Max Stewart, yang merupakan ketua mafia tidak menyangka, jika niatnya bersembunyi dari kejaran musuh justru membuatnya dipaksa menikah dengan wanita asing malam itu juga.
"Saya cuma punya ini," kata Max, seraya melepaskan cincin dari jarinya yang besar. Kedua mata Arumi terbelalak ketika tau jenis perhiasan yang di jadikan mahar untuknya.
Akankah, Max meninggalkan dunia gelapnya setelah jatuh cinta pada Arumi yang selalu ia sebut wanita ninja itu?
Akankah, Arumi mempertahankan rumah tangganya setelah tau identitas, Max yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mafia 2
"Emmh!" Arumi ingin berteriak ketika sebuah tangan kekar membekap mulutnya. Max menyeret, Arumi semakin ke dalam dan bersembunyi di balik dinding kamarnya.
"Ya Allah. Siapa yang ada di dalam kamar Arumi," batin gadis itu gemetar ketakutan.
"Aku akan melepaskanmu. Tapi berjanjilah jangan berteriak," bisik Max. Gadis yang berada dalam dekapannya ini langsung mengangguk.
"Ingat! Jika kau berteriak. Aku bisa langsung memperkosa lalu membunuhmu dengan keji!" ancam Max lagi. Ia memutuskan melepaskan dekapannya karena gadis itu kembali mengangguk.
Huuhh!
Arumi mengambil napas sebanyak-banyaknya. Dadanya terasa sesak karena susah bernapas dan juga takut. "Astagfirullah, astagfirullah." Arumi berkali-kali mengucapkan istighfar dalam hatinya. Dadanya berdegup luar biasa kencang.
Dalam kegelapan kamarnya, Arumi yang telah dilepaskan langsung mengambil jilbab dan juga niqob yang ia letakkan di samping bantal.
Depp! Max, pun menyalakan lampu senter pada ponselnya. Hingga ia melihat siluet gadis itu dan terlonjak kaget karenanya.
"Ninja!" kaget Max. Arumi pun terkejut dengan teriakannya. Hal itu menyebabkan Max buru-buru menyalakan lampu kamar tersebut.
"Sial! Kenapa kau mengenakan pakaian seperti itu!" tunjuk, Max sambil meringis.
"Ka–karena ini memang pakaian, Arumi," jawabnya takut-takut.
"Tutup jendelanya lalu kunci pintunya cepat!" titah Max selanjutnya. Tapi Arumi tak bergeming. Ia tak mungkin menuruti permintaan pria asing ini kan? Hingga, Max mengeluarkan senjatanya dari dalam jaket.
"Lakukan perintahku, atau pistol ini akan melubangi kepalamu!" ancam Max tegas. Padahal senjata apinya itu sudah kehabisan peluru. Ia hanya ingin menakut-nakuti gadis di hadapannya agar menurut. Max, tau jika musuhnya pasti akan sampai juga ke kampung ini.
Arumi, menekan dadanya yang seketika sesak karena takut. Dengan langkah gemetar Arumi pun maju mendekati pintu. Ia mengunci dua bagian itu. Sekilas Arumi dapat melihat jika keadaan pria di dalam kamarnya ini tengah terluka. "A–apa, anda butuh pertolongan? Anda terluka?" tanya Arumi, memberanikan diri.
"Yah, aku butuh air hangat, lap dan juga alat p3k," titah Max. Wajahnya kian pucat dengan keringat sebesar biji jagung di pelipisnya. Arumi pun mengangguk dan menyerahkan apa yang pria itu minta barusan. Semua ada di dalam kamarnya.
Arumi sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk kabur ataupun meminta pertolongan. Meskipun posisinya saat ini dalam bahaya, entah kenapa, Arumi menaruh rasa kasian pada pria asing di dalam kamarnya itu.
Betapa kagetnya Arumi, ketika Max mengeluarkan pisau dari ujung sepatunya. Max, menelan obat lagi, kemudian Max mengorek luka di bahunya itu.
"Arrggh!" Max menahan erangannya ketika ia berusaha mengeluarkan material peluru dari bawah kulitnya. Sementara itu, Arumi sudah terduduk lemas di pojokan lemari. Entah apa yang, Max konsumsi sehingga tak ada darah yang menetes. Tak lama kemudian, luka tersebut telah di balut dengan plester. Kerjaan pria itu sangat rapih, walaupun mengobati diri sendiri.
"Siapa pria itu sebenarnya? Lindungi, Arumi ya Allah," batinnya menangis dengan lutut yang gemetar.
Max, benar-benar melakukan pengobatan pada lukanya itu sendirian. Tiba-tiba, Max kembali berjalan ke arah jendela. Secepat kilat, Max kembali mendekat ke arah Arumi yang berada di pojokan.
"Matikan lampunya. Karena ada sekelompok orang yang sedang mengawasi rumahmu," titah Max, lagi dengan berbisik di samping telinga Arumi. Seketika, dada gadis itu berdebar tak karuan. Apalagi, ini adalah pertama kalinya ada laki-laki yang begitu dekat dengannya.
Arumi membulatkan matanya ketika, tangannya kembali dipegang oleh, Max. Pria asing itu terus menyeret Arumi ke depan jendela yang terdapat di dalam kamarnya. Di sana, Max mengintip suasana di luar rumah. Arumi meronta sehingga Max terpaksa melepaskan cekalannya.
"Sebenarnya, ka–kamu itu siapa? Kenapa masuk ke kamar saya?" cecar Arumi dengan suara yang bergetar. Matanya tanpa kedip memandang sambil menelisik ke arah pria di hadapannya.
"Kamu tidak perlu tau siapa saya. Tapi, satu hal yang perlu kamu tau bahwa saya perlu bersembunyi sampai pagi," kata Max, tegas seraya balas menatap mata Arumi.
"Tidak!"
"Jika anda sudah merasa lebih baik. Pergilah! Selesaikan urusan anda dan mintalah perlindungan pada yang berwajib jika memang anda merasa terancam. Tolong, jangan libatkan saya. Jangan sampai orang lain salah paham!" tolak Arumi tegas.
Bahkan dalam hatinya, gadis ini ingin pria tampan bak aktor itu keluar dari kamarnya saat ini juga. Arumi merasa kesehatan jantungnya terancam.
"Kamu mengusir saya? Asal kamu tau ya. Meskipun sedang terluka begini, saya bisa saja mencelakai kamu. Bahkan, saya bisa memperkosa kamu," ancam, Max lagi dengan mencengkeram bahu Arumi.
Mendengar kalimat ancaman itu, Arumi langsung menyilangkan tangan di depan tubuhnya. Raganya sontak bergetar hebat.
Memangnya wanita mana yang mendapat ancaman seperti itu di depan matanya sendiri, lalu tidak merasa takut. Tentu saja, Arumi ketakutan. Apalagi, saat ini, pria itu tengah menatapnya tajam.
"K–kau di datang kerumah ku dalam keadaan tubuh penuh luka dan bersimbah darah. Apakah ini cara balasanmu? Dengan mengancam untuk melakukan perbuatan jahat kepadaku?" tukas Arumi tegas.
Gadis ini berusaha untuk mengeluarkan segala keberaniannya agar ia tak dapat ditindas dengan mudah.
"Aku akan keluar ketika keadaan sudah aman. Kamu, sebaiknya diam dan ikuti perintahku paham!"
Dengan lenguhan berat, Arumi pun menjawab. "Baiklah, tapi keluar dari kamarku sekarang. Biar saya bangunkan paman," kata Arumi.
Tapi semua terlambat karena tiba-tiba pintu kamarnya telah di buka dengan paksa.
Brakk!!
Suara pintu di dobrak hingga terbuka paksa oleh sekelompok warga.
"Astagfirullahal adzim!" teriak beberapa tetangga memekik di tengah malam buta.
"Keterlaluan kamu Arumi!!"
Mendapati para warga masuk kedalam kamarnya dengan cara mendobrak pintu, sontak saja membuat Arumi kaget setengah mati.
Gadis itu juga langsung berusaha menjauh dari pria asing yang entah bagaimana caranya bisa ada di dalam kamarnya.
"Arumi, bisa jelaskan semuanya," ucap gadis itu dengan rasa malu yang teramat sangat. Karena tatapan warga mengintimidasinya. Padahal dirinya pun sama kagetnya.
"Mau jelaskan apa lagi, Arumi! Kami sungguh tidak percaya kalau bukan melihat ini dengan mata kepala kami sendiri? Percuma kamu mengenakan pakaian tertutup hingga hanya matamu saja yang terlihat. Jika ternyata kamu berbuat zina dengan laki-laki yang bukan mahram kamu!" tuding salah satu warga dengan nada bicara yang penuh dengan emosi.
Sakit rasanya hati Arumi, ketika dirinya harus mendapatkan tuduhan seperti itu.
Sedangkan, pria asing dengan rahang tegas itu nampak diam berdiri dengan tatapan tajamnya ke arah warga yang berbicara kasar tanpa perasaan seperti itu. Karena memang, Arumi dan dirinya tidak melakukan apapun.
"Kau, jangan asal bicara! Saya bisa menuntut kalian semua dengan tuduhan pencemaran nama baik!" protes pria berhidung mancung dengan mata bak elang itu. Kesal sekali dia dengan mulut ketus ibu-ibu dihadapannya.
"Heh, kamu orang asing! Jangan sok membela diri. Kita semua sudah melihat dengan mata kepala sendiri apa yang kalian berdua lakukan. Jadi ini bukan sekedar dugaan! Kalian berdua sudah terbukti berzina!" pekik ibu-ibu berdaster itu lagi, seakan memprovokasi warga lainnya. Kapan lagi dia menemukan celah yang bisa mencemarkan nama baik Arumi. Siapa suruh menolak lamaran putranya tempo hari.
"Kena kau, Arumi!"