🔥Bocil dilarang mampir, dosa tanggung masing-masing 🔥
———
"Mendesah, Ruka!"
"El, lo gila! berhenti!!!" Ruka mendorong El yang menindihnya.
"lo istri gue, apa gue gak boleh pakek lo?"
"El.... kita gak sedekat ini, minggir!" Ruka mendorong tubuh El menjauh, namun kekuatan gadis itu tak bisa menandingi kekuatan El.
"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!"
———
El Zio dan Haruka, dua manusia dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang terpaksa diikat dalam sebuah janji suci pernikahan.
Rumah tangga keduanya sangat jauh dari kata harmonis, bahkan Ruka tidak mau disentuh oleh suaminya yang merupakan Badboy dan ketua geng motor di sekolahnya. Sementara Ruka yang menjabat sebagai ketua Osis harus menjaga nama baiknya dan merahasiakan pernikahan yang lebih mirip dengan neraka itu.
Akankah pernikahan El dan Ruka baik-baik saja, atau malah berakhir di pengadilan agama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Ruka berjalan tanpa arah, langkahnya terasa berat dan lelah. Setiap jejak kakinya di trotoar seperti mengingatkannya akan beban yang menekan di dadanya. Dunia seolah terbalik, dan dia sendiri merasa terperangkap dalam kebingungannya. Keluarga yang dulu dianggapnya harmonis dan stabil, kini runtuh begitu saja di hadapannya.
Ibunya kembali ke negaranya tanpa memberi penjelasan apa pun. Ayahnya menghilang tanpa jejak, dan kini, kantor tempatnya mencari jawaban pun memberikan lebih banyak pertanyaan daripada solusi. Ruka merasa seperti seorang yatim piatu, terlempar ke dunia yang asing, tanpa perlindungan dari orang-orang yang seharusnya menjadi tempatnya bergantung.
Gadis itu mendongakkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
Tes!
Butiran air jatuh membasahi tanah, bukan air mata Ruka, melainkan air langit. Ruka mengangkat wajahnya, menyambut hujan yang tiba-tiba turun. Setiap tetesan air dari langit seakan menjadi teman seiring dengan kesedihannya. Dia merasa sedikit lega, seolah alam pun memahami kegelisahannya. Hujan, dengan segala keheningannya, memberikan ruang bagi perasaan yang selama ini tertahan.
"Setidaknya gue gak sendiri," gumamnya pelan. Ia menoleh ke jalan yang semakin sepi, orang-orang berlarian berlindung di bawah atap atau mencari tempat berteduh, namun Ruka tetap berdiri di sana, menikmati tetesan air hujan yang membasahi kulitnya. Dia merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya, dan kini air mata langit ikut menyentuhnya.
Ruka mengangkat tangan, mencoba menangkap butiran-butiran air hujan dengan telapak tangannya yang terbuka. "Kalian juga merasa hilang, ya?" tanyanya dalam hati, meski tak ada jawaban. Hujan tetap jatuh tanpa henti, seolah tak peduli dengan kesendirian yang dirasakannya.
Dengan langkah pelan, Ruka berjalan lebih jauh, mengikuti suara gemericik hujan yang menenangkan pikirannya. Meskipun hatinya masih berat, setidaknya saat ini, ia merasa sedikit lebih ringan—tidak karena jawaban yang ia temui, tapi karena hujan yang menghapus segala rasa perih di dadanya, sejenak.
Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di sampingnya. Ruka mengangkat kepalanya dan melihat seorang pria di dalam mobil itu, sosok yang tampaknya tak asing baginya. El Zio.
"Ruka," suara El memecah keheningan. "Masuk!"
Ruka menatap El dengan tatapan kosong, masih terlalu bingung untuk merespon.
"Masuk! Lo mau kehujanan?" titah El.
***
Suasana di dalam mobil terasa tegang, hening yang membungkus mereka berdua semakin terasa seiring dengan detak jarum jam yang berjalan. Ruka menatap jalanan yang terbentang di depan mata, pikirannya melayang jauh, entah ke mana. Mungkin dia sedang mencoba mencari jawaban atas kekosongan yang ia rasakan, atau mungkin hanya berusaha menenangkan dirinya di tengah kebingungannya.
El tetap fokus pada jalan, sesekali melirik ke arah Ruka. Ia bisa merasakan ketegangan di antara mereka, namun tidak tahu harus berkata apa. Mereka berdua telah melewati banyak hal, tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Ruka meremas erat tasnya di pangkuan, mencoba menahan emosinya. Hujan yang jatuh di luar seakan mencerminkan perasaannya—terus mengalir, tapi tak bisa berhenti.
El meliriknya sekali lagi, lebih lama kali ini. "lo laper gak?baso disana kayaknya enak."
Tak menjawab, Ruka hanya menggelengkan kepalanya.
"Gue laper, temenin gue makan ya?"
"Gue capek El, bisa anterin gue pulang aja gak?" jawabnya lirih tanpa menoleh.
Mobil mereka melaju pelan di tengah hujan, suara mesin yang halus mengisi ruang kosong di antara mereka. Ruka menatap jendela, menunggu sampai mereka sampai di rumah.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan rumah. El berhenti di parkiran, dan tanpa menunggu lama, Ruka membuka pintu mobil.
"Ruka..."
El mendesah pelan saat melihat Ruka dengan cepat membuka pintu mobil dan berjalan menuju rumah tanpa menoleh sedikit pun. Hujan yang masih mengguyur menambah kesan dingin pada kepergian istrinya itu. Ia mematikan mesin mobil, lalu meraih jaketnya, namun sebelum sempat turun, pintu rumah sudah tertutup dengan bunyi keras.
"Ruka..." panggil El dari tempatnya berdiri, suaranya dalam dan mencoba untuk lembut. Tapi, seperti yang sudah ia duga, gadis itu sama sekali tak mengindahkan panggilannya.
Ia hanya bisa melihat sekilas punggung istrinya yang menghilang di balik pintu kamar mereka.
Di dalam kamar, Ruka duduk di tepi tempat tidur, menggenggam erat seprai dengan kepala tertunduk. Segala emosi yang ia tahan sejak tadi bergolak di dalam dirinya. Ia tak tahu apakah ia marah, sedih, atau hanya lelah. Yang ia tahu, ia ingin sendiri. Jauh dari semua orang.
***
Sudah hampir jam tujuh malam, Ruka belum juga keluar dari kamar. El mendesah panjang, lalu mengetuk pintu kamar Ruka.
"Ruka," panggil El dari balik pintu.
Tak ada jawaban. Hening, hanya suara hujan yang masih turun di luar.
El yang memiliki kesabaran setipis tisu, memaksa masuk. "Keluar sekarang, atau gue gendong paksa lo keluar!"
"Jangan ganggu gue, El! Gue mau istirahat." Ruka memalingkan wajahnya, tak ingin El menangkap wajah sedihnya.
"Keluar dulu, makan!"
"Gue gak lapar."
Tak banyak bicara, El langsung mendekat dan mengangkat Ruka dari atas tempat tidur. Gerakan itu membuat gadis itu terkejut. "El! Turunin gue!" serunya, memberontak sambil memukul-mukul punggung pria itu. Namun El tak menggubris, malah mempererat cengkeraman di pinggangnya.
"Lo udah cukup lama ngurung diri. Gue gak mau denger alasan lagi. Sekarang lo ikut gue keluar," ujarnya tegas, sambil melangkah menuju pintu.
"El, gue serius! Gue gak mau keluar! Lo gak bisa maksa gue begini!" Ruka terus mencoba melepaskan diri, namun tenaga El terlalu kuat.
"Apa lo mau gue masukin lo ke rumah sakit gara-gara gak makan? Kalau itu maunya lo, oke, gue anter sekarang," balas El, masih melangkah mantap.
Ruka terdiam sejenak, terkejut dengan nada ancaman yang terselip dalam kalimatnya. "El... Gue gak bercanda. Turunin gue sekarang!"
El berhenti di ambang pintu, "Gue juga gak bercanda, Ruka."
Dengan langkah mantap, El membawanya ke ruang makan dan menurunkannya ke kursi. Dia berbalik, mengambil mangkuk sup yang masih hangat di meja, lalu meletakkannya di depan Ruka.
"Lo makan, gue tunggu di sini. Kalau lo gak mau makan, kita bakal duduk di sini sampai besok pagi," ucapnya tanpa kompromi, melipat tangan di depan dada.
Ruka menatap sup itu, lalu menatap El yang berdiri dengan tatapan penuh tekad. "El, lo gila," gumamnya.
"Kalau itu yang bikin lo makan, anggap aja gue gila," balasnya singkat.
Bersambung...