuhmu" Ucap Crizen.
"Berhenti akan membunuhmu...." Bocah itu mengulangi ucapan Crizen. Namun, ucapan itu terlalu panjang hingga dia mengambil bagian yang sering dia dengar.
Perut bocah itu seakan dipelintir. Kedua matanya terbelalak lebar. Dia merasakan rasa sakit yang luar biasa. "BRUK!!!" Dia terjatuh di rumput bersalju. Beruntung ujung pedang milik Crizen tidak mengenai wajahnya.
Ash dan Crizen melihat bocah bermata merah itu pingsan di sana. Mereka berdua saling melihat. "Crizen, apa dia mati?" Tanya Ash.
Crizen mengeleng tidak tau. Dia memeriksanya dengan cepat. Menempelkan dua jarinya di hidung bocah itu. Napasnya, masih terasa hangat. "Sepertinya, dia pingsan Pangeran. Saya akan memanggil Exorcist"
"Tidak. Bawa dia ke Mansion. Dia kasihan sekali. Bersihkan dulu darahnya, lalu bawa masuk ke kereta kuda" Ucap Ash sambil berjalan ke arah kereta kuda miliknya.
Kembali ke masa kini
Adler sangat ingat insiden itu. Dia tidak mengingat apa yang terjadi sebelum dia membunuh banyak Manusia dan hewan ternak karena rasa laparnya. Dia terdiam. "Beri aku waktu untuk memikirkannya" Adler pergi dari tempat Crizen begitu dia mendapatkan apa yang dia inginkan.
Adler kepikiran. Dia kembali ke tempat jaganya. Dia melihat Edith yang baru keluar dari kamar Ash. Aroma Pheromon Ash menyelimuti seluruh tubuh Edith. Adler mengalihkan pandangannya saat matanya bertemu dengan Edith.
"Kau kenapa?" Tanya Edith spontan karena mengetahui Adler menghindari kontak matanya.
"Apanya yang kenapa?" Tanya balik Adler sambil membelakangkan rambut depannya.
Edith hanya mendengus ringan. "Apa kau sudah makan?" Tanya Edith dengan nada sedikit berbisik.
Adler melirik tipis ke arah Edith. "Kenapa kau harus peduli?" Sambung Tanya Adler.
Jawaban itu, terdengar sangat menjengkelkan di telinga Edith. "Ya udah! Ditanyain bener jawabannya gitu" Edith pergi dari tempat itu. Adler hanya bisa melihat punggung mungil itu menjauh dengan cepat.
Helaan napas terdengar di sisi kanan Ash. "Senior, apa Anda sedang banyak pikiran?" Arozt menunjuk keningnya mencontohkan kondisi kening Adler saat ini.
Adler mengeleng, "Tidak banyak. Hanya satu pikiran saja yang menganggu" Jawab Adler dengan spontan.
Arozt menoleh sekali lagi ke arah Adler. Belum pernah dia mendengar sambatan seperti itu dari mulut Adler secara langsung. "Ceritalah pada saya. Siapa tau, saya bisa membantu Anda memecahkan masalah itu. Kita adalah rekan. Dan rekan saling membantu" Ucap Arozt mengepalkan tangan kirinya dan menunjukkannya pada Adler.
Adler mengetukkan sepatu bajanya di lantai marmer itu beberapa kali. "Sudah jamnya kau istirahat. Cepatlah pergi, atau kau mau berdiri di sini sepanjang hari?"
Mendengar ucapan itu, Arozt langsung bersikap. "SIAP! SENIOR! SAYA ISTIRAHAT!" Arozt segera pergi dari wilayah jaganya.